Hari Perempuan Sedunia: Bagaimana Penanganan Kekerasan Seksual pada Perempuan di Kampus?

Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Sedunia. Hari Perempuan adalah hari yang mengingatkan kita akan tuntutan mengenai hak-hak perempuan yang sampai sekarang ini masih menjadi keresahan di kalangan perempuan.

Hak perempuan termasuk hak untuk merasa aman dari segala bentuk kekerasan seksual sekarang ini nyatanya belum terimplementasi dengan baik, bahkan di lingkungan kampus atau perguruan tinggi yang sejatinya adalah tempat untuk menuntut ilmu. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus-kasus kekerasan seksual yang ditemukan khususnya pada perempuan.

Berbicara mengenai hal ini, Chris selaku founder organisasi komunitas pemerhati gender, seksualitas dan hak asasi manusia berbasis kampus di Semarang, Dipo Gender and Human Rights Center (Dipo GHRC), menjelaskan bahwa selama masa aktif organisasinya terdapat beberapa macam kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan di kampus.

“Yang masuk ke dalam laporan kami, kebanyakan kasus yang dialami yaitu kasus revenge porn, diseminasi konten intim tanpa consent, dan kekerasan seksual dalam pacaran,” ungkap Chris ketika diwawancarai oleh LPM Opini pada Selasa (15/3). 

Chris juga yakin masih banyak korban yang belum berani melapor pada pihaknya. Selain itu, menurutnya, perlindungan dari kampus terhadap hak perempuan, termasuk hak untuk merasa aman dari kekerasan seksual masih nihil.

Untuk proses penanganan kasus kekerasan seksual di kampus sendiri, Chris mengatakan bahwa mengikuti kemauan korban adalah prinsip yang harus dijalani dalam menangani kasus kekerasan seksual sebab pendamping tidak bisa bergerak sendiri tanpa ada persetujuan dari korban. 

“Dalam menangani kasus kekerasan seksual, tentunya prinsipnya harus mengikuti kemauan korban. Kami sebagai pendamping tidak bisa bergerak sendiri tanpa ada consent dari korban. Selain itu, sampai sejauh ini juga kasus yang kami dampingi tidak selalu mulus jalannya.” jelasnya.

Kendala dalam Proses Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Kampus

Chris mengatakan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan tidak selalu berjalan mulus. Banyak proses penanganan kasus kekerasan seksual yang mandek di tengah jalan karena prosesnya yang sangat melelahkan bagi korban.

“Sampai sejauh ini, kasus yang kami dampingi tidak selalu mulus jalannya, yang perlu diketahui adalah selama masih belum ada payung hukum untuk penanganan kekerasan seksual, baik nasional maupun dalam lingkup kampus, akan sangat sulit bagi korban untuk mendapat keadilan,”

“Sangat melelahkan bagi korban untuk mencari bantuan yang hukum keadilan bagi pelakunya saja tidak ada sehingga seringkali susah bagi korban untuk lanjut dan mendapat closure.” imbuh Chris.

Kendala lain yang dialami dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual pada perempuan menurut Chris juga tidak lain adalah karena belum adanya peraturan yang melindungi dan memberi keadilan bagi para korban. Sikap pihak kampus oleh Chris pun dinilai sama sekali tidak memberikan keadilan bagi korban. Sebaliknya, hal tersebut malah memperburuk trauma korban karena harus dipertemukan kembali dengan pelaku.

“Belum ada peraturan yang melindungi dan memberi keadilan. Selain itu, sistem keadilan yang ada juga tidak memihak korban. Waktu untuk mencari bantuan yang dimiliki korban juga terbatas karena masih harus melakukan kewajiban lain seperti kuliah, kerja, dan lainnya”

“Kendala lain juga muncul karena adanya pelaku yang dilindungi oleh atau berada di balik nama baik dan relasi kuasa. Serta yang terakhir itu adanya pihak-pihak kampus yang mencoba menutupi dan memaksa penanganan lewat “mediasi” atau jalur damai,” jelas Chris selaku perwakilan DipoGHRC. 

Selain permasalahan kekerasan seksual, permasalahan lain yang juga dinilai masih banyak dialami perempuan di kampus adalah masalah diskriminasi. Akan tetapi, seperti yang sudah dikatakan, bahwa korban diskriminasi juga berada pada kondisi seperti korban kekerasan seksual, terpojokkan dan tidak berani melapor. Hal ini dikarenakan adanya isu relasi kuasa yang membuat pelaku dilindungi oleh jabatan, nama baik, kekuasaan atau yang lainnya.

“Banyak (perempuan korban diskriminasi), tetapi semua kembali kepada isu relasi kuasa. Pelaku dilindungi oleh jabatan, nama baik, kekuasaan dan yang lainnya yang dapat digunakan untuk memperdaya dan melakukan tindak kekerasan seksual terhadap korban. Korban yang tahu bahwa mereka bukan siapa-siapa di hadapan pelaku, menjadi merasa terpojokkan dan tidak berani untuk melapor.” ungkap Chris.

Upaya Pendampingan dan Advokasi Kasus Kekerasan Seksual

Sejatinya, pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek), telah mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. 

Akan tetapi, menurut penuturan Chris sendiri, sampai sekarang belum ada kontribusi dari pihak kampus untuk masalah advokasi dan pendampingan penanganan kasus kekerasan seksual. 

Kemudian, hal yang menarik adalah Chris menilai bahwa meskipun ada kontribusi dari kampus, pihaknya kurang setuju dengan hal tersebut.

“Dan meskipun ada (kontribusi dari kampus), kami sebenarnya kurang setuju dengan keterlibatan kampus secara langsung, termasuk BEM. Karena dari draft peraturan rektor kemarin, juga dari kasus-kasus yang ditangani kampus, masih banyak kesalahan dalam penanganan dan tidak ada perspektif korban sama sekali,” paparnya. Selain alasan tersebut, menurut Chris, yang seharusnya mendampingi korban kekerasan seksual adalah pihak ketiga yang netral.

“Jika kampus ingin membantu, mungkin bisa dengan terlebih dahulu mengesahkan peraturan terkait kekerasan seksual dengan perspektif korban,” ungkapnya menambahkan.

Upaya dalam Mengawal Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus

Sebagai upaya untuk mengawal pelaksanaan Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi di kampus, terutama di Universitas Diponegoro, pihak DipoGHRC berencana untuk membentuk koalisi bersama organisasi-organisasi yang peduli akan kasus kekerasan seksual.

“Koalisi ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi dari draft peraturan rektor Undip terkait kasus kekerasan seksual yang kemarin muncul. Dengan harapan rekomendasi yang dibuat oleh kami dapat diimplementasikan dalam draft baru yang lebih berperspektif  korban dan ada imparsialitas dari kampus, juga untuk pembentukan satuan tugas (satgas) kekerasan seksual pendamping yang bukan dari pihak rektorat maupun kampus dan dari pihak ketiga.” 

Terakhir, Chris mengungkapkan apa yang menjadi harapannya pada hari perempuan kemarin mengenai masa depan pemberdayaan perempuan.

“Semoga masyarakat, terutama institusi-institusi pendidikan, semakin menyadari pentingnya ruang aman untuk semua orang karena kampus seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar dan berdiskusi. Dengan begitu, baik perempuan maupun teman-teman minoritas bisa bergerak dan belajar dengan aman di kampus.” tutupnya.

Penulis: Alivia Nuriyani

Editor: Almira Khairunnisa

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.