Mengenang 20 Tahun Terbunuhnya Munir dalam Ingatan, Memoar Festival Hadirkan Istri Munir dan Anggota KontraS
Bidang Sosial dan Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) kembali membuka forum diskusi Memoar Festival pada Jumat (27/09) dengan mengusung materi bertajuk “20 Tahun Dibunuhnya Munir”. Acara ini digelar di Student Center pada pukul 16.00 WIB dengan mengundang tiga pemateri, yaitu Suciwati, Yati Andriyani dan Adrian Yunus sebagai bagian dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Perjuangan mereka diawali dengan membentuk KontraS untuk mewadahi dan memberikan pendampingan bagi mereka yang dihilangkan secara paksa.
Ruang diskusi diawali oleh Adam Firdaus selaku moderator yang memantik sekaligus memandu diskusi dengan melontarkan pertanyaan kepada Suciwati sebagai istri Munir tentang perjuangan mereka menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi aktivis pejuang keadilan yang hilang.
“Masa itu, suap sangat luar biasa, tapi almarhum tidak pernah menerima. Almarhum bertanya kepada saya untuk membuat sebuah lembaga yang mendampingi orang-orang yang dihilangkan, penghilangan paksa, yaitu KontraS. Almarhum itu terus melakukan perjuangan advokasi untuk orang hilang. Banyak sekali korban-korban pelanggaran HAM berat yang didampingi oleh Almarhum,” ucapnya.
KontraS sebagai Bentuk Perlawanan Pelanggaran HAM
KontraS didirikan berkaitan dengan situasi kekerasan menjelang reformasi 1998. Sejak 1990-an, sudah banyak aktivis yang mulai bersuara melakukan perlawanan terhadap rezim Soeharto pada Orde Baru, tetapi suara mereka dibungkam lewat berbagai penculikan hingga penghilangan yang dilakukan oleh pemerintahan.
Yati Andriyani, salah satu bagian dari KontraS mengungkapkan bahwa keberanian yang tidak padam itu dikobarkan oleh Munir dan kawanannya dengan membentuk KontraS.
“Ibu Bapak korban (penculikan/penghilangan) datang bertemu Munir, kemudian bersama-sama membicarakan bagaimana caranya agar punya keberanian untuk menyuarakan bahwa anak anak mereka, keluarga keluarga mereka diculik. Keberanian dulu waktu itu. Supaya berani kita harus melakukannya secara bersama sama, bersolidaritas. Inisiatifnya sangat berani, suasananya juga mencekam, sehingga diperlukan kerja bersama. Lahirlah KontraS itu,” tuturnya.
Yati turut menambahkan bahwa pemilihan kata “KontraS” merupakan bentuk kamuflase untuk melawan rezim Soeharto, mengingat huruf “s” yang digunakan huruf kapital.
“KontraS itu merupakan kamuflase kita untuk mengatakan bahwa cara strategi kita untuk melawan rezim Soeharto pada waktu itu. Sebutan kontras itu dengan S huruf besar itu, bermakna Kontrak Soeharto, sebetulnya itu. Tapi karena masih sangat represi dan masih sangat berat, maka dipilihlah akronim itu,” tambah Yati.
Teladan Almarhum Munir Saat Menyuarakan Keadilan
Pertama, Munir juga memiliki ketakutan ketika berjuang melawan rezim otoriter yang menindas rakyat ketika bersuara. Meski demikian, Munir menghadapi rasa takutnya dengan melawan atas dasar kebenaran.
“Cak Munir punya hal yang bisa sangat kita ambil sebagai ruang perjuangan bersama, ketika ada ruang perlawanan yang sangat hitam, satu hal dia lakukan ialah ia tetap berani. Ketakutan itu dimanage. Obat ketakutan itu melawan,” ujar Suciwati.
Munir juga merupakan sosok pejuang yang melakukan perjuangan atas dasar cintanya terhadap negara atas dasar penggunaan kata yang sopan.
“Kedua, keteladanan dia mengkritik pada rezim dengan kritik yang tajam tapi sopan. Tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Tapi sangat akurat berbasis investigasi, dan berbasis