Kompleksitas Persaingan Kerja dan Otomatisasi Mesin di Era Revolusi Industri 4.0
Teknologi tak serta merta hadir dengan sempurna begitu saja, melainkan melalui tahapan panjang tak sebentar. Sejarah dari perkembangan revolusi industri pertama hingga keempat menjadi bukti. Sedikit menilik balik, revolusi industri 1.0 ditandai dengan perubahan proses produksi yang semula mengandalkan manual menjadi mekanis, sehingga aktivitas manusia dapat dikerjakan dengan lebih efektif dan efisien.
Berikutnya pada perkembangan revolusi industri 2.0, mulai ada dorongan produksi massal serta penetapan kualitas standar minimal (standardisasi). Beranjur ke revolusi industri 3.0, terjadi adaptasi massal diikuti proses produksi yang dikerjakan lebih fleksibel dan otomatis. Memasuki revolusi industri 4.0, lebih fokus mempromosikan penyebarluasan penggunaan komputerisasi pada seluruh lini guna meringankan pekerjaan manusia.
Pembagian kerja antara manusia dan sistem komputer telah berubah sepanjang masa. Secara teknis, terjadi pergeseran dari teknologi otomatisasi — bertujuan ‘melarang intervensi manusia’— di hampir semua titik dalam sistem yang mendorong tugas-tugas penting. Akibatnya, sejumlah besar populasi manusia telah digantikan oleh teknologi. Lebih serius lagi, penggantian manusia dengan sistem teknologi memberi jalan pada “mode keterlibatan” baru dengan implikasi sosial, ekonomi, dan etika yang luar biasa.
Persoalan dan Kompleksitas di Dalamnya
Dilansir dari situs resminya, McKinsey Global Institute menyimpulkan hasil kajian risetnya terkait dampak besar dari perubahan industri 4.0. Dunia perindustrian berbasis pemanfaatan otomatisasi mesin dan robotika terdampak paling luas karena berpengaruh pada sektor penyerapan tenaga kerja. Di lain sisi, akan diperoleh efek positif pada revolusi industri ini sebab otomatisasi dan digitalisasi turut meningkatkan produktivitas pekerjaan. McKinsey memprediksi perkembangan industri 4.0 akan menghilangkan sekitar 800 juta lapangan kerja yang ada.
Perubahan pekerjaan manual menjadi sistem robot dalam upaya digitalisasi secara menyeluruh menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi seluruh negara. Di Indonesia sendiri masalahnya terletak pada jumlah angkatan kerja yang besar, tetapi tidak dibarengi dengan menurunnya angka pengangguran. Masyarakat, terutama para generasi muda di era ini – mau tidak mau – dituntut untuk paham betul akan lingkungan yang terus berubah seiring dengan berkembangnya teknologi.
Meningkatkan investasi dalam pendidikan telah memperluas kelompok pekerja berpendidikan. Pekerja yang kurang berkualitas masih mengisi banyak posisi dan terhambat kekurangan keterampilan. Hasil riset menggambarkan bahwa apabila investasi dalam pendidikan maupun pelatihan berkualitas, maka akses ke pekerjaan lebih berkualitas dan mobilitas karir pun ikut menjadi sangat terbatas.
Masalah utama tidak hanya terletak pada kualitas pekerjaan, tapi juga kepatuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan dinilai sangat rendah. Dari pengangguran, hingga ketidaksesuaian keterampilan juga merupakan tantangan yang terus berlanjut. Pendekatan multifaset diperlukan untuk mendukung pertumbuhan dalam aktivitas bernilai tambah yang lebih tinggi.
Dampak yang paling terasa ialah pengurangan tenaga kerja manusia. Pekerja yang kurang terampil mudah tereliminasi digantikan dengan tenaga profesional. Jumlah yang diambil biasanya tidak banyak, sebab mereka yang terampil ini akan dibantu perangkat teknologi mesin otomatis. Akibatnya, banyak orang yang kehilangan pekerjaan di situasi persaingan yang semakin ketat.
Secara umum, kompleksitas adalah suatu keniscayaan yang sulit untuk dikendalikan. Terlebih berkenaan dengan perkembangan teknologi yang berpengaruh pada ketenagakerjaan. Saran yang strategis dan solutif sangat dibutuhkan dalam menghadapi dinamisasi teknologi.
Tantangan atau Ancaman?
Guna menghadapi dinamisasi industri 4.0, Kementerian Perindustrian memiliki target ketercapaian visi nasional. Secara garis besar, poin visi tersebut antara lain: memosisikan Indonesia masuk 10 besar bidang ekonomi di tahun 2030; mengembalikan jumlah net export industri 10%; melakukan peningkatan produktivitas tenaga kerja mencapai dua kali lipat (bila dikomparasikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja); mengalokasikan 2% GDP untuk kegiatan riset dan pengembangan teknologi, kreativitas, dan inovasi. Revitalisasi yang terus digarap ini diharapakan nantinya mampu mengejar ketertinggalan perkembangan teknologi.
Beberapa bidang tertentu sangat dimungkinkan posisi para pekerja digantikan oleh mesin atau sistem. Akan tetapi, sebagian besar bidang lainnya tidak berlaku secara mutlak.
Apa yang Dapat Dilakukan?
Amatlah penting bagi angkatan kerja – yang didominasi usia produktif – untuk menyiapkan diri dengan memahami serta mengeksplorasi teknologi secara meluas. Hal ini berguna untuk membangun personal branding yang mumpuni. Serta meninggalkan rekam jejak positif, khususnya dalam media sosial.
Sinergitas antara background pendidikan dengan pengalaman serta posisi yang akan atau telah diduduki juga perlu diperhatikan. Kemampuan dalam hal evaluasi atas apa yang telah dikerjakan dan bagaimana perubahan lingkungan yang kian berkembang, juga harus dimiliki.
Dikatakan oleh Schwab (2017) bahwa di masa depan jenis pekerjaan yang minim risiko terkena otomatisasi mesin adalah kategori pekerjaan yang memerlukan kompetensi keterampilan dan kreativitas. Biasanya berada di rumpun sosial —yang juga berkenaan dengan pengambilan keputusan di situasi genting atau di bawah tekanan— yang mengadopsi pengembangan ide dan inovasi. Itu artinya yakni luasnya bidang pekerjaan yang ‘aman’ dari risiko otomatisasi hanya pada satu atau beberapa sisi saja, agak sulit untuk melebarkan jangkauan.
Indonesia perlu memastikan bahwa tenaga kerja baru yang masuk dilengkapi keterampilan memadai untuk mendukung pembangunan ekonomi. Lembaga pasar tenaga kerja perlu menyediakan lingkungan yang memungkinkan guna mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja.
Sistem perlindungan dan jaminan sosial perlu mendukung produktivitas angkatan kerja dan menyelesaikan masalah yang terkait dengan kemiskinan serta ketimpangan. Solusi terintegrasi diperlukan di seluruh pendidikan, infrastruktur, sektor ekonomi, dan sektor sosial, untuk mempromosikan lapangan kerja yang berkualitas dan mendukung penciptaan lapangan kerja.
Sekali lagi, otomatisasi mesin menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi tenaga kerja. Permasalahan akan terus muncul berkenaan dengan perkembangan serta pergeseran tenaga manual menjadi mesin otomatis. Walaupun memang terdapat banyak cara yang dapat digunakan, sejatinya tidak ada solusi yang benar-benar efektif untuk mengatasi persoalan ini. Lebih tepatnya, cara-cara demikian hanya sebatas dapat membantu meminimalisasi risiko dari pengaruh otomatisasi mesin terhadap dunia ketenagakerjaan dalam lingkup yang tidak terlalu luas.
Namun bagaimanapun, revolusi industri tetaplah harus dihadapi dengan penuh persiapan. Apa pun yang terjadi nantinya, usaha yang kita lakukan untuk menyongsong perubahan teknologi haruslah dengan semaksimal mungkin. Zaman akan terus berkembang seiring berjalannya waktu. Sehingga penting untuk meningkatkan kompetensi diri agar bisa selalu bertahan di segala keadaan, tanpa terlalu terpengaruh perubahan yang signifikan. Sebab adalah angkatan kerja usia muda adalah generasi emas penerus bangsa.
Layaknya pesan yang disampaikan Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin, bertepatan dengan momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda.
“Mari jadikan peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini sebagai momentum bersatu dan bangkitnya pemuda Indonesia untuk terus berinovasi, bergerak, dan bergotong royong mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan sejahtera,” ungkapnya, disadur dari Antara Rabu (28/10).
Penulis: Annisa Qonita Andini
Editor: Dian Rahma Fika Alnina
Redaktur Pelaksana: Annisa Qonita Andini