Kembali Ricuh, Demonstran hingga Pers yang Terlibat Aksi Semarang Tuai Tindakan Represi
Aliansi Mahasiswa Semarang kembali melakukan seruan aksi, yakni Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) bertajuk Jateng Bergerak: Adili dan Turunkan Jokowi pada Senin (26/08) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang. Massa aksi terdiri dari kurang lebih seribu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Semarang, beberapa siswa Sekolah Teknik Menengah (STM), dan elemen masyarakat lainnya. Sekitar pukul 14.30 WIB, mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) bersama rombongan lainnya bergegas menuju Balai Kota Semarang dan tiba pada pukul 15.15 WIB. Mahasiswa langsung merapat membentuk barisan hingga menutupi mobilisasi jalanan.
Perubahan Rencana Gerak Massa
Berdasarkan rencana awal, massa akan berunjuk rasa ke gedung DPRD Jawa Tengah (Jateng), tetapi berhubung jalan menuju target diblokade, pada akhirnya massa dialihkan untuk melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD Kota Semarang. Hal ini diungkapkan oleh salah satu massa aksi demonstrasi, Valdi Merviano.
“Sebenarnya plan awal memang sudah sematang itu. Namun melihat keadaan, sepertinya gerak-gerik kita terbaca, oleh karenanya kita langsung mengambil jalur alternatif, yaitu melakukan aksinya di DPRD Kota Semarang, yaitu di sini sekarang,” jelas Valdi saat ditemui OPINI pada Senin (26/08).
Kronologi Unjuk Rasa
Aksi diawali dengan melakukan pembacaan pernyataan sikap dilanjut dengan orasi dari perwakilan mahasiswa. Adapun pernyataan sikap tersebut memuat empat poin penting, yakni:
- Meminta seluruh pejabat negara untuk patuhi hukum demi mengembalikan marwah demokrasi sebagaimana mestinya,
- Mewajibkan Jokowi dan kroninya untuk menegakkan konstitusi serta tidak membangkangi konstitusi,
- Melihat beberapa lembaga dicawe-cawe oleh Jokowi, maka kuatkan kembali fungsi institusi seperti KPK sebagaimana mestinya,
- Apabila hal demikian tidak dilaksanakan, maka kami meminta adili dan turunkan Jokowi sebelum tanggalnya.
Setelah penyampaian orasi beberapa lembaga, massa mulai mengerubungi dua pintu gerbang kanan, pintu masuk gedung Walikota Semarang dan kiri, pintu masuk gedung DPRD Kota Semarang. Unjuk rasa berlangsung ricuh. Para demonstran kembali merusak pagar untuk merangsek masuk. Alhasil, pihak kepolisian dan mahasiswa saling dorong.
Tak hanya itu, berdasarkan pengamatan tim OPINI, beberapa demonstran tampak melakukan tindakan anarkis, seperti merusak CCTV, berhasil merebut tameng dan pentungan polisi, hingga melakukan aksi vandalisme di Balai Kota Semarang. Beberapa kali pula terdengar pihak kepolisian melakukan negosiasi dengan mahasiswa, tetapi mahasiswa memberikan seruan untuk tidak bernegosiasi dengan mereka karena dianggap sebagai “kacung Jokowi”.
Mahasiswa terus melakukan orasi di depan polisi, mengepalkan tangan dan menyerukan ‘hidup mahasiswa!’, hingga menyanyikan lagu Ibu Pertiwi dan Darah Juang bersama-sama. Pukul 17.50 WIB, para demonstran beristirahat terlebih dahulu dan menunaikan sholat.
Unjuk rasa semakin panas kala menjelang petang, seusai istirahat. Siswa STM mulai berlarian menuju Balai Kota dari arah Timur dengan memegang pentungan sambil mengenakan helm. Tak berselang lama, saat tim OPINI berada di depan apotek Kimia Farma, massa dari arah Balai Kota mulai lari berhamburan menuju Mall Paragon, sebagai mitigasi alternatif.
Pasalnya pada pukul 18.21 WIB, polisi mulai bergerak memukul mundur massa menggunakan semprotan air dan peluru karet. Gas air mata mulai ditembakkan secara bertubi-tubi dengan dentuman yang kuat sekitar pukul 18.25 WIB sehingga demonstran semakin berhamburan untuk mendapatkan tempat yang aman. Beberapa mahasiswa juga tampak mendapatkan pertolongan medis akibat tembakan gas air mata yang dilakukan secara masif.
Kendala Lapangan: Massa Aksi Sulit Dikondisikan hingga Eksistensi Represi Pers
Demonstran dengan kuantitas yang banyak ditambah tingkat heterogenitas yang tinggi, menjadikan massa sangat sulit untuk dikendalikan. Valdi menuturkan kendala di lapangan yang terjadi akibat provokasi yang memicu kericuhan.
“Massa aksinya kurang bisa dikondisikan, kurang bisa mengikuti komando, sehingga cukup buyar. Terlebih lagi adanya provokator-provokator di dalam massa aksi, sehingga ya banyak yang terprovokasi dan egonya terpancing untuk mengikuti emosionalnya aja, tidak berlandaskan pada akal sehat yang sebenarnya sudah diskemakan dan juga dikomandokan oleh koor aksi ataupun koor lapangan,” pungkasnya.
Saat penembakan gas air mata sekitar pukul 18.25 WIB, salah satu tim OPINI, yakni Fauzan Haidar Ramadhan, berlari mendekati Balai Kota ketika massa berlari menjauh untuk melakukan live report situasi terkini. Tak berselang lama, Fauzan ditarik oleh beberapa aparat untuk segera menonaktifkan live reportnya. Hal ini terekam di video live report yang diunggah melalui instagram @lpmopini menjelang akhir-akhir tayangan video.
Berikut ini kami lampirkan kronologi yang dialami rekan kami.
18.28 WIB: Kepolisian memukul mundur massa sampai ke area depan halte Balai Kota
18.30 WIB: Fauzan mencoba meliput pelepasan tembakan gas air mata oleh pihak kepolisian
18.34 WIB: Liputan dilakukan sambil melakukan live report di instagram @lpmopini
18.36 WIB: Sebanyak 3-4 orang (diduga kepolisian, ada yang berseragam, ada pula yang tidak) mencoba menghentikan proses liputan
18.37 WIB: Upaya represi tersebut dibarengi dengan pencekikan, percobaan merebut handphone, dan menarik baju
18.40 WIB: Fauzan berhasil melepaskan diri berkat bantuan massa yang lainnya
Tindakan represif yang dialami rekan kami merupakan salah satu bentuk represi aparat kepolisian terhadap puluhan jurnalis pers mahasiswa lainnya.
Reporter: Fauzan Haidar Ramadhan, Natalia Ginting
Penulis: Natalia Ginting
Editor: Cheryl Lizka Yovita
Desain: Izza Karimatan