Jadi Persoalan, Kesejahteraan Pemagang Patut Dipertanyakan
LPM OPINI – Bulan Mei diawali dengan hari yang bersejarah di dunia, yakni Hari Buruh atau biasa dikenal dengan sebutan May Day. Secara rutin, aksi Hari Buruh digiatkan oleh masyarakat di seluruh belahan bumi, tak terkecuali Indonesia. Beberapa polemik menyangkut kesejahteraan tenaga kerja tampaknya selalu menjadi hal yang terus diperjuangkan.
Belakangan ini, salah satu perusahaan start-up di Indonesia, Ruangguru, ramai menjadi buah bibir warganet, khususnya para pengguna Twitter. Beredar kabar bahwa perusahaan yang bergerak di bidang edukasi tersebut melakukan eksploitasi tenaga kerja karena tidak menggaji guru magang dengan layak, padahal mereka mampu mengeluarkan miliaran rupiah untuk iklan dan acara TV sebagai ajang promosi.
Akan tetapi, hal tersebut dibantah oleh Iman Usman selaku Co-Founder Ruangguru. Dalam cuitan di akun Twitternya, ia mengklarifikasi bahwa tidak ada pegawai magang yang tidak digaji. Seluruh perusahaan magang dibayar secara kompetitif tergantung dari bidang dan beban kerja masing-masing individu.
Rupanya, permasalahan ini melahirkan berbagai sudut pandang dari warganet. Salah satu pengguna Twitter dengan nama @aisyablabla menimpali kontroversi ini dengan berpendapat bahwa pegawai magang yang tidak digaji merupakan sesuatu yang wajar.
“Menurut aku, intern dianggap underpaid. Statusnya kan bukan pegawai. Walau terkesan rendah untuk menopang hidup, tapi esensinya kan untuk belajar dan cari pengalaman di dunia kerja,” cuitnya.
Salah satu mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Sasha (nama disamarkan), membagikan pengalamannya sebagai mahasiswi magang di sebuah perusahaan. Kendati merasa tidak ada eksploitasi pekerja di perusahaan tempat ia magang, Sasha merasa ada hal yang mengganjal terkait sistem magang di perusahannya.
“Hal yang mengganjal adalah durasi jam kerja yang tidak sesuai kesepakatan di awal. Anggaplah seharusnya office hour mulai jam 9 pagi hingga jam 6 sore. Namun, realitanya, kultur di divisi tempat saya magang ternyata overtime. Bisa mulai jam 9 pagi hingga 8 malam,” ungkapnya.
Sasha menjelaskan bahwa ia melakukan magang atas dasar kewajiban 3 SKS dari kampus. Ia pun menjalani program magang selama satu bulan. Di tengah proses magang, ia mendapat tawaran untuk extend. Setelah melalui berbagai pertimbangan, pada akhirnya ia menolak perpanjangan tersebut karena merasa feedback yang didapatkan sangatlah kabur.
“Kondisi saya masih sebagai mahasiswa aktif. Artinya, kewajiban utama saya adalah belajar di kelas. Sempat terjadi negosiasi terkait tawaran ini. Namun, saat saya menanyakan feedback, pihak korporat tidak menjawab. Ya, saya gak maulah, nawarin kerjaan tapi gak ada feedback. Kok kayak relawan bencana,” keluhnya.
Berbicara soal sistem pengupahan, Sasha juga mengutarakan bahwa pemagang di perusahaannya tidak diberikan upah berupa uang. “Anak magang hanya diberi akses makan siang di pantry sebagaimana karyawan lainnya,” tambahnya.
Sasha berharap ke depannya perusahaan dapat menyediakan sistem yang lebih baik untuk program magang baik secara mandiri, maupun kewajiban dari kampus.
“Sebaiknya perusahaan dapat menyusun program yang layak. Artinya, perusahaan diharapkan dapat menyediakan tenaga pembimbing, upah yang layak, dan tugas sesuai dengan kapasitas pemagang,” tutupnya.
Kesejahteraan pemagang menjadi polemik yang tak berujung dengan masalah upah yang selalu jadi persoalan. Para pemagang berharap secercah harapan mengenai sistem magang yang lebih baik dapat hadir di masa depan. Di balik beban yang mereka pikul, terdapat kemakmuran yang berhak mereka rangkul.
Penulis: Almira Khairunnisa
Editor : Annisa Qonita
Redaktur Pelaksana : Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma