Lembar Sunyi di Bawah Payung Hitam

Seandainya ada yang lebih diam dari malam
Aksi yang bernuansa hitam lah itu
Seandainya cerita ini bersemayam
Ketahuilah gugatan kita masih sekokoh batu
Malam itu aku dipenjara oleh sebuah bayangan kelam tentang mengapa bapakku dijadikan salah satu anak kesayangan orang terbaik negeri ini: bapak bodoh dan tidak paham bahwa dia sedang direngkuh cakrawala bernama kebengisan. Aku mati-matian berusaha melarikan diri ke dunia mimpi dan tak ada hasil. Mataku terus terbelalak dan liurku sibuk keluar-masuk kerongkongan. Satu lagi yang paling pasti menggerogoti, suara-suara orasi manusia yang siang tadi kutemui.
Sebelum malam bertalu angin yang menggigit tulang, aku berseteru dengan Ayah. Alasannya sederhana, karena dia terlalu peduli padaku bila menyoal Kamisan. Kujelaskan terlebih dahulu apa itu Kamisan: sebuah aksi tentang perlawanan, gugatan atas sebuah tindakan manusia penguasa yang tidak memandang hidup adalah anugerah. Mereka yang dikritik habis-habisan hanya diam sedangkan manusia yang terlibat dalam Aksi Kamisan kegatalan untuk memberangus manusia-manusia yang tak punya empati. Buktinya sederhana, mereka memperkosa keadilan hanya untuk melahirkan kekayaan diri sendiri dan menumbuhkan kesengsaraan bagi masyarakat biasa.
Masalahnya, ayah buta dan dia bagian dari penguasa itu. Bukan aku malu mengakui kehebatan dan kejayaan ayah, tapi benar bahwa manusia akan lupa diri bila sudah berada di titik paling tinggi kehidupannya. Aku sedih dan ayah semakin kegirangan, sebab kini, dia menjadi salah satu manusia kesenangan presiden negara ini. Masalah lain adalah, aku, anak ayah yang tak tahu kapan pertama kali idealisme merasuki jiwaku, kini sibuk turun ke jalan untuk menggugat bapaknya sendiri. Begitu miris dan tidak tahu diri tapi aku senang dengan semua yang kulakukan hari ini.
“Dari mana kamu?” Ayah mencegatku dengan pertanyaan selagi matanya bertubrukan pada siaran televisi.
“Kerja kelompok,” jawabku seadanya dan mencangking sepatu untuk diungsikan ke kamar.
“Kerja kelompok di jalan?”
Aku diam. Ayah benar. Tapi, aku tengah malas melawan walau dia benar.
“Laporan ibumu, kamu sibuk ikut aksi tak jelas itu!” nada suara Ayah sedikit meninggi. Disambut demikian, aku merasa punya hak meladeni nada tinggi ayah. Kuambil posisi dan duduk berseberangan dengan Ayah, mataku sudah menuntutnya.
“Aksi itu jelas, Yah. Yang mereka gugat jelas, yang mereka lawan pun jelas. Tuntutan mereka nyata dan bukan dibuat-buat,” mulutku mulai menembakkan perlawanan.
“Kalau jelas, mana mungkin tiap minggu sibuk berkoar-koar tapi tidak ada perubahan.”
“Ya, itu karena oknum macam Ayah, buta dan tuli. Acuh pada mereka yang tak tahan dengan kegilaan kalian di atas sana.”
Suasana lengang sejenak. Kudengar dapur berbunyi gesekan sendok, irisan sayur di atas talenan, dan ibu yang menyuruh Mbak Ira memasukkan bumbu. Siaran di televisi sedang dilahap iklan.
“Jadi, kau menyalahkan ayahmu?”
“Bukan, Yah. Aku hanya ingin ayah tahu bahwa aksi itu bukan aksi asal-asalan. Bukan aksi kurang kerjaan yang tak ada agenda dan seolah tak tahu hal yang mereka tuntut,” aku berusaha menyusun kalimat sesopan yang kubisa.
“Kau lebih memihak mereka?” Ayah tetap tak mau kalah.
Aku membawa tubuhku mendekat ke Ayah, berusaha untuk bersuara sepelan mungkin dan sehormat mungkin. Bagaimana pun, dia adalah ayahku.
“Kalau bukan orang seperti aku ini yang membela mereka dan membersamai langkah-langkah mereka, siapa lagi, Yah? Sedangkan orang yang membela Ayah bila mereka tertuduh sebagai pembuat onar akan berjejer, para aparat dan rekan ayah akan turut membela,” ucapku lirih sembari berhati-hati.
Aku melihat Ayah mencengkeram remote dengan wajah merah padam. Kupikir aku harus selesai, karena Ayah pun sudah memalingkan wajahnya. Perlahan aku beranjak dan berusaha meninggalkan ayah, sampai tiba-tiba dia bersuara.
“Ikuti mau Ayah. Berhenti sok jadi pahlawan dengan melawan yang tak kau kenal. Minggu depan akan ada aksi pembubaran, serentak di seluruh negeri. Kalau kau masih anakku dan mau nyawamu selamat, sudah kuberitahu lebih awal.” Kata-kata Ayah tumpah ke lantai dan terasa membekukan tubuhku.
“Jangan suruh aku berhenti, Yah. Urus saja kesibukanmu selama ongkang kaki di atas sana. Aku tahu siapa yang kubela.”
Aku melarikan diri dari ruangan itu ketika ibu datang, dia menahan ayah yang sibuk berteriak memakiku dengan jejeran kata-kata tak guna. Seperti sampahlah aku dan bukan anaknya. Ibu terengah-engah meredakan emosi suaminya dan aku melarikan diri ke kamar.
****
Terus terang, aku penasaran, kapan pertama kali satu hal abstrak yang disebut idealisme tumbuh di dalamku. Begitu tiba-tiba dan mendadak menguasai seluruh kehidupanku, sampai harus membuat ayah pontang-panting dan jadi diktator pada anaknya sendiri. Padahal, selama ini Ayah hanya sibuk bertengger di singgasananya, di sebuah gedung mewah bersepuluh lantai yang begitu mentereng berdiri di tengah kota. Ayah selalu pulang malam dan pergi terlalu pagi sampai tak ada waktu untuk sekadar makan bersama keluarga. Entah untuk kerja atau hanya dalih pekerjaan. Aku tak tahu.
Namun, kali ini ayah sudah melanggar banyak batas yang dia buat sendiri dengan mengatasnamakan keselamatanku. Entah sejak kapan pula ayah bisa begitu peduli dan menabrak palang yang dia buat selama kesibukan menculiknya dari rumah. Tapi aku tak ingin peduli. Itu yang kutanamkan sebelum aku berdiri di sini saat ini, ditemani orang-orang yang pelupuknya dipenuhi gugatan.
Aku sedang dibersamai oleh orang-orang yang rohnya adalah perjuangan dan matinya adalah kebebasan serta keadilan. Mereka yang hidupnya sibuk menuntut pemerintah yang bengis dan tak punya hati. Hari ini adalah Aksi Kamisan yang terhitung kesekian kali namun kian kuat. Aku begitu kecil di antara orang-orang yang pengetahuannya tentang bangsa ini selaksa tapi justru melawan bangsanya sendiri karena melihat sesuatu yang semena-mena.
“Kau Kuja?” tanya seseorang sembari menggenggam kamera.
Aku memberi anggukan sederhana. Kurasa dia bagian dari orang-orang ini, tapi seperti baru pertama kulihat.
“Sedang apa disini?” tanyanya begitu enteng.
Aku tidak menjawab. Dia sibuk memotret orang-orang yang sedang berorasi dan membawa tuntutan melalui tulisan. Merasa diabaikan, dia berusaha mendekati, menyerempet tubuhku.
Aku menatapnya sinis, “pulanglah, kasihan bapakmu kalau sampai tahu anaknya adalah bagian dari yang sibuk menuntut kebecusannya di atas sana.” Kalimat terpanjang setelah aksinya tadi.
Tubuhku ingin berkomunikasi dengan cara biasa saja setelah jumpalitan mendengar kalimatnya tadi. Tapi ternyata dia lihai membaca manusia.
“Kau anak Pak X, kan?” tanyanya seolah tak berdosa menanyakan hal pribadiku. Dia tahu bapakku, berarti dia kenal segala cacat dan dosa beliau. Di negeri ini, orang-orang seperti ayah gampang untuk dicecar melalui perbuatan salah mereka.
“Untuk apa di sini?”
“Kau memasang curiga padaku?” akhirnya aku bersuara.
Dia menggeleng, “tak layak orang macam kami memasang curiga pada anak pejabat yang kami gugat. Bukan apa-apa. Ya, karena kami sudah lebih dulu tahu dosa mereka.”
“Aku bukan anak pejabat!” sergahku bersahutan dengan orasi mereka.
“Kuja adalah anak tunggal Pak X. Salah satu tangan kanan presiden saat ini yang buta dan tuli secara metaforis. Pertanyaanku adalah, kenapa anaknya ada di sini?”
Kini orang yang berorasi sudah berganti. Sembari kudengar akan ada agenda lanjutan setelah orasi dari masing-masing perwakilan aliansi selesai.
“Sederhana; aku sama denganmu,” jawabku menatapnya dengan tegas.
“Ayo, ikut denganku.” Dia menarik tanganku, menerobos barisan manusia-manusia gagah sampai akhirnya menjumpai sosok tubuh di atas kursi roda. Berwajah keriput, berambut perak dan memiliki senyum sedamai bulan sabit di malam hari.
“Bu Sumarsih.” Dia memperkenalkan wanita bertubuh renta itu padaku.
Aku jongkok menyamakan posisi tubuhku dengan beliau. Tangan yang keriput itu mengelus kepalaku, lalu sejurus kemudian terdengar orasi yang kian lantang bersama dengan jatuhnya tetesan air mata Bu Sumarsih.
“Ibu tak apa?” tanyaku khawatir.
Dia hanya menggeleng, dan terus menangis menatapku. Sesekali kulirik laki-laki yang tadi membawaku kemari. Seolah bertanya padaku melalui tatapan itu; bingung, apa yang harus kuperbuat.
“Aku rindu anakku,” ucap Bu Sumarsih lalu menarikku ke dalam dekapnya, “seandainya dia tak pergi secepat dan seganas itu. Seandainya dia di sini bersama kita.”
Aku membalas pelukan Bu Sumarsih. Tanpa kusadari, air mataku sudah ikut-ikutan jatuh dan membasahi baju. Orasi mereka semakin lantang terdengar, menjerit dan mengoyak selaput pendengaran. Pun sepertinya kerusuhan sudah menjadi tuan atas aksi ini. Kala semua sibuk melawan dan menyelamatkan diri, samar-samar kudengar Bu Sumarsih dan laki-laki tadi ikut menjerit. Tubuhku diseret, seperti kambing tak bernyawa yang hendak dibawa ke pembantaian. Samar-samar kudengar suara semua orang tertuju padaku, antara berusaha kasihan dan turut senang.
Di belakang sana, ledakan demi ledakan saling bersahutan. Berupaya menyamai langkah seretanku. Tubuh ini sama sekali tak melakukan perlawanan apapun dan mulut ini kelu. Kemanakah mereka membawaku? Suara-suara gagah menghimpit tubuhku, ternyata sudah berada di sebuah ruangan yang luas dan kumuh, sedang tubuh ini terlantar. Di manapun itu, aku bisa mendengar suara-suara yang turut merasakan kesakitan. Entah diapakan tubuh mereka, tapi jeritan itu jelas bukan hanya karena mereka dipijak atau ditendang, tentu lebih dari itu.
****
Pukul enam pagi. Kala terang tanah, suara kesakitan berhenti terdengar. Aku duduk di sebuah kursi karatan berhadapan dengan manusia-manusia gagah berseragam. Ujung jendela sedang mengurai-urai cahaya matahari. Aku mendengar suara Ayah tertawa membahas keadilan, kuasa sekaligus jabatan. Di antara tawa yang berderai, seseorang memalingkan wajahnya dari padaku, menatap dengan sendu sekaligus puas. Dia melirik sosok yang kukenal, anakmu sudah sadar katanya. Aku tak berupaya memastikan siapa sosok itu sebetulnya, yang aku tahu, dia menyerahkanku mentah-mentah pada manusia berloreng yang tadi bercakap-cakap dengannya.
“Ambillah dia. Kalau memang karena ulahnya, lakukan apapun sekehendak tuan kita. Asal jabatan untuk saya, aman, kan?”
Lalu, setruman dahsyat berlanjut. Selepas itu, aku tak tahu apa yang terjadi. Semua sudah sunyi!
****
Bu, aku ingin kau tetap melawan. Aku ingin kau tetap menggugat. Aku ingin kau tetap memberontak. Seandainya kita tak bertemu lagi dan cerita ini diharuskan ada suatu hari, ketahuilah perjuangan selalu berumur panjang. Harapku, jangan pernah percaya pada apapun yang jadi di bangsa ini, bukan sulap dan sihir dari tangan-tangan laknat penguasa, maka pertanyakanlah. Siapapun setelah ini yang pergi, entah di simpang mana pun kita bertemu, biarkan napas perlawanan sabung-menyabung untuk membenarkan apa yang masih compang-camping di Bumi Pertiwi.
Tentang Penulis
Mitchell Naftaly adalah mahasiswa dari program studi Ilmu Komunikasi angkatan 2022. Gemar menulis dan berbagi cerita, baik dalam bentuk puisi, cerpen, dan esai.
Penulis: Mitchell Naftaly
Editor: Aulia Retno, Natalia Ginting
Desain: Rifat Farhan