Mayday 2020: Antara Kesejahteraan, Omnibus Law, dan Covid-19
ilustrasi: Biro Desain LPM Opini

Hari Buruh Internasional atau May Day merupakan hari peringatan perjuangan para buruh yang dalam menuntut kesejahteraan. May Day tidak tercipta di negara-negara yang menjadi pencetus Revolusi Industri, tetapi justru lahir di Amerika Serikat. Mereka menuntut adanya pembatasan waktu yang wajar untuk bekerja serta meminta agar perempuan dan anak-anak untuk tidak terlalu dilibatkan dalam pekerjaan buruh ini.

Awalnya gerakan demonstrasi para buruh memang hanya ada di Amerika Serikat, tetapi setelah itu banyak buruh dari berbagai negara yang sama-sama merasakan ketidakadilan. Sejak saat itulah May Day turut diperingati oleh berbagai negara di dunia. 

Sejarah Hari Buruh Internasional

Tahun 1806 merupakan awal dari pergerakan para buruh untuk menuntut keinginannya. Mereka menuntut penghapusan waktu bekerja selama 20 jam per hari serta mengurangi melibatkan perempuan dan anak-anak dalam bekerja. Hal ini dikarenakan  banyaknya wanita dan anak dibawah umur yang meninggal akibat tekanan menjadi buruh pabrik pada masa itu. Para buruh pun akhirnya membentuk suatu komunitas yang akan melancarkan gerakan demonstrasi turun ke jalan secara besar-besaran. Organisasi tersebut dikenal dengan nama Knight Of Labor. 

Knight Of Labor menyerukan bahwa buruh juga perlu untuk hidup selayaknya manusia pada umumnya. Mereka tidak ingin adanya tekanan tidak manusiawi dari para pemimpin di pabrik. Melihat adanya raut kesedihan dari para buruh, Federation of Organized Trades And Labor Unions (FOTLU) memberikan dukungan penuh terhadap para buruh untuk melancarkan aksinya. FOTLU juga memproklamasikan waktu bekerja para buruh hanya 8 jam per hari sejak 1 Mei 1886. Knight Of Labor mengerahkan setidaknya 300.000 pekerja yang membuat para buruh dari 13.000 perusahaan ini mogok kerja untuk melaksanakan demonstrasi besar-besaran tersebut. Sejak saat itulah dimulai adanya sebutan May Day atau Hari Buruh Internasional yang diperingati oleh para buruh di dunia ini pada tanggal 1 Mei. 

Peringatan Hari Buruh di Indonesia dari Waktu ke Waktu 

Peringatan Hari Buruh di Indonesia juga didasari adanya pemberontakan para buruh yang terjadi di Amerika pada saat itu. Pada tahun 1921, HOS Tjokroaminoto beserta muridnya membawakan pidato mengenai Hari Buruh kepada masyarakat Indonesia. Ia berjanji bahwa hal ini akan dibicarakan lebih lanjut di sidang-sidang besar kenegaraan. HOS Tjokroaminoto mewakili serikat buruh di Indonesia atas saran dari Sarekat Islam. Adanya keinginan untuk melakukan pemogokan kerja pertama kali di Indonesia dicetuskan oleh salah satu orang penting di dalam Partai Komunis Indonesia yaitu Semaun. Namun, Pemerintah Indonesia dengan cepat dapat menahan keinginan para buruh tersebut. Selama PKI masih di Indonesia, para buruh tidak diperkenankan untuk melakukan peringatan Hari Buruh seperti negara-negara lainnya. Hal ini lantaran untuk menghindari adanya tipu muslihat PKI agar tidak memperkeruh suasana di Indonesia. 

Pada 19 Mei 1948 buruh menuntut adanya pembayaran upah yang sudah tertahan sejak setahun lalu. Pada tahun 1950-an aksi buruh kembali terjadi dengan tuntutan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Pada masa sekarang, yang menjadi tuntutan para buruh ialah kenaikan upah yang telah menjadi angenda tahunan mereka. Demonstrasi umumnya dilakukan di DKI Jakarta karena Jakarta lah yang menjadi ibukota dan menjadi pusat kantor pemerintahan negara. 

Apa yang Disuarakan Buruh?

Tuntutan para buruh bisa dikatakan hampir sama setiap tahunnya. Mereka terus menuntut adanya kesejahteraan dan penghidupan yang layak. Terlebih, semua harga kebutuhan terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Perusahaan terdiri dari dua macam kepemilikan yakni pemerintah dan swasta. Di kedua belah pihak tersebut tidak semuanya mampu untuk merealisasikan apa keinginan para buruh. Banyak perusahaan yang tidak mampu untuk menaikkan gaji buruh karena memang profit yang didapat tidaklah sesuai dengan pengeluaran perusahaan.

Peringatan Hari Buruh 2019 di Kota Semarang. Foto: arsip LPM Opini

Peringatan May Day di Kala Pandemi

Ketika situasi dan kondisi tengah menghadapi pandemi covid-19 pasti banyak yang bertanya-tanya apakah peringatan May Day atau Hari Buruh yang ditandai dengan adanya demo besar-besaran akan tetap dilaksanakan? Awalnya, hal ini sebenarnya masih menjadi pertanyaan bagi banyak pihak termasuk para buruh sendiri. Adanya social distancing maupun PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) rupanya menjadi alasan terkuat mengapa demonstrasi para buruh untuk tahun ini masih dipertanyakan. Pemerintah pun tampaknya sempat bingung bagaimana tanggapan yang tepat untuk hal ini. 

Sebetulnya organisasi-organisasi buruh di Indonesia masih menginginkan adanya demonstrasi di depan gedung pemerintahan. Namun pemerintah menginginkan adanya penerapan physical distancing. Organisasi tersebut berjanji akan mengikuti protokol pemerintah dan menyediakan hand sanitizer agar tidak ada penularan covid-19 ini. Peringatan Hari Buruh tahun ini rencananya akan dilaksanakan pada tangal 30 April 2020. Mengapa dilaksanakan di tanggal 30 April? Karena tanggal 1 Mei merupakan hari libur nasional yang artinya DPR dan Kemenko Perekonomian tidak akan berada di tempat. 

Namun, pada akhirnya, demonstrasi untuk memperingati Hari Buruh tahun 2020 batal dilaksankan, demi mematuhi imbauan pemerintah terkait pencegahan penyebaran virus corona. 

Apa yang Diinginkan Buruh Tahun Ini?

Pandemi corona pada saat Bulan Ramadhan, juga mendekati Hari Raya Idul Fitri membuat banyak perusahaan yang tidak akan memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) lantaran tidak adanya pemasukan selama beberapa bulan. Selain THR, yang menjadi tuntutan buruh lainnya ialah perusahaan harus memberikan uang pesangon kepada para buruh yang menjadi korban PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Semenjak covid-19 muncul, banyak perusahaan yang memutuskan pekerjaan sepihak kepada para buruh, hal ini dikarenakan dari awal corona sudah banyak perusahaan yang merugi akibat bahan baku yang melambung tinggi di pasaran internasional.

Seperti yang dilansir dari tirto.id, 375 ribu buruh di-PHK, 1,4 juta buruh dirumahkan, dan sekitar 314 ribu buruh sektor informal terkena dampak. Adapun sebanyak 4 juta lebih buruh masih tetap bekerja, karena perusahaannya mendaftarkan izin beroperasi saat daerah setempat memberlakukan PSBB. 

Dilansir pula dari CNN Indonesia, jumlah buruh yang terkena PHK mencapai 1,6 juta pada bulan April lalu. Menteri Ketenagakerjaan sebenarnya memberikan saran terhadap perusahaan agar tidak melakukan PHK di saat kondisi seperti saat ini. Alternatif lainnya yang bisa dilakukan seperti mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas atau yang dapat diketahui sebagai manajer dan direktur. Selain itu juga dapat dilakukan dengan mengurangi jam kerja atau membagi waktu pekerjaan antar pekerja, membatasi dan menghapus jam lembur sementara, mengurangi hari bekerja, dan merumahkan para pekerja secara bergiliran. Hal-hal tersebut disarankan oleh menteri Ketenagakerjaan agar jumlah korban PHK di Indonesia tidak semakin melonjak seiring degan belum berakhirnya pandemi global ini. 

Apa Kabar Omnibus Law?

Tuntutan utama yang akan dilayangkan oleh para buruh ialah penolakan terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Adanya penolakan dari pihak buruh dikarenakan semua isi dari peraturan tersebut dinilai memberatkan. Dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga menyinggung soal pesangon yang diterima oleh para buruh. Pada UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tertulis di Pasal 156 ayat 1-5 dijelaskan bahwa perusahaan tetap memberikan uang pesangon kepada buruh yang terkena PHK. Sedangkan di dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja hal-hal yang mengenai uang pesangon dihapuskan. Sebenarnya masih menjadi tanda tanya besar, pesangon di dalam RUU Ciptaker ini dihapuskan atau hanya diubah, namun yang jelas, dengan adanya RUU Ciptaker mengenai pemberian uang pesangon ini membuat para korban PHK menjadi tidak mendapat kepastian akan adanya uang pesangon tersebut.

RUU Ciptaker juga berisi mengenai jam kerja yang dapat dikatakan terlalu menekan buruh. Pada Pasal 89 RUU Cipta Kerja pada poin 22 dapat disimpulkan bahwa pekerja atau buruh dituntut paling lama bekerja 8 jam per hari dan jika dijumlah total bekerja selama seminggu minimal harus 40 jam. Buruh beserta organisasinya merasa tidak adil kepada orang-orang yang jumlah waktu kerjanya kurang dari 40 jam dalam seminggu. Itu artinya upah yang diterima orang tersebut di bawah minimum.

Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tidak memiliki kemampuan juga akan bebas melanglang buana di Indonesia jika RUU Cipta Kerja disahkan nantinya. Sebenarnya TKA sudah memiliki persyaratannya sendiri untuk dapat bekerja di Indonesia, dapat dilihat juga dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut dituliskan bahwa TKA diperbolehkan bekerja di Indonesia asalkan memiliki keterampilan khusus yang mana masih banyak rakyat Indonesia yang belum bisa menguasai bidang-bidang tertentu. Dalam Rancangan RUU Ciptaker persyaratan tersebut akan dihapus, sehingga TKA akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan di Indonesia, hal ini akan menjadi bumerang karena akan mengurangi jumlah lapangan kerja.

Belum lagi mengenai penghapusan sanksi pidana bagi pengusaha. Dalam UU No. 13 Tahun 2003 juga disebutkan bahwa ada tindakan tegas dari pemerintah jika pengusaha tidak memberikan hak-hak buruh sebagaimana yang seharusnya diterima oleh mereka. Dalam RUU Cipta Kerja peraturan ini akan dihapus. Jika memang di kemudian hari peraturan ini dihapuskan, itu berarti menjadi ancaman bagi para buruh karena tidak ada lagi yang menopang perlindungan hak-hak mereka. Dikhawatirkan nanti akan ada pengusaha atau perusahaan yang bertindak semena-mena melanggar hak buruh dengan alasan tidak ada lagi peraturan yang menopang hal-hal tersebut.

Selain dari masalah-masalah di atas, sebenarnya masih banyak permasalahan yang akan diungkapkan kepada pihak pemerintah. Serikat buruh menuntut adanya keadilan seperti yang dicetuskan dalam Pancasila dan UUD 1945. Adanya peringatan Hari Buruh Sedunia ataupun Nasional ini dijadikan para buruh sebagai ajang untuk menuntut hak dalam berbagai bidang yang dirasa tidak ada hasilnya sama sekali. Berbagai peraturan sudah diciptakan, namun masih saja berat sebelah. Berat sebelah di sini diartikan sebagai terlalu membawa keuntungan untuk pengusaha sedangkan para buruh hanya menerima imbas dari adanya peraturan-peraturan tersebut.

Pemenuhan hak pekerja lah masih luput dari mata perusahaan. Mereka tentu menginginkan adanya profit, namun tidak memikirkan kondisi dari para pekerja. Buruh menginginkan adanya jam pelaksanaan kerja yang tidak terlalu menuntut banyak hal dari kehidupan mereka. Selain itu juga menginginkan adanya jaminan keselamatan bekerja. Banyak perusahaan yang belum atau bahkan tidak memberikan jaminan tersebut dengan berbagai alasan, namun tetap  memperkerjakan buruh dalam waktu yang lama. Penegakan dan pemenuhan HAM berlaku untuk seluruh manusia tanpa mengenal jabatannya, usia, gender, atau atribut apapun yang melekat pada dirinya.

Penulis: Wahyu Rahmadinda

Editor: I. N. Ishlah

Redaktur Pelaksana: Annisa Qonita A.

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.