Papua, Anak Emas yang Kerap Diabaikan

LPM Opini – 1 Mei 1963, Presiden Ir. Soekarno naik ke atas mimbar dengan perasaan bungah, pidato bapak Proklamator yang dikenal dengan amanah 1 Mei 1963 merupakan ekspresi kebahagiaan atas pemenuhan salah satu resolusinya; pembebasan Irian Barat. 

Di tanggal yang sama pada hari ini, tahun 1963, Otoritas Pemerintahan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia sesuai amanat Perjanjian New York. Pun begitu, pada masa itu Papua masih belum benar-benar paripurna berbendera merah putih, karena dalam salah satu maklumat Perjanjian New York yang masih tersisa ialah; pemerintah Indonesia harus melaksanakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua selambat-lambatnya pada tahun 1969. Yang kemudian 5 tahun setelah penyerahan Irian Barat pada 22 Agustus 1968, Sekjen PBB mengutus Dr Fernando Ortiz Sans ke Papua untuk mempersiapkan dan mengatur jalannya peristiwa bersejarah bernama Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Hasil Pepera, diumumkan pada 2 Agustus 1969, menetapkan Papua sebagai bagian dari Indonesia.

Berangkat dari bagaimana Papua yang dahulu diperjuangkan, menjadi refleksi kita melihat bagaimana mereka diperlakukan sekarang. Masih sangat erat di benak kita bagaimana kawan-kawan dari Timur di Asrama Papua, Surabaya, mendapat kekerasan rasial pada 16 Agustus 2019 yang membuat gonjang-ganjing polemik soal Papua merembet ke daerah-daerah. 

Unjuk rasa kemudian dikobarkan di Manokwari pada 18 September silam yang kemudian berakhir ricuh. Dilanjutkan dengan kerusuhan berantai yang terjadi di Malang, Ternate, Ambon, Maluku, hingga Bandung. Setidaknya, tercatat hanya Yogyakarta dan DKI Jakarta sebagai kota yang turut menjadi tempat aksi, namun masih terbilang kondusif.

Dampak paling parah dari rentetan setahun silam terjadi di Wamena, tepat lima hari pasca-kerusuhan unjuk rasa di Manokwari. Kejadian mencekam di Wamena ini melibatkan sekitar 600 warga yang mengaku sempat jadi sandera dalam demo mengerikan di Wamena. Puluhan bayi, anak-anak, dan bahkan ibu hamil tanpa rasa iba turut dijadikan sandera. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi saksi betapa sejumlah sandera dibakar hidup-hidup. Satu keluarga dikabarkan dimasukkan dalam honai lalu dibakar, sementara beberapa orang dimasukkan ke dalam mobil untuk dibakar. 

Ironisnya, sampai sekarang, dalang riil dari rentetan peristiwa nahas tahun lalu masih diliputi tanda tanya. Tidak hanya itu, pemerintah pun seakan sulit untuk dapat dipercaya dalam mengusut kasus ini. Menko Polhukam, Wiranto, mengatakan, “Hanya dari peristiwa itu tentunya kita butuh nanti perbaikan-perbaikan tentang sistem pengiriman mahasiswa di daerah-daerah itu. Asramanya bagaimana? Pembinaannya Bagaimana? Tentu butuh ya.” 

Hal ini seakan-akan menjadi sebuah pelepastanganan seorang menteri dengan rekam jejak yang sebenarnya kelam, akan pengusutan dalang dibalik penyebar hoaks penghinaan bendera merah-putih yang dituduhkan kepada Mahasiswa Papua. Pak Wiranto justru menandai ada kesalahan dalam asrama Mahasiswa Papua tersebut, seolah-olah tindak tanduk mahasiswa lah yang seharusnya diperbaiki. Padahal kalau orang waras yang melihat, tentunya menyadari bahwa mahasiswa di asrama tersebut adalah korban. Pak Wiranto bukan satu-satunya yang ngebodor dalam situasi ini, pejabat-pejabat publik terkait, bahkan Presiden, dinilai tidak tegas dalam menyikapi tragedi ini. Ditambah permohonan maaf secara terbuka yang memberi kesan hanya untuk memenuhi kepentingan formal.

Sebenarnya Papua bisa dikatakan sebagai wilayah “terkaya” di Indonesia. Bagaimana tidak? Mana lagi distrik yang rakyatnya tidur di atas emas dan berenang dengan limpahan minyak,  namun, sayangnya entah milik siapa. Papua sejak dahulu dengan bintang kejoranya terkesan seolah dianaktirikan pemerintah Indonesia. Tidak hanya rentetan peristiwa yang terjadi September silam, Papua selalu panas dengan isu rasisme dan diskriminasi yang dilakukan sekelompok orang kepada etnis paling Timur Nusantara, dan malahan seringkali dilakukan oleh orang Nusantara sendiri.

Padahal isu-isu rasisme adalah produk kolonial, namun masih eksis merajalela di Bumi Pertiwi. Menyebut golongan dengan sebutan “monyet” dan lainnya, atau adanya kalangan kasta yang dilegalkan era orde baru yang masih kentara hingga kini, merupakan sedikit dari banyak sekali praktik kolonialisasi yang masih dilakukan bangsa ini, tanpa disadari. Dengan semboyannya Bhinneka Tunggal Ika rasanya tak patut praktik ini terus-terusan beranak pinak berdasawarsa lamanya. Apalagi sangat tidak sesuai dengan tujuan bangsa yang termuat dalam konstitusi agung negara kita.

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Begitu kiranya kita harus berpikir mengenai isu ini. Belajar dari Timor-Timor sangatlah tidak etis dan tidak berkemanusiaan jika kita menodai hak mereka dengan senjata laras panjang. Begitupun di Papua, hak mereka harus terjaga sebagai bagian dari Indonesia yang merdeka. Adapun jika memang mereka ingin merdeka, baiknya adakan referendum, sesuai kalimat pertama dari paragraf ini yang merupakan salah satu tujuan bangsa. Dengan begitu, pembebasan Papua di masa lampau benar-benar nyata dan bukan isapan jempol belaka.

Permasalahan Papua sejatinya terlalu kompleks untuk dibahas dalam satu produk tulisan. Hampir semua permasalahan baik itu ekonomi, sosial, politik, lingkungan, kesehatan, dan sederet objek kajian lainnya dapat memunculkan ratusan cabang pembahasan lainnya jika itu menyangkut Papua. 

Maka, pada 57 Tahun perayaan pembebasanmu, semoga Tuhan kelak benar-benar membebaskan tanah dan isinya, Amin.

Penulis: Luthfi Maulana

Editor: I. N. Ishlah

Redaktur Pelaksana: Annisa Qonita A. 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.