Memperingati Hari Buruh Internasional: Kronik Pergerakan Buruh dari Masa ke Masa
(Sumber: Liputan6)

Hari Buruh dan Tragedi Haymarket

Pada abad ke-19 ketika Revolusi Industri dan industrialisasi meningkat, waktu kerja para buruh di Amerika Serikat (AS) mencapai 12 hingga 16 jam per hari selama seminggu dengan upah yang terbilang rendah. Fasilitas serta kondisi tempat kerja yang tidak memadai turut memperkeruh kondisi para buruh yang mengakibatkan ribuan buruh meninggal setiap tahunnya pada era tersebut. Berkaca pada keadaan yang kian memburuk, Federation of Organized Trades and Labor Unions (FOTLU) mengadakan konvensi pada tahun 1884 yang menargetkan terjadinya transisi waktu kerja buruh dari 16 jam ke 8 jam per hari sejak 1 Mei 1886 dan seterusnya. 

Kerusuhan Haymarket (Haymarket Riot) (Sumber: Wikipedia)

Pada 1 Mei 1886, salah satu organisasi buruh terbesar di AS, Knight of Labours menggerakkan para buruh untuk melakukan pemogokan kerja besar-besaran dan melakukan aksi yang berpusat di Kota Chicago demi menuntut terpenuhinya hak-hak mereka. Aksi tersebut berlangsung selama empat hari, hingga merenggut sejumlah korban jiwa akibat bentrokan dengan aparat keamanan pasca sebuah bom meledak di tengah-tengah kerumunan aksi. Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Haymarket tersebut menjadi pionir bagi Second International (organisasi partai-partai sosialis dan buruh), untuk menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional pada tahun 1889.

 

Apakah Buruh Hanya Mencakup Golongan Pekerja Tertentu?

Menurut Zoetmulder dalam kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata buruh secara harfiah  diartikan sebagai orang yang bekerja dengan memperoleh bayaran. Sedangkan dalam arti formal, kata buruh sempat mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan misalnya, kata buruh digunakan secara luas bahkan digunakan sebagai penamaan salah satu jabatan politik di era Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II, yakni Menteri Perburuhan. Seiring berjalannya waktu, istilah buruh mengalami pergeseran makna, dari yang sebelumnya memiliki cakupan luas, kini secara spesifik mengarah pada pekerja kerah biru yang lebih mengandalkan kekuatan fisik dibandingkan dengan kekuatan intelektual. Apabila berkaca pada Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, istilah buruh atau pekerja diartikan sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Maka dalam konteks ini, sejauh masih terdapat relasi kuasa antara pemilik modal dengan pekerja, secara substantif pekerja tersebut adalah buruh.

 

Kronik Pergerakan Buruh di Indonesia

Era Kolonial

Pada era ini, buruh dipaksa tunduk dan bekerja di bawah perusahaan pemerintah kolonial dengan tingkat kesejahteraan yang minim. Para pekerja yang tidak terima akan perampasan hak-hak mereka, perlahan mulai melakukan perlawanan.  Salah satu bentuk perlawanan dilakukan melalui pendirian Nederland Indische Onderwys Genootschap (Serikat Pekerja Guru Hindia Belanda) pada tahun 1879, Pos Bond (serikat pekerja pos) pada tahun 1905, serta Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (Serikat Buruh Kereta Api) di Semarang pada tahun 1908. Pada Mei hingga Agustus 1923, lebih dari 10 ribu buruh kereta api melakukan mogok kerja untuk menuntut kesejahteraan yang lebih baik melalui peningkatan upah,  serta penghilangan tindakan sewenang-wenang terhadap kaum buruh oleh para pemilik modal.

(Sumber: BerdikariOnline)

Era Orde Lama 

Pada masa awal kemerdekaan, serikat buruh di tanah air mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Beberapa organisasi buruh seperti Barisan Buruh Indonesia (BBI), Barisan Buruh Wanita (BBW), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GASBI), dan Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GBSV) terbentuk. Pada tahun 1946, organisasi-organisasi tersebut kemudian melebur menjadi Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Dalam perkembangannya, SOBSI memiliki pengaruh yang besar dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan warisan pemerintah kolonial di akhir tahun 1950-an. Di sisi lain, orientasi pergerakan SOBSI di ranah politik salah satunya ditunjukkan dengan memberikan sokongan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang berorientasi pada sosialisme dan antiimperialisme. 

 

Orde Baru

Pada era ini, rezim Orde Baru (Orba) lebih senang menggunakan diksi “tenaga kerja” dibandingkan dengan “buruh”. Pengurangan penggunaan kata buruh salah satunya dalam penamaan jabatan politik yang sebelumnya disebut Menteri Perburuhan, diubah menjadi Menteri Tenaga Kerja. Hal tersebut merupakan buntut stereotip negatif yang timbul terhadap gerakan buruh di era Orde Lama, akibat sejumlah serikat buruh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu, menurut Nuraini (2024), di era itu buruh dianggap memiliki konotasi yang terlalu revolusioner dan dapat membangkitkan semangat perlawanan di kalangan pekerja. Rezim Orba cenderung ingin mengurangi potensi konflik sosial dan memperkuat kontrol atas masyarakat, termasuk kaum pekerja.

