Cerita Magang Mahasiswa Perempuan di Media: Eksploitasi, Tak Dapat Uang Saku, sampai Pelecehan di Tempat Kerja

LPM OPINI – Magang mahasiswa di Indonesia menjadi salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh sebagai prasyarat kelulusan. Belakangan, fenomena magang mahasiswa ramai diminati sebab sistem magang tahun ini punya program unggulan yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya; mahasiswa bisa magang untuk perusahaan selama enam bulan (dihitung satu semester) dengan konversi maksimal 20 SKS.
Tak ubahnya pada magang mahasiswa pada tahun-tahun yang lalu, pemagang bekerja layaknya buruh di perusahaan, bedanya, mereka tidak mendapat beberapa fasilitas segianya pekerja hingga masalah uang saku di beberapa perusahaan. Sementara mereka mengeluarkan keringat buat keuntungan industri, mereka dianggap sekadar belajar dan dibayar hanya dengan pengalaman.
Rani, mahasiswa semester lima di salah satu perguruan tinggi negeri, sontak semringah mendapat kabar dirinya akan magang di salah satu media televisi swasta nasional impiannya sejak kuliah tahun pertama. Melalui proses yang ringkas lewat Magang Kampus Merdeka yang diinisiasi program studi hasil kerja sama dengan perusahaan media – bukan Magang Bersertifikat Kampus Merdeka (MBKM) lewat laman resmi Kemdikbud – Rani senang sekaligus stres selama dua hari, mempersiapkan diri menyambut impiannya yang tak dinyana datang begitu cepat.
“Karena itu mendadak, aku stres banget dua hari, mempersiapkan mental dan membayangkan apa yang akan terjadi, kebanyakan itu,” cerita Rani.
Hingga nawala ini terbit, tercatat sudah nyaris tiga bulan Rani magang di perusahaan penyiaran itu. Tugas Rani menjadi reporter mengikuti arahan tiga reporter seniornya selang dua minggu bergantian. Menurutnya, pekerjaan dia mirip dengan freelance di media tersebut, mengikuti semua proses liputan, bekerja selama enam bulan, tapi dilarang eksis di depan kamera dan beberapa pekerjaan lainnya. Hanya saja, freelance dibayar dan Rani tidak.
“Ikut riset sebelum liputan, liputan lapangan, wawancara narsum via Zoom Meeting, transkrip wawancaranya, sampai diajarin rafkat, juga ambil gambar dari stratus,”
“Paling kalau liputan lapangan, lebih banyak ngikut doang, sih, enggak boleh di depan kamera, mirip kayak freelancer di sana. Stand up itu enggak boleh. Ikut, bawain tripod, ke mana saja ikut, kadang juga jadi talent,” kata Rani.
Pada arahan di awal kerja, Rani diberitahu akan bekerja secara hybrid dengan ketentuan masuk kantor dua hari dalam sepekan, tiga hari sisanya work from home (WFH). Aturan tersebut ternyata nonsens, ia mesti siap sedia jika diminta ke kantor, pun siap bila diminta mengerjakan tugasnya yang terkadang mendadak secara daring. Ragam aturan tersebut tidak tertulis dalam perjanjian atau Standard Operating Procedure (SOP) antara kampus dan perusahaan yang memang diketahui Rani tidak ada.
“WFH-WFO tergantung sama reporter mana aku kerja, kadang ada yang WFH transkrip aja, ada yang minta WFO, enggak tentu, suruh ke kantor ngerjain ini-itu, kata-kata ‘WFO seminggu dua kali’ itu sama sekali tidak terjadi pada aku, itu kata HRD-nya by the way,” jelasnya.
Eksploitasi dan Siasat Nihilnya Jam Kerja Fleksibel
Selain sistem kerja yang tak menentu, Rani juga jadi sasaran eksploitasi salah satu atasan. Dirinya sering diberi beban kerja berlebih dan jarang diajak terjun ke lapangan. Rani merasa dilupakan dan tidak mendapatkan pelajaran dari proses magangnya.
“Aku merasa dieksploitasi sama salah satu reporter, aku dikasih kerjaan transkrip sampai sembilan (dalam sehari), wawancara langsung dia enggak mengajak aku, seakan dilupakan, tapi semuanya dikasih ke aku, jarang juga diskusi sama dia, jadi kaya enggak dapat belajarnya,” kata Rani.
Rani juga diberi beban kerja tambahan yang tidak sesuai dengan jadwal pekerjaannya. Pernah suatu kali, dirinya sedang bertugas untuk bekerja dengan salah satu reporter, kemudian entah bagaimana dirinya diminta produser untuk membantu reporter lain menyelesaikan pekerjaan yang bukan pekerjaannya hari itu.
“Kemarin aku lagi tugas untuk salah satu reporter, tapi terus reporter yang lain pakai jurus ngomong ke produser, minta bantuan aku buat transkrip, jadilah produser langsung WhatsApp aku buat transkrip, padahal aku lagi kerja bareng reporter lain di lapangan,”
“Reporter yang lagi sama aku itu kaget, kok aku ngerjain transkripnya si reporter itu, ‘Kok kamu bantuin dia? Kan minggu ini ikut aku, gak boleh, dong, double-double,’ padahal produsernya juga tau aku lagi sama dia,” jelasnya kesal.
Selain beban kerja, Rani mesti bekerja tanpa batas waktu. Perusahaan media tempat Rani bekerja menetapkan jam kerja fleksibel. Hal tersebut membuatnya harus rela lembur hingga larut malam, bahkan hingga lebih dari 12 jam kerja dalam sehari.
“Hati-hati sama tulisan jam kerja fleksibel, aku minggu ini pulang jam 11.30 malam terus, jam 11 siang sudah di kantor, aku pernah liputan lapangan jam 3 sore sampai 10.30 malam. Pernah juga 10 pagi sampai 9 malam,” ucapnya.
Soal waktu, perusahaan memberi Rani jeda dua hari untuk rehat; Sabtu dan Minggu. Aturan ini tak ubahnya omong kosong, Rani acap kali diberi tugas oleh atasannya di akhir pekan. Hampir tak ada tanggal merah di kalendernya.
“Harusnya kerja lima hari, Senin sampai Jumat, tapi di Sabtu – Minggu, hampir selalu dikasih kerjaan yang harus diselesaikan, jadi jarang libur. Reporter suka ngasih transkrip misal Jumat malam, terus bilang ‘besok bisa diselesaikan enggak ini,’ gitu” kata Rani.
Dalam enam bulan bekerja sebagai pemagang, Rani hanya dapat mengambil cuti selama enam hari. Satu-satunya cuti yang terpaksa diambil Rani karena dapat kabar duka di kampung halamannya. Rani diizinkan cuti, tapi dengan syarat tetap WFH di kampung halaman.
“Waktu itu nenek aku meninggal, aku izin cuti satu minggu pulang ke kampung halaman, tapi tetep WFH, sih,” ucapnya diakhiri tawa renyah.
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja dan Tidak Terpenuhinya Hak Perempuan
Selain cuti enam hari, media tempat Rani bekerja hanya menyediakan cuti melahirkan, tidak ada cuti haid baik bagi pemagang maupun karyawan tetap. Padahal cuti haid merupakan hak bagi buruh perempuan, sebagaimana tertuang pada pasal 13 ayat (1) UU 12 tahun 1948 yang menyebut, buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid.
“Kalau cuti haid tidak ada, tapi cuti melahirkan, ada,” kata Rani singkat.
Posisi Rani sebagai pemagang perempuan yang kerap dianggap sebagai ‘gender kedua’ membuat posisinya rentan akan injakan relasi kuasa. Rani pernah mendapat pelecehan ketika bekerja. Rani yang seorang muslim digoda tiga orang pria rekan kerjanya untuk makan babi, merokok, hingga mabuk dengan minum bir. Hal-hal yang menurutnya sangat mengganggu.
“Waktu itu liputan, kebetulan aku cewek sendiri, ada tiga orang di mobil cowok termasuk driver, reporter, sama campers. Pas di mobil, dibilang, ‘Rani enggak mau nyoba rokok? Rani gak mau nyoba babi? Ayo kita beli bir, mabuk,’ padahal aku berhijab, mereka lihat aku salat, dan harusnya hormati aku dengan enggak ngajak yang seperti itu,” kata Rani.
Tak cuma sampai situ, segerombolan pria tersebut juga melakukan pelecehan seksual secara verbal dengan melempar lelucon cabul.
“Mereka bicarain juga soal seks, terus ngomongin salah satu reporter perempuan yang menyusui di tempat umum, katanya nafsu dengan mereka, ngomong di depan aku waktu aku di mobil. Terus dibilang ‘Rani nanti kalau pulang, langsung indehoy, kan punya pacar, tuh,’” cerita Rani.
Penampilan Rani yang tertutup dan berhijab ikut dikomentari oleh atasannya dengan nada yang merendahkan. Umur Rani yang menginjak usia dewasa juga dijadikan alibi segerombolan pria mesum itu untuk melempar candaan seksis.
“Terus setelah itu mereka bilang, ‘Ya, siapa tahu? Bisa saja luarnya saja yang kaya gitu’, ‘Rani sudah 20 tahun, kan, enggak tabu, dong, ngomongin yang kaya gini,’” cerita Rani sambil menahan jijik.
Dari penuturan Rani, kantor medianya juga tidak menyediakan divisi atau satuan khusus untuk penanganan laporan kekerasan seksual di tempat kerja, lebih-lebih pendampingan.
“Enggak ada (divisi/dewan yang menangani laporan kekerasan seksual), hampir tiga bulan magang enggak pernah dengar,” tuturnya.
Dibayar Pengalaman Tanpa Sepeser Tunjangan
Selepas Rani pulang dari kampung halamannya untuk masuk kerja, aturan protokol kesehatan di kantor mengharuskan Rani menunjukkan bukti tes usap PCR. Rani yang tidak mendapat uang saku serimis pun dari perusahaan tempat ia magang selama enam bulan, terpaksa legawa keluar uang ratusan ribu rupiah buat keperluan tes usap PCR.
“Kemarin aku balik kampung, terus masuk kantor harus tes PCR pakai uang aku sendiri, Rp408 ribu, enggak ada biaya dari perusahaan, aku magang gitu, loh, aku juga enggak dibayar,” kata Rani terheran-heran.
Yang bikin Rani makin gusar, selain uang saku, uang lembur atau uang transportasi sekali pun tidak Rani dapatkan. Tentunya ini membebani Rani yang harus menempuh perjalanan 24 kilometer ke kantor dengan estimasi waktu satu jam lebih perjalanan. Satu-satunya bayaran yang didapat hanya traktiran reporter ketika bertugas di lapangan.
“Enggak ada sama sekali (uang saku dan uang lain-lain), untung reporter suka ngasih makan sama kopi, gitu-gitu,”
“(Uang lembur) enggak ada, toh enggak ada patokan juga jam kerja seberapa,” tukas Rani.
Urgensi Perjanjian Magang dan Masalah Uang Saku
Melihat apa yang dialami Rani, Nurdiyansyah Dalidjo, Koordinator Divisi Gender Serikat SINDIKASI berpendapat, pemagang mahasiswa memiliki payung hukum dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Yang jadi masalah, aturan magang dalam UU Ketenagakerjaan kerap tidak diamini baik oleh perusahaan maupun kampus.
Tidak adanya hitam di atas putih antara kampus dan perusahaan yang disepakati pula oleh Rani membuat posisinya menjadi kian rentan. Menurut hematnya, masalah magang mahasiswa harus mengedepankan advokasi agar tiap pihak terkait membuat SOP yang dalam kasus Rani terabaikan. Terlebih menurut Diyan, Undang-Undang Ketenagakerjaan memiliki keterbatasan dalam penyelesaian masalahnya yang acap kali dituntaskan secara internal.
Aturan mengenai SOP atau perjanjian ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 22, pun jika peserta magang tidak mendapati perjanjian, dalam pasal 22 ayat (3), pemagangan dianggap tidak sah dan peserta magang berubah status menjadi buruh buat perusahaan tersebut.
