Dinamika Pemberdayaan Orang Rimba: Konservasi atau Modernisasi?
LPM OPINI – Orang Rimba merupakan sebutan untuk masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang hidup di pedalaman hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Provinsi Jambi. Kehidupan mereka kebanyakan masih terisolasi dari dunia luar, artinya mereka masih mengandalkan sumber daya di hutan untuk memenuhi penghidupan mereka sehari-hari, misalnya dengan berburu untuk makan dan mengambil air dari sumber mata air atau sungai.
Kehidupan mereka bersifat nomaden atau berpindah-pindah tergantung apakah tempat tinggal mereka masih cocok atau tidak, jika dirasa tidak, maka mereka akan berpindah untuk menemukan tempat yang cocok. Dilansir dari laman tnbukitduabelas.id/, kehidupan sosial Orang Rimba juga dilarang untuk terlalu banyak bersosialisasi dengan orang luar (orang yang tinggal di luar kawasan TNBD Jambi). Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di pedalaman hutan untuk menjaga jarak dari manusia modern.
Kelompok Yang Terpecah
Dalam keberjalanan waktu, strukturisasi Orang Rimba mengalami perubahan. Menurut sensus terakhir yang dilakukan oleh TNBD pada tahun 2018, Orang Rimba yang tersebar di Jambi berjumlah 2.860 Jiwa. Dari data tersebut, TNBD mengidentifikasi adanya kelompok Orang Rimba yang sudah tidak murni alias sudah terpengaruh dengan dunia luar, sehingga Orang Rimba terpecah menjadi beberapa golongan. Perpecahan ini dikarenakan karena adanya upaya modernisasi dari dunia luar, sehingga yang awalnya murni Orang Rimba yang tinggal di pedalaman, akhirnya terpecah setidaknya menjadi 3 golongan menurut TNBD.
- Orang Rimba yang masih bertahan di pedalaman hutan. Kelompok ini masih memegang budaya dan adat istiadat yang kuat dengan tidak bersentuhan (dalam arti bersosialisasi) dengan orang luar sama sekali, artinya kehidupan mereka murni di dalam hutan dan menggantungkan kehidupan sepenuhnya dengan sumber daya yang ada di dalamnya tanpa mengandalkan sumber daya dari luar hutan sama sekali. Kelompok ini adalah kelompok konservatif.
- Kelompok yang tinggal di pedalaman hutan, tetapi mempunyai interaksi yang cukup tinggi dengan orang luar. Sederhananya, kelompok ini hidup di dalam hutan tetapi untuk menunjang kehidupan sehari-hari, mereka keluar dari hutan untuk melakukan interaksi sosial dengan orang luar seperti jual-beli dan sebagainya.
- Kelompok yang tinggal di pemukiman (desa) dan sudah berbaur dengan masyarakat luar. Kelompok ini memilih untuk menjadi masyarakat modern dengan tinggal dan hidup bersama masyarakat umum di luar hutan. Golongan ini adalah Orang Rimba yang sudah terkena arus modernisasi kehidupan.
Pemberdayaan Pendidikan: Pilihan Yang Tak Bisa Ditawar
Menurut Deka Oktaviana, peneliti di Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, pendidikan berupa pemberian sekolah formal adalah salah satu alternatif untuk dapat memberikan layanan penghidupan yang lebih baik untuk Orang Rimba. Melalui pendidikan, Orang Rimba mampu untuk meningkatkan kualitas dari cara berpikir untuk lebih maju, misalnya saja saat Orang Rimba membeli kebutuhan di pasar tradisional, setidaknya mereka bisa mengetahui metode perhitungan dasar (tambah, kali, kurang, bagi) agar mereka tidak mudah ditipu.
“Urgensi dari diberikannya pendidikan formal kepada Orang Rimba adalah terkait dengan bagaimana kemudian pengetahuan-pengetahuan yang mereka dapatkan dari sekolah formal tersebut bisa digunakan untuk membantu kehidupan mereka sehari-hari,” kata Deka kepada LPM OPINI, Senin (31/10).
Deka juga mengatakan memang tidak semua dari Orang Rimba dapat mengakses pendidikan formal, tetapi upaya dan pendekatan agar mereka bisa diberikan pendidikan adalah suatu keharusan yang harus terus diupayakan.
Deka mengungkapkan bahwa dalam konteks pendidikan, terdapat perbedaan yang cukup signifikan dalam hak perolehan pendidikan formal antara perempuan dan laki-laki. Perempuan mendapat tempat yang “istimewa” karena perempuan di sana sangat dilindungi dan dijaga. Hal ini juga yang kemudian menjadi dasar berlakunya pembatasan-pembatasan tertentu.
“Dalam hukum adat mereka yang dikhususkan kepada perempuan-perempuan Orang Rimba, mereka tidak boleh terlalu sering bersentuhan (dalam arti bersosialisasi) dengan orang luar (orang yang tinggal di luar kawasan TNBD Jambi) khususnya laki-laki, hal ini yang kemudian menyebabkan perempuan-perempuan ini lebih sulit untuk bisa terjangkau oleh pendidikan formal,” ujar Deka.
Deka juga menerangkan bahwa batasan-batasan yang ditujukan kepada perempuan-perempuan Orang Rimba bisa dipandang dari dua sisi. Di satu sisi ini bertujuan baik untuk melindungi perempuan-perempuan tersebut dari segala bahaya yang mungkin belum pernah mereka alami, tetapi di sisi lain ini membatasi ruang gerak perempuan Orang Rimba untuk bisa mendapatkan pendidikan seperti para laki-laki yang lebih bebas.