Selain pelarangan penggunaan kata “buruh”, pengekangan terhadap buruh juga berlangsung setiap tahunnya, mulai dari pelarangan aktivitas independen, penindasan, serta tindakan represif pemerintah dan aparat terhadap aksi-aksi buruh. Satu di antaranya yakni memperbolehkan pengusaha memberikan sanksi kepada buruh yang melakukan mogok kerja. Kebijakan tersebut diatur dalam Ketetapan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor 342 Tahun 1986. Meskipun dengan sejumlah pembatasan yang ada, pergerakan buruh di era Orba tidak mandek begitu saja. Sebagai contoh,  sepanjang tahun 1981 terdapat sebanyak 145 aksi mogok kerja di 145 perusahaan yang melibatkan 30.464 buruh mendesak pemerintah menangani kondisi ekonomi buruh yang memburuk di masa itu.

 

Pergerakan Buruh Bukan Sekadar Menuntut Kenaikan Upah

(Sumber: ayobandung.com/Irfan Al-Faritsi)

Tuntutan yang disuarakan para buruh saat ini tidak hanya berfokus pada isu kenaikan upah belaka. Zuhdan (2014) menyatakan kenaikan upah memang menjadi isu strategis yang diperjuangkan oleh kaum buruh, tetapi bukan menjadi isu tunggal dari perjuangan gerakan buruh. Seiring dengan perkembangan zaman, kini buruh juga turut memperjuangkan hak-hak sipil dan politik. Di era reformasi seperti sekarang, para buruh tidak hanya fokus memperjuangkan upah kerja mereka, namun banyak sekali isu-isu baru yang mereka perjuangkan, mulai dari penghapusan kontrak kerja, perlindungan bagi pekerja rumah tangga dan perempuan, penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak, isu jaminan sosial, isu buruh dan kesetaraan gender, hingga penolakan UU Cipta Kerja. Artinya, dapat dikatakan saat ini gerakan buruh di Indonesia sudah sampai pada fase gerakan New Labour, gerakan yang tidak hanya berkutat pada masalah upah atau hubungan industrial semata (Zuhdan: 2014).

 

 

Penulis : Musyaffa Afif Nugraha, Muhammad Syauqi Al Sunni

Editor : Aulia Retno Utami

Pemimpin Redaksi : Kayla Fauziah Fajri

Desain: Anisah Budi Windarti

 

 

Referensi

Ahmad, Iqbal Faza dan Syaefuddin Ahrom Al Ayyubi. (2024). Kronik Gerakan Serikat Buruh di Indonesia : Peta dan Sejarah. Journal of Social Movement. Vol. 1(1) : 1-24

Fathana, Hangga dan Ayunita Nur Rohanawati. (2023, 1 Mei). Dosen adalah buruh: pengakuan ini adalah langkah pertama dalam memperjuangkan kesejahteraan akademisi. The Conservation. https://theconversation.com/dosen-adalah-buruh-pengakuan-ini-adalah-langkah-pertama-dalaM-memperjuangkan-kesejahteraan-akademisi-204209

Habibi, Muhtar. (2013). Gerakan Buruh Pasca Soeharto : Politik Jalanan di Tengah Himpitan Pasar Kerja Fleksibel. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 16(3) : 200-2016

Nuraini, Fitria. (2024, 05 Mei). Larangan Penggunaan Istilah Buruh pada Masa Orde Baru. SuakaOnline. https://suakaonline.com/larangan-penggunaan-istilah-buruh-pada-masa-orde-baru/

Prasetyo, Tri Wahyu. (2023, Mei 2). Jejak Pergerakan Serikat Buruh di Kota Semarang Era Kolonial. National Geographic Indonesia. https://nationalgeographic.grid.id/read/133773226/jejak-pergerakan-serikat-buruh-di-kota-semarang-era-kolonial?page=all

Sulistya, Anandha Ridho. (2024, 30 April). Mengenang Tragedi Haymarket, Titik Balik Peringatan Hari Buruh Internasional. Tempo. https://www.tempo.co/internasional/mengenang-tragedi-haymarket-titik-balik-peringatan-hari-buruh-internasional-63436

Shidarta. (2015, 1 Mei). SEMIOTIKA TERMINOLOGI TENAGA KERJA, BURUH, PEKERJA, PEGAWAI, DAN KARYAWAN. Binus University. https://business-law.binus.ac.id/2015/05/01/semiotika-terminologi-tenaga-kerja-buruh-pekerja-pegawai-dan-karyawan/

Sjion, Lily Martha Josina. (2020). Dampak Intervensi Pemerintah Orde Baru Dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) Terhadap Pergerakan Buruh Indonesia Tahun 1998-2014. 

Avatara : Jurnal Elektronik Pendidikan Sejarah. Vol. 10(1)

Yulianti, Dewi. (2012). NASIONALISME BURUH DALAM SEJARAH INDONESIA. Jurnal Humanika. Vol. 16 (9)

Yuniarto, T. (2024, 30 April). Sejarah dan Peringatan Hari Buruh Internasional. Kompaspedia. http://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/sejarah-dan-peringatan-hari-buruh-internasional

Zuhdan, M. (2014). “Perjuangan Gerakan Buruh Tidak Sekedar Upah: Melacak Perkembangan Isu Gerakan Buruh di Indonesia Pasca Reformasi”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 17 (3) : 272-290

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.