Eksil: Dihilangkan Negara Dilupakan Sejarah

Ini namanya sejarah, tidak bisa dielakkan
-Chalik Hamid-
Pernahkah Anda berpikir bahwa seseorang dapat hilang dari bumi pertiwi negeri sendiri karena bagaimana dia berpolitik? Mengapa simbol palu arit bisa sangat ditakuti oleh sebuah negara hanya karena sejarahnya? Itulah beberapa pertanyaan yang ingin ditelusuri oleh sutradara Lola Amaria dalam film terbarunya, Eksil.
Film dokumenter ini berusaha mengulik suara para eksil, yakni kumpulan orang tanpa negara dan tidak dapat berpindah ke negara lain. Akan tetapi, kisah yang terdapat dalam film dokumenter ini eksil yang diceritakan merupakan mereka, warga Indonesia yang terdampak oleh sejarah yang mereka sendiri tidak ikut andil di dalamnya. Dokumenter ini tidak hanya mengulik bagaimana mereka bisa berada di posisi mereka saat ini tetap juga kehidupan mereka yang berjalan bersama sejarah mereka yang menghilang bersama dengan nama mereka.
Film Eksil sebenarnya sudah dirilis terlebih dahulu kepada para audiens festival film pada tahun 2022. Kini, film besutan Lola Amaria hadir untuk umum sejak Februari 2024. Meski berlabel untuk umum, penayangan film ini masih terbatas hanya di beberapa teater Indonesia. Akan tetapi, melihat antusias masyarakat dan diskusi di dunia maya setelah beberapa hari penayangan, film ini mendapat penayangan yang lebih menyebar lagi dari sebelumnya. Selain itu, tingginya antusias masyarakat juga membuat film ini meraih audiens-audiens yang diharapkan, yaitu masyarakat awam yang belum dapat memperoleh sisi lain dari dampak peristiwa G30S PKI terutama sisi dari para eksil.
Pembawaan sejarah pada film ini dibalut dengan berbagai wawancara bersama para eksil dengan tambahan visual serta audio yang cukup menggambarkan bagaimana dilema yang mereka rasakan antara cinta mereka terhadap Tanah Air yang mereka anggap sebagai rumah, serta pemikiran politik yang mereka percaya. Layaknya alur hidup, film diakhiri dengan beberapa narasumber yang telah menemani jalannya film untuk berpulang kembali bersama dengan cinta kepada Tanah Air yang menganggap mereka tiada.
Mahasiswa yang Dianggap Tiada

Meskipun dibedakan oleh letak geografis dan pribadi masing-masing, satu hal yang mempersatukan mereka, tak lain dan tak bukan adalah pendidikan dan harapan untuk memajukan bangsa. Banyak eksil yang tersebar di berbagai negara komunis merupakan mahasiswa perantauan yang pergi untuk jenjang lebih tinggi dengan harapan ilmu yang mereka peroleh akan digunakan untuk membantu tanah air mereka berkembang lebih baik. Sayangnya, adanya peristiwa G30S PKI yang berada di luar kendali mereka, membuat harapan untuk kembali ke Indonesia menjadi hilang. Mereka yang dicurigai berpihak kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) akan mendapat interogasi, pemukulan, hingga pengasingan akibat dari sejarah yang mereka sendiri tidak terlibat apabila mereka kembali ke tanah air pada masa itu. Identitas bangsa yang awalnya menjadi makna persatuan sesama mahasiswa perantauan, kini berubah menjadi perpecahan lantaran perbedaan pemikiran yang tidak searah dengan pemerintah di rumah. Tanpa pilihan, mereka akhirnya terjebak dalam suatu limbo krisis identitas, tetap setia terhadap republik yang menghilangkan mereka, atau menanggalkan semua hal tersebut guna negara lain yang mau menerima.
Tersesat di Jalan Tanpa Arah Balik Pulang

Akibat dari peristiwa G30S PKI yang terjadi di tanah air, banyak di antara mereka menetap tanpa jalan kembali, tanpa menghilangkan semua memori mereka terhadap Indonesia meskipun negara terus memberikan stigma untuk terus waspada dan takut kepada mereka, mahasiswa-mahasiswa biasa dengan pemikiran yang dianggap berbahaya. Hal ini mengakibatkan mereka terpaksa mencari penghidupan dengan usaha dan tekad mereka sendiri tanpa ada bantuan siapapun untuk menolong situasi sulit mereka. Dalam film digambarkan dengan jelas Orde Baru menimbulkan rasa takut di antara masing-masing eksil dan keluarga. Hal ini membuat mereka putus hubungan yang mengakibatkan putusnya bantuan terakhir yang para eksil ini harapkan.
Lebih dari sepuluh tahun mereka terus hidup biasa menjadi buruh pabrik, koki, hingga asisten riset sambil menunggu bantuan sekecil apapun yang bisa mereka harapkan. Meskipun begitu, dalam kemonotonan ini gelisah masih terus menghantui jalannya para eksil, baik datang dari rumah maupun dari negeri yang mereka tempati, baik dalam bentuk lahirnya anak dalam keadaan genting di rumah, maupun kecurigaan spionase dari orang-orang yang mereka temui. Akan tetapi, di balik kesulitan yang mereka alami, satu hal tetaplah mereka pegang, yaitu kecintaan mereka terhadap Tanah Air Republik Indonesia. Mereka hanya ingin pulang.
Memanusiakan Manusia

Meski membahas topik sejarah gelap negeri ini, film ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa mereka memang betul-betul sesama Warga Negara Indonesia. Meski berbeda pemikiran, mereka tahu bagaimana rupa Jakarta, mereka ikut berjuang merebut kemerdekaan dari Belanda, dan mereka berusaha tetap patuh kepada Sang Saka Merah Putih dan Garuda Pancasila. Lantas yang patut dipertanyakan adalah mengapa pemerintah kita terus mendemonisasi yang seharusnya menjadi bagian dari kita hanya karena seseorang memiliki ide yang subversif terhadap negara tanpa menjadi bagian dari gerakan tersebut?
Lautan Fakta dengan Pesan yang Nyata

Film ini menyajikan perspektif yang menyegarkan dibandingkan dari perspektif-perspektif sebelumnya yang menggambarkan setiap anggota PKI sebagai momok masyarakat yang harus segera ditumpaskan atas nama stabilitas negara, melainkan hanya manusia biasa dengan pemikiran yang berbeda. Selain itu, camerawork film ini cukup baik menggambarkan isolasi dan rindu mereka terhadap Tanah Air dengan berbagai shot menempatkan sendiri di antara kota-kota yang ramai tak mengenal mereka. Hal lain yang perlu disebutkan adalah bagaimana pembawaan narasi film ini dapat dengan mudah menarik hati audiens dengan beberapa cerita pribadi masing-masing eksil yang ditambah dengan audio penuh emosi yang menarik kita ke dalam perasaan para eksil.
Walaupun demikian, pembawaan narasi film masih cukup bias akibat dari subyek dokumenter dan dari narasi tambahan sutradara sendiri. Selain itu, Act Three dari film ini kurang teratur yang di mana Act dimulai dengan pertanyaan mengenai bagaimana PKI jatuh dan kemudian dilanjut dengan bagaimana nasib para eksil saat ini. Meskipun begitu, film ini berhasil dalam tujuan sutradara, yaitu mengingatkan lembaran sejarah kita yang akan hilang, dan memantik diskusi mengenai eksil-eksil ini terutama bagaimana pemerintah kita tidak sanggup membantu mereka.
Penulis: Taufiqurrahman Alfarisi
Editor: Alivia Nuriyani
Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting
Desain: Aprilia Shintia