29/11/2023

Menerjang Kesenjangan Abad Pencerahan dengan Filsafat Romantisisme Rousseau dalam Film Titanic

0

Salah satu adegan fenomenal dalam film Titanic.

James Cameron adalah sosok vegan dan environmentalis sejati, pernyataan tersebut tercermin dari film-film lainnya seperti Terminator yang menggambarkan kiamat akibat kekacauan alam oleh teknologi atau Avatar dengan ekokritiknya. Dalam film Titanic, secara gamblang James Cameron mencoba melakukan pendekatan filsafat Romantisisme yang sesuai dengan sifat environmentalis Cameron melalui penokohan Rose (Kate Winslet) yang melawan arus kultur peradaban modern.

Filsafat Romantisisme dalam gerakan sosial adalah reaksi pada konvensi sosial yang begitu rigid saat itu; dominasi kaum aristokrat atau kaum bangsawan. Ciri khas aliran ini adalah perlawanan pada nilai yang sudah ada. Kemunculnya diamini perkembangan teknologi berupa revolusi industri yang dibarengi dengan cara pikir rasionalistik, sehingga manusia merasa lebih tinggi lalu mengeksploitasi alam. Persis seperti cerita Titanic yang menggambarkan keserakahan dan kemajuan peradaban manusia.

“Titanic adalah kapal budak yang membawaku ke Amerika untuk dipenjara,” – Rose.

Pendekatan romantisistik mengajak manusia kembali bersahabat dengan alam dan menekankan kebebasan dari tatanan yang sudah ada. Sosok filsuf romantisisme; Jean-Jacques Rousseau mengambarkan manusia secara natural itu baik, berbanding terbalik dengan Thomas Hobbes dengan pernyataan bekennya “homo humini lupus” yang berarti “Manusia adalah serigala bagi manusia lain”. Rousseau berasumsi bahwa Man is born free and everywhere he is in chains. Akan tetapi rantai tersebut dirusak oleh kemajuan peradaban (modernisasi) yang menurutnya membuat manusia kehilangan fitrah (alamiah). Hal tersebut yang coba ditunjukkan Cameron dalam Titanic. Ia menggambarkan materialisme sebagai syarat tunggal manusia untuk berada di puncak kelas sosial, sementara Rose dalam film ini adalah manifestasi sempurna dari kesenjangan tersebut.

Silang Sengkarut Materialisme dan Patriarki

Titanic yang berlatar tahun 1912 ini mengisahkan Rose yang mengalami depresi karena represi sosial, pun imbas dari perkembangan peradaban modern. Perempuan masih dianggap kaum yang begitu lemah hingga hanya dimaklumkan untuk bekerja di rumah. Dogma patriarkial membuatnya merasa tidak merdeka sebagai perempuan. Dalam cuplikan film tersebut, ada satu momen saat ibunya berkata: “Ingat, ayahmu mati menutupi hutang yang banyak dengan nama baik.” Ungkapan itu dilontarkan saat ibunya juga mengatakan terpaksa memasrahkan Rose pada Caledon Hockley, seorang aristokrat kaya dan licik demi kehidupan yang layak. Praktik patriarki juga terlihat saat adegan Rose dipaksakan untuk mengetatkan pakaian oleh ibunya. Ini adalah salah satu terobosan dari Cameron yang bersebrangan dengan anggapan Rousseau bahwa perempuan mempunyai kebajikan feminin yang cenderung mengarah pada konsep patriarkial karena derajatnya yang tidak setara dengan laki-laki.

Pada April 1912, Rose yang saat itu berusia 17 tahun bersama ibu dan tunangannya Cal, menaiki Kapal Titanic, simbol kemajuan peradaban yang diagungkan dengan kutipan “Even God himself couldn’t sink this ship.” Singkat cerita, Rose yang sudah lelah akan represi sosial yang diterimanya hendak melakukan bunuh diri di tengah lautan lepas. Niatnya ini terhalang oleh Jack, laki-laki liar yang tidak mau terikat dengan norma kesopanan bangsawan. “Kamu akan mati, jika kamu tidak membebaskan dirimu. Mungkin tidak langsung, karena kamu kuat,” ujar Jack selang beberapa waktu setelah adegan tersebut. Menurutnya bukan mati agar bebas, justru berjuang supaya tidak mati; dalam artian membebaskan diri.

Dominasi borjuis atas proletar memang jadi bumbu dalam film ini. Bahkan saat kapal hampir tenggelam, ibu Rose masih sempat bertanya, “Apakah sekoci dibagi berdasarkan kelas?” Hal tersebut bertolak belakang dengan pernyataan Rousseau, “ketika akan dihadapkan kematian, maka perbudakan tatanan ini hancur”. (SocialContract, 121). Pernyataan tersebutlah yang dipikirkan Rose sebelum ia diselamatkan Jack.

Kritik Terhadap Rasionalisme, Kematian Jack, dan Rose yang Bebas

Kritik terhadap aliran rasionalisme terlihat jelas saat adegan Rose dan Cal diperlihatkan dengan lukisan-lukisan Picasso. Saat melihat karya-karya nyentrik seniman abad 20 tersebut, Rose mengatakan, “Ada kebenaran di luar logika,” menandakan bahwa yang utama bukan rasionalitas, melainkan hati, perasaan, dan imajinasi. Hal tersebut juga menjadi jawaban bagaimana tatanan yang tidak adil tersebut dapat dilawan, jawabannya ialah kembali ke alam dan hati, Romantisisme. Hal ini sebagaimana Jack mengajak Rose ke ujung dek kapal, memintanya menaiki pagar dan memejamkan mata, menunggu kapal untuk tenggelam. Kemudian adegan fenomenal terjadi, Jack memeluk Rose dari belakang, diiringi lantunan ‘My heart will go on’ kemudian Rose memejamkan matanya, menyatu dengan alam, merasakan kebebasan.

Setelah penonton dibuat luluh atas adegan tersebut, penonton dibuat sedih serta marah saat klimaks; kematian Jack. Banyak fans yang menuding bahwa Rose membunuh Jack karena membiarkannya mati kedinginan, mereka mengatakan Rose adalah perempuan tak tahu diuntung. Terlepas dari tudingan tersebut, kematian Jack sejatinya adalah sebuah pesan bahwa Rose akhirnya menjadi perempuan mandiri tanpa Jack, serta terbebas dari represi sosial dan budaya, termasuk dari tunangannya, Cal. Tanda ini semakin jelas saat kamar Rose terpampang foto bagaimana Rose melanjutkan kehidupannya dengan berkuda dan menerbangkan pesawat, aktivitas yang hanya dilakukan laki-laki saat itu. Kebebasan Rose juga diperkuat dengan adegan Rose membuang kalung berlian ke laut, dia menegaskan bahwa dirinya tidak terikat materi. Melepas dari tatanan kelas. Sementara Cal diceritakan bunuh diri akibat bisnisnya yang bangkrut.

Romantisistik memang membawa angin segar bagi sisi kemanusiaan yang dilupakan. Film Titanic mengingatkan akan potongan kue yang hilang dari abad pencerahan yang menekankan pada akal budi. Namun Cameron terlalu menggambarkan Romantisisme sebegitu dewa sehingga melengserkan rasio. Hal ini merupakan hal yang keliru pula. Hati dan imajinasi memang bagian besar dari kehidupan manusia, namun rasio juga jadi pegangan yang tidak bisa dipakirkan. Seperti kata pepatah: jangan seperti pendulum.

Penulis: Luthfi Maulana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *