Memoar Festival 2024: Menilik Pelanggaran HAM dari Sudut Pandang Gender, Pers, hingga Aktivis Lingkungan
Bidang Sosial dan Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) membuka kegiatan Memoar Festival 2024 dengan mengadakan diskusi di Student Center Undip pada Senin (23/09). Diskusi yang mengangkat topik “Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Beberapa Isu” ini menjadi pembuka rangkaian kegiatan Memoar Festival 2024 yang akan dilaksanakan hingga 28 September mendatang.
Memoar Festival 2024 digelar untuk mengenang kembali peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu sekaligus menilik bagaimana HAM dan implementasinya di Indonesia saat ini.
Kegiatan memorial ini terdiri dari beberapa bentuk kegiatan, mulai dari diskusi-diskusi, pameran kasus pelanggaran HAM, hingga bazar buku. Kegiatan Pembuka Memoar Festival 2024 tersebut diisi dengan sesi diskusi, sesi tanya jawab, dan pernyataan sikap.
Ketua Pelaksana Memoar Festival 2024, Annisa Paramitha, atau yang akrab disapa Tata menyampaikan harapannya agar diskusi yang dilakukan dapat menambah pengetahuan peserta mengenai HAM dan implementasinya di Indonesia.
“Diharapkan semoga dari diskusi ini kita dapat mendapatkan insight dan juga mendapatkan pencerdasan mengenai HAM dan juga kasus-kasus pelanggaran HAM serta refleksi HAM. Bagaimana HAM itu diimplementasikan di Indonesia, bagaimana penegakan hukum terhadap HAM itu terjadi di Indonesia,” ucap Tata dalam sambutannya.
Diskusi hari pertama Memoar Festival 2024 ini dihadiri oleh tiga narasumber, yaitu Nia Lishayati dari Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), Iwan Arifianto dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Rizky Ryansah dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah yang dipandu oleh Daffa Alfirrosy selaku Ketua Divisi Media dan Propaganda Bidang Sospol BEM Undip 2024.
Masih Adakah Ruang Aman untuk Perempuan?
Perwakilan dari LRC-KJHAM, Nia, membuka diskusi yang berfokus pada isu kekerasan perempuan. Nia menekankan bahwa hak asasi perempuan merupakan bagian dari HAM dan seharusnya hal tersebut menjadi perhatian masyarakat luas.
“Harusnya ini bukannya pandangan LRC-KJHAM saja yang fokus kerjanya di isu-isu perempuan, tapi ini pandangan kita bersama gitu ya bahwa HAM itu tidak terlepas dari hak asasi perempuan. Apapun bentuknya, kekerasan yang dialami oleh perempuan itu bagian dari pelanggaran HAM,” tutur Nia saat memaparkan pendapatnya.
Lebih jauh lagi, Nia mengungkapkan bahwa masih banyak kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Permasalahan baru muncul ketika perempuan korban kekerasan seksual yang berani bersuara justru mendapatkan stigmatisasi.
“Kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan itu juga cukup banyak, kasus kekerasan seksual terlebih, ini angkanya cukup banyak. Kemudian masih banyak stigmatisasi yang dilabelkan untuk para perempuan ketika perempuan ini berani untuk speak up, artinya dia berani untuk keluar dari situasi kekerasan yang dialaminya. Namun, masih banyak lapisan, dinding-dinding yang terus menutupi mereka,” ungkapnya.
Menurut Nia, fenomena stigmatisasi, subordinasi, beban ganda, marginalisasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan berakar dari budaya patriarki yang masih tumbuh dalam masyarakat Indonesia.
“Kalau kita berbicara lebih jauh lagi gitu ya, kenapa sih muncul stigmatisasi, subordinasi, beban ganda, kemudian perempuan itu mengalami marginalisasi, perempuan itu terdiskriminasi, kemudian perempuan itu mengalami kekerasan. Ya karena akar budayanya ya budaya patriarki ini gitu ya. Budaya yang masih menganggap bahwa perempuan itu kelas kedua begitu,” ujarnya.
Tumbuhnya budaya patriarki tersebut bisa didorong oleh berbagai faktor, mulai dari lingkungan sosial, budaya hingga latar belakang agama yang sering kali disalahtafsirkan oleh manusia.
“Ini (budaya patriarki) dilatarbelakangi oleh faktor budaya, faktor lingkungan sosial, faktor agama yang menjadikan dogma-dogma agama itu label, kemudian dia menjadikan senjata gitu ya untuk melemahkan perempuan ini gitu ya,” tambahnya.
Berbicara kekerasan seksual, Nia juga menyinggung beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Sangat disayangkan karena ruang publik seperti kampus yang seharusnya menjadi ruang aman justru menjadi ancaman bagi perempuan.
“Nah, artinya yang kita lawan sekarang adalah bagaimana ruang aman untuk perempuan korban kekerasan itu bisa melakukan pengaduan, bisa berani untuk speak up dan ruang itu harusnya ada di manapun perempuan itu ada gitu ya. Terlebih ini adalah kampus, ruang publik dan harusnya ini menjadi ruang aman untuk kita semua gitu ya, termasuk perempuan itu sendiri,” tegasnya.
