Fisipolychrome Bicara WNI dan ISIS
Forum diskusi mahasiswa FISIP, Fisipolychrome, oleh BEM FISIP Universitas Diponegoro, pada Kamis (27/2) sempat mengalami penundaan hingga setengah jam akibat hujan. Meski begitu, hal tersebut tidak menjadi penghalang berlangsungnya tukar pendapat oleh para peserta diskusi. Mereka tetap antusias membuka pembahasan dan menyatakan pandangan terkait isu WNI eks ISIS yang diusung menjadi tema bahasan hari itu.
Dikutip dari laman Instagram resmi BEM FISIP Undip, Fisipolychrome merupakan suatu wadah diskusi untuk seluruh mahasiswa FISIP Undip yang membahas mengenai isu-isu di Indonesia, baik isu kampus, regional, maupun nasional. Diskusi ini membicarakan mengenai latar, sebab, dan akibat dari isu-isu tersebut yang nantinya akan dibicarakan, dianalisis, serta dikomentari oleh mahasiswa. Acara yang dimoderatori oleh salah satu fungsionaris BEM FISIP 2020, Yosafat Hernantyo, diwarnai oleh beragam argumen pro dan kontra mengenai kepulangan WNI Eks ISIS.
Diskusi dibuka oleh Yosafat selaku moderator mengenai kekhawatiran masyarakat terhadap perkembangan radikalisme di Indonesia dan terancamnya keamanan global jika WNI eks ISIS dipulangkan ke tanah air. Meskipun, jika dilihat dari sisi kemanusiaan, pemulangan ini dinilai sebagai proses memperjuangkan status kewarganegaraan para WNI eks ISIS.
Dialog ini tentu saja diramaikan oleh dua sisi, pro dan kontra. Dari sisi kontra, Tasya dari departemen Ilmu Pemerintahan mengemukakan bahwa wacana pemulangan anak, orang tua, atau pihak terkait lainnya dinilai sebagai keputusan yang kurang tepat. Selain dipicu masalah biaya karena adanya kemungkinan permintaan tanggungan untuk pekerjaan, anak-anak yang berada dibawah umur sepuluh tahun juga dinilai sudah terpapar radikalisme. Meski semisal Indonesia sudah mengetahui cara-cara deradikalisasi dari negara lain dan mengupayakan rehabilitasi sekuat tenaga, radikalisasi akan tetap ada dalam benak WNI Eks ISIS jika mereka benar dikembalikan.
“Kita ‘kan tahu mereka sudah terpapar, dan dari dasar hukum ISIS sendiri, dari umur lima tahun mereka sudah mulai belajar tentang kekerasan. Hal itulah yang akhirnya akan memunculkan bibit-bibit radikalisasi,” ungkap Tasya.
Tidak hanya Tasya, Geraldo dari sisi kontra juga menambahkan bahwa menurut Undang-Undang 1945, Pasal 1 Ayat 3, negara Indonesia adalah negara hukum. Sehingga sebagaimana diatur oleh UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pada Pasal 23, sudah tercantum jelas bagaimana seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya. Sehingga WNI Eks ISIS sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai WNI karena sudah bukan bagian dari warga negara Indonesia secara hukum. Maka, ia mengatakan dengan tegas bahwa mereka adalah ISIS Eks WNI.
Sedangkan beberapa mahasiswa seperti Naufal Tsabit lebih melihat isu tersebut dari sudut pandang lain. Ia berargumentasi bahwa sebagai konsekuensi bangsa yang menganut unsur humanisme dalam ideologinya sudah sepatutnya pemerintah memulangkan WNI eks ISIS.
Selaras dengan pernyataan Naufal, mahasiswa lainnya, Luthfi, memandang isu ini sebagai kesalahan semua masyarakat, terlebih pemerintah yang dinilai kurang akan sosialisasi mengenai ideologi Pancasila. Ia juga menambahkan bahwa sebagai masyarakat, kita harus melihat lebih jernih mengenai alasan mereka dapat terjerumus ke dalam ideologi terorisme, karena kadang kala bergabungnya mereka ke dalam kelompok radikal tersebut bukan hanya karena faktor kesamaan ideologi, tetapi juga diwarnai alasan lain, seperti faktor ekonomi dan memperoleh janji untuk hidup melepas status sebagai warga pra-sejahtera.
Diharapkan pula sebagai masyarakat sekaligus mahasiswa yang dinilai memiliki sumber belajar lebih baik, kita tentunya lebih kritis dalam memilah dan menyikapi informasi yang berkembang terkait isu radikalisme yang kini tengah menyelimuti.
Reporter: Amelia Nuraini Purnomo/ Luthfi Maulana Adhari
Editor: Ikhsanny N.I
Redaktur Pelaksana: Annisa Q.A