“Pemagangan ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan, jangan bilang itu enggak diatur, jadi dalam UU itu ada definisi tentang pemagangan, ini tidak terbatas dalam konteks vokasi atau sekolah menengah atau pun kampus, atau pun yang ikut pelatihan seperti Balai Pelatihan Tenaga Kerja,”
“Pemagang selain ada definisinya, tapi juga ada ketentuannya, pemagangan dilakukan perjanjian tertulis antara peserta dan pengusaha, perjanjian tertulisnya itu dalam UU memuat ketentuan hak dan kewajiban pemagang,”
“Dalam UU Ketenagakerjaan, menurutku ada keterbatasan terkait dengan penyelesaiannya yang sering kali diserahkan secara internal (di dalam institusi itu). Kendalanya, ada banyak institusi yang belum memiliki SOP mengenai ini. Sehingga, memang menurutku akan lebih baik mengedepankan atau mendorong advokasi agar institusi memiliki pengaturan atau SOP mengenai pemagang,” jelas Diyan.
Pentingnya perjanjian ini menurut Diyan untuk mengencangkan sabuk pengaman bagi pemagang, sebab dalam UU Ketenagakerjaan, hak pemagang bersifat normatif dan universal; banyak hal-hal detail yang tidak diatur. Salah satunya adalah soal besaran uang saku.
Dalam kasus Rani, perusahaan seharusnya wajib memberi uang saku yang tertulis dalam perjanjian, hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan Dalam Negeri Pasal 10 ayat (2).
“(Dalam undang-undang) hak-haknya itu bersifat normatif dan umum, enggak disebut kayak jam kerja di pemagangan, itu normatif banget dan universal, detail-detailnya itu mestinya diurus di perjanjian tertulis di antara dua belah pihak,” katanya.
“Selain UU Ketenagakerjaan, pemagangan diatur dalam Permenaker No. 6 tahun 2020, nah, di situ ditulis uang saku, pasal 10 ayat 2,” jabar Diyan.
Angin Segar Permendikbud Baru untuk Kasus Pelecehan Seksual
Masalah lain yang dialami Rani dalam menjalani magang di salah satu media penyiaran ialah pelecehan seksual. Statusnya sebagai peserta magang sekaligus perempuan membuatnya rentan akan relasi kuasa. Karenanya, bagi Diyan, perusahaan dan kampus bertanggung jawab membuat aturan pencegahan kekerasan seksual untuk melindungi mahasiswa pemagang.
“Pemagang itu berada di kondisi yang rentan dalam dunia kerja, yang artinya kerentanan itu harusnya punya safe guard, kalaupun UU sama peraturan yang ada tidak mengatur itu secara detail, harusnya yang didorong perusahaan mempunyai aturan terhadap anak-anak magang, kampus juga harus punya hal yang sama,” jawabnya.
Pada 26 Oktober 2021, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus. Peraturan ini, menurut Diyan, bisa digunakan bagi peserta magang yang mengalami pelecehan seksual di tempat magang.
“Di dalam Permendikbudristek, lingkungan perguruan tinggi itu bukan cuma kampus, selama ia statusnya mahasiswa di mana pun ia berada itu ada kaitannya dengan lingkungan. Di tulis juga itu ada bunyi di dalam dan di luar kampus. Nah, pemagangan itu dalam konteks itu juga, magang itu, kan, walaupun enggak ada di kampus tapi dia terikat karena ada mata kuliah untuk pemagangan,” tukas Diyan.
Apa yang dialami Rani hanyalah puncak gunung es dari banyaknya praktik unpaid intern dengan segala macam polemik di dalamnya yang sudah menjadi rahasia umum hingga terkesan dinormalisasi. Dari kasus Rani bisa dipahami, baik perusahaan maupun kampus masih sering abai pada syarat dan aturan yang berlaku soal magang mahasiswa.*
*Nama Rani bukan nama yang sebenarnya (disamarkan) atas permintaan narasumber.
Tulisan ini merupakan bagian dari Kelas Mahasiswa yang didukung oleh Citradaya Nita 2021 bekerja sama dengan Project Multatuli dan AJI Jakarta.
Penulis: Luthfi Maulana Adhari
Editor: Annisa Qonita Andini