Kemerdekaan Pers yang Kian Menyempit
Diskusi mengenai HAM juga ditilik melalui sudut pandang jurnalis, bahwa HAM juga menyangkut pada kemerdekaan jurnalis dalam berekspresi. Namun, saat ini kemerdekaan pers kian hari kian menyempit. Hal ini ditegaskan oleh anggota AJI, Iwan yang mengungkapkan pers mulai terancam kemerdekaannya.
“Kemerdekaan pers yang terancam ditandai dengan semakin maraknya laporan perdata atau pidana dari para rekan jurnalis dan media. Mirisnya, hal ini sering terjadi akhir-akhir ini,” ungkapnya dalam diskusi Memoar Festival pada Senin (23/09).
Sebagai organisasi yang menghimpun jurnalis di seluruh penjuru negeri, AJI memiliki fokus untuk memperjuangkan kebebasan pers, profesionalitas, dan kesejahteraan jurnalis. AJI secara aktif mencatat kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis dan memberikan pendampingan advokasi bagi para jurnalis yang menjadi korban kekerasan.
“Apabila merujuk data dari AJI Indonesia, dari tahun 2006 hingga September 2024 tercatat ada 1090 kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Nah, sebelum ada demo Peringatan Darurat terdapat 178 kasus yang kemudian meningkat belasan kasus setelah ada demo tersebut,” jelas Iwan.
Hal tersebut menjadi catatan penting bahwa jurnalis sebagai juru publik terancam keberadaan dan kebebasannya.
“Ini sebagai gambaran bahwa ternyata hal yang kalian anggap baik-baik saja, di balik itu kami sebagai juru bicara publik dan kaum minoritas, dalam kondisi tertentu sebenarnya terancam dan terintimidasi,” terangnya.
Kasus Kriminalisasi Aktivis Lingkungan yang Masih Marak Terjadi
Berbicara mengenai HAM berarti juga berbicara mengenai hak lingkungan hidup. Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Namun, kenyataannya masih banyak aktivis lingkungan yang dikriminalisasi karena memperjuangkan ruang hidup mereka.
“WALHI mencatat dari tahun 2014 sampai 2023, terdapat banyak kasus kriminalisasi aktivis lingkungan yang pembagian kasusnya beragam, ada yang jadi tersangka, tertangkap, luka-luka, hingga ada yang sampai meninggal,” papar Rizky, selaku anggota WALHI Jateng.
Pejuang lingkungan yang dikriminalisasi ini tak lepas dari adanya Proyek Strategi Nasional (PSN) yang kerap mengancam ruang hidup masyarakat.
“Kalau bicara mengenai kriminalisasi, ini terkait dengan rezim yang berlaku, penyebabnya adalah adanya PSN. Kasus ini termasuk warga Rempang yang menolak Eco City, beberapa warga Wadas yang menolak konversi tanah, hingga Daniel aktivis Karimunjawa yang sempat dituntut di bawah UU ITE,” jelas Rizky.
Hal tersebut kontradiktif dengan apa yang diatur dalam UUD RI 1945 Pasal 33 Ayat 3, bahwa sumber hayati seperti bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Kekayaan alam tersebut dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru pemerintah meraup sumber hayati dengan rakus.
“Memang yang mengelola itu negara, tapi itu semua untuk masyarakat Indonesia. Namun, sekarang terlihat sekali pemerintah Indonesia banyak meraup sumber hayati. Apalagi kemarin Jokowi memperlancar ekspor pasir laut,” tambahnya.
Kala Negara Gagal Melindungi Rakyat, Rapatkan Barisan Perlawanan
Diskusi ditutup dengan seruan pernyataan sikap yang dilakukan oleh perwakilan Aksi Kamisan Semarang dan seluruh peserta diskusi terhadap kasus kriminalisasi Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP). Menjelang satu abad jalan panjang perlawanan petani Pakel dalam memperjuangkan hak atas tanah di kala negara acuh dan tak berpihak kepada mereka. Perjuangan petani Pakel yang justru mendapat tindakan intimidasi dan ancaman kriminalisasi menunjukkan bahwa negara kembali gagal dalam menyelesaikan konflik agraria.
Oleh karenanya, Aksi Kamisan Semarang disertai dengan elemen mahasiswa yang hadir menegaskan petani Pakel tidak sendiri.
“Aku, kamu, dan kalian semua bersatu di barisan petani Pakel. Kita layak dan harus melawan kekerasan negara. Mari kita buktikan bahwa negara tak ada apa-apanya bila rakyat bersatu. Mari kita tunjukkan pada mereka, bahwa petani Pakel tak sendiri. Untuk petani Pakel, Banyuwangi, kami membersamai,” tutup perwakilan Aksi Kamisan Semarang dalam diskusi Memoar Festival 2024.
Reporter: Aulia Retno, Davino Krisna, Shoffatul Jannah, Tarisha Putri
Penulis: Aulia Retno, Davino Krisna
Editor: Cheryl Lizka
Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting
Desain: Rifat Farhan