Selain itu, menurut Deka keterbatasan waktu juga menjadi kendala dalam pelaksanaan pemberian pendidikan. Akibat ketiadaan waktu ini secara tidak langsung menyebabkan Orang Rimba terbatasi untuk bisa mendapatkan pendidikan formal. Hal ini juga didukung oleh kurangnya pemahaman dan awareness yang dimiliki oleh orang tua mereka terhadap pendidikan. Lebih rinci, Deka menjelaskan Orang rimba cenderung menghabiskan waktunya untuk mendukung kegiatan orang tua mereka.
“Anak laki-laki biasanya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membantu ayahnya berburu di hutan, sedangkan anak perempuan disibukkan dengan membantu ibunya mulai dari memasak, mengambil air, dan membantu pekerjaan rumah tangga lainnya. Kendala tersebut sering menjadi penyebab sulitnya pendidikan dapat masuk dan terakses oleh Orang Rimba,” tutur Deka.
Buah Simalakama Pemerintah: Konservasi vs Modernisasi
Menurut Teori Environmental Governance, pembangunan harus melihat dari sisi aspek lingkungan yang tak boleh terabaikan. Namun, di sisi yang lain laju deforestasi masih cukup tinggi. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa angka deforestasi hutan di Indonesia turun, tetapi ancaman terhadap Orang Rimba dapat terjadi kapan saja karena iklim pembangunan yang terus bergerak serta pengikisan hutan untuk komersialisasi baik secara ilegal maupun legal.
Deforestasi yang mengikis hutan memberikan ancaman yang nyata terhadap keberlangsungan berbagai kehidupan hayati dalamnya, termasuk Orang Rimba yang berada di pedalaman. Bahkan menurut Badan Pusat Statistik, Daerah Jambi telah mengalami total deforestasi hutan 4.486,9 ha. Dengan menyempitnya luas hutan alamiah karena berbagai macam kepentingan tersebut, otomatis keberadaan Orang Rimba juga ikut terancam karena habitat mereka yang terus dieksploitasi oleh beragam kepentingan tersebut.
Menurut Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute, Agung Nugraha dalam tulisannya “Merangkul Orang Rimba: Pilihan Strategi Pembangunan Berbasis Sosio-Kultural”, dialektika dan perdebatan panjang tentang strategi untuk keberlangsungan Orang Rimba setidaknya terbagi menjadi dua kubu, yakni Modernisasi dan Konservasi. Modernisasi berpendapat bahwa era sekarang adalah ranah dunia modern yang serba digital, maka semua pemahaman tentang yang berbau tradisional dan konvensional harus diubah dan mulai ditinggalkan. Sedangkan Konservasi berpendapat bahwa Orang Rimba adalah kehidupan dalam manifestasi warisan budaya yang masih orisinil dan masih belum tersentuh oleh dunia luar sehingga harus dipertahankan dan dijaga untuk menghormati kehidupan mereka sekaligus sebagai pengaplikasian bangsa majemuk yang terdiri dari berbagai golongan yang semuanya memiliki hak untuk dihormati terkait pilihannya.
Dengan dialektika yang dipaparkan oleh Agung tersebut, pemerintah berada pada dua ambang pilihan antara melakukan pendekatan modernisasi untuk menarik Orang Rimba keluar dari pedalaman hutan atau melakukan konservasi dengan menjaga habitat alamiah mereka sambil melakukan pemberdayaan pendidikan secara perlahan.
Membersamai Orang Rimba
Dilansir dari sebijak institute, melihat Bangsa Indonesia dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki makna menjunjung tinggi perbedaan serta berbasis sosio-kultural, tampaknya ide modernisasi yang lebih kepada “pemaksaan” memiliki basis dasar yang lemah untuk diterapkan di Indonesia terutama pada konteks keberlangsungan Orang Rimba ke depan. Sebaliknya, ide untuk melakukan konservasi dengan melindungi semua hak-hak dan kehidupan orang rimba lebih banyak diterima banyak kalangan karena terkait kebebasan berkehidupan yang telah terjamin oleh konstitusi dan undang undang.
Senada dengan pendapat dari Sebijak Institute, Deka Oktaviana sebagai orang yang sudah berkecimpung lama dalam dunia penelitian Orang Rimba juga menyatakan pendapat yang sama. Deka menilai cara pandang kita sebagai manusia modern dalam melihat perspektif Orang Rimba haruslah melihat dari sisi mereka (Orang Rimba) juga. Orang Rimba tidak bisa dipaksa untuk beradaptasi dengan cepat untuk mengikuti role model dunia modern. Sejatinya, Orang Rimba memiliki prinsip yang sangat berbeda dengan orang luar, sehingga pemaksaan tentang dimensi waktu seolah-olah kehidupan mereka harus sama dengan standar orang di luar adalah sebuah kesalahan yang dipaksakan menjadi keniscayaan.
“Cara pandang untuk melihat persepsi Orang Rimba harus diubah, mereka memiliki aturan adat yang harus mereka patuhi dan jalankan, aturan adat inilah yang menyebabkan mereka memilih untuk tetap patuh bertahan hidup di dalam hutan,” tutup Deka.
Narasumber: Deka Oktaviana, Peneliti Taman Nasional Bukti Duabelas Jambi
Penulis: Aditya Yuda Ramadhana
Editor: Luthfi Maulana
Redaktur Pelaksana: Dinda Khansa
Pemimpin Redaksi: Luthfi Maulana
Referensi:
https://warsi.or.id/id/orang-rimba-kubu-dan-suku-anak-dalam-sad/