#DamaiItuNyata Jilid 3: Angkat Isu tentang Kekerasan dengan Pemutaran Film 27 Steps of May
AIESEC Semarang kembali menghadirkan sebuah proyek sosial yang bertajuk Damai Itu Nyata Jilid 3. Berkolaborasi bersama Sineroom, AIESEC Semarang menggelar acara movie screening yang memutar penayangan film 27 Steps of May di Social Canteen Family Resto pada Sabtu (12/10). Pemutaran film bertema kekerasan seksual ini juga turut dihadiri oleh LBH APIK dan PPT Seruni Semarang.
Damai Itu Nyata adalah rangkaian acara sosial yang dilaksanakan untuk memeringati Hari Perdamaian Internasional dan Hari Toleransi Sedunia. Proyek Damai Itu Nyata tahun ini mengambil fokus pada Sustainable Development Goals nomor 16, yaitu Peace, Justice, and Strong Institutions dengan target dan indikator untuk mencapai kedamaian dan bebas dari kekerasan serta pelecehan.
“Tahun ini kami mengambil tema anti kekerasan. Seperti yang kita tahu, di Semarang sendiri masih ada banyak kekerasan yang terjadi. Kita belum sepenuhnya damai. Pemutaran film 27 Steps of May dipilih karena sesuai dengan fokus kita. Harapannya, setelah menonton film ini, kita bisa terbuka mata dan pikirannya, supaya bisa mengurangi kekerasan, baik kekerasan seksual maupun kekerasan lain di sekitar kita,” ujar Raena Septia, selaku ketua panitia dalam sambutannya.
Film yang disutradarai oleh Ravi Barwani ini bercerita tentang May yang diperkosa oleh sekelompok orang tidak dikenal ketika masih berusia 14 tahun. Ayah May sangat terpukul dan menyalahkan dirinya sendiri sebab merasa tidak dapat melindungi anaknya. Akibat trauma yang sangat mendalam, May menarik diri sepenuhnya dari kehidupan. Ia menjalani hidupnya tanpa koneksi, emosi, bahkan tak sepatah kata keluar dari mulutnya.
Kehidupan monoton May berjalan hingga 8 tahun, namun semua berubah ketika May bertemu dengan seorang pesulap melalui celah kecil di dinding kamarnya. Berawal dari pertunjukkan kecil yang pesulap tersebut tampilkan kepada May, sedikit demi sedikit membangkitkan rasa penasaran May sekaligus emosinya. May menjadi cukup berani untuk mencari dan menghadapi perasaan, sensasi, dan ingatannya yang hilang. Pada akhirnya, May berani membebaskan diri dan keluar dari trauma masa lalunya.
May dan pergulatannya melawan trauma kekerasan seksual berhasil membangun suasana yang intens dan menegangkan lewat detail-detail yang ditampilkan. Penonton dibuat ngilu ketika May menghadapi kepanikan akibat stimulus kecil. Seperti ketika dia bersentuhan tangan dengan orang lain secara tidak sengaja, membawa ingatan May pada peristiwa traumatis yang membuatnya melakukan katarsis dengan melukai pergelangan tangannya menggunakan silet.
Kajian psikologi menyatakan trauma kekerasan seksual tidak hanya bersifat depresif bagi korban, tapi juga bagi orang-orang terdekat di sekitarnya. Hal itu ditampilkan dalam film melalui karakter Ayah yang melampiaskan perasaan frustasi akibat rasa bersalah yang tak berkesudahan dengan bergulat di ring tinju, bahkan sampai pertarungan ilegal. Namun demikian, ayah tampil sebagai sosok yang lembut, yang mengorbankan segalanya untuk memberikan kenyamanan dan perlindungan bagi anaknya di rumah.
Selesai penayangan film, acara ini dilanjutkan dengan diskusi terbuka bersama Pusat Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan dan anak Berbasis Gender di Kota Semarang (PPT Seruni) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik).
“Perspektif saya sebagai seseorang yang sehari-harinya terpapar dan menangani korban kekerasan seksual, film ini menunjukkan sekali gambaran nyata dari penderitaan dan beban yang dialami oleh korban kekerasan seksual. Dari hal kecil seperti makanannya saja kita bisa melihat May hanya makan makanan hambar karena makanan berbumbu mengingatkan dia akan traumanya. Kemudian kita bisa melihat bagaimana May tidak mau menerima perubahan, karena perubahan hanya akan membuatnya panik lantas histeris yang selanjutnya membuat dia melakukan self-harm,” kata Iis Amalia, selaku perwakilan dari PPT Seruni.
Iis menilai motif May melakukan self-harm memang bentuk katarsis dia yang tidak mampu mengungkapkan perasaannya. May mungkin ingin menunjukkan bahwa setelah bertahun-tahun pun ia masih merasa sakit jika teringat kejadian traumatis tersebut. Iis juga mengapresiasi bagaimana film ini menggambarkan emosi karakter yang sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan.
Bagi banyak penyintas, untuk memulai membicarakan apa yang terjadi pada dirinya saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Begitu pun dengan proses pemulihan. Tidak hanya sehari-dua hari, bisa berbulan-bulan, mungkin juga puluhan tahun. Bahkan meski kejadian terlah berlalu cukup lama, tetap tidak menutup kemungkinan trauma tersebut akan hilang. Belum lagi, jika ada pihak-pihak yang menyalahkan korban, beban yang dibawa oleh korban semakin mengakibatkan korban bungkam dan sulit berdamai dengan dirinya sendiri.
“Padahal kedamaian paling dekat itu adalah kedamaian dari diri kita sendiri. Kita berdamai dengan diri kita, kita berdamai dengan masalah kita, kita berdamai dengan lingkungan kita, kita bisa mengubah diri kita,” tutur Iis.
Kasus seperti May memang tidak sedikit. PPT Seruni sendiri mencatat tahun ini ada 31 kasus kekerasan seksual di Semarang. Angka tersebut memang menurun dari tahun sebelumnya, tetapi ironinya justru anak-anak yang kian menjadi korban. Mereka bahkan tidak sadar bahwa mereka adalah korban kekerasan seksual. Hal ini tentu akan menjadi masalah di kemudian hari, saat mereka paham bahwa mereka telah mengalami kekerasan seksual.
Mayoritas masyarakat Indonesia masih menjunjung tinggi keperawanan sampai menikah. Ketika anak-anak korban kekerasan seksual ini tumbuh dewasa, saat mereka sadar mereka tidak lagi perawan, yang ditakutkan adalah mereka akan merasa bahwa mereka tidak berharga dan tidak bisa diterima di masyarakat dengan kondisi seperti itu. Hal ini bisa membuat korban menjadi depresi.
Diskusi dilanjutkan dengan termin tanya-jawab. Salah satu penanya, Okta, bercerita pernah mengalami pelecehan seksual dan bagaimana hal itu mengubah hidupnya. Ia merasa beruntung memiliki teman-teman dan keluarga yang mendukungnya untuk keluar dari traumanya. Tapi Okta bertanya, bagaimana jika korban lain tidak memiliki support system yang sama seperti dirinya, apa yang harus korban lakukan?
Menanggapi pertanyaan tersebut, pihak PPT Seruni menerima semua pengaduan dan jika korban ingin konsultasi mengenai hukum maupun konsul psikologis. PPT Seruni sangat terbuka untuk membantu serta semua biaya konsultasi gratis. PPT Seruni bisa dihubungi di nomor 024-3566517. Rulia, sebagai perwakilan dari LBH Apik juga menjawab bahwa LBH APIK menyediakan hotline yang bisa dihubungi jika korban ingin melakukan pengaduan kasus atau sekadar butuh seseorang yang bisa memberikan dukungan, yakni 024-355479.
“Penting bagi kita untuk meningkatkan kepedulian terhadap sekitar dan sebisa mungkin memberikan awareness bahwa kekerasanan seksual ini memang benar adanya dan terjadi di sekitar kita. Kita sebagai agen perubahan harus bisa meminimalisir hal ini dan sebisa mungkin kita menjadi support system bagi teman-teman kita yang mungkin menjadi korban kekerasan seksual,” pungkas Ilma, selaku moderator diskusi mengakhiri diskusi malam itu.
Penulis: Fani Adhiti
Editor: Gita N. Elsitra
Redaktur Pelaksana: Dian Rahma F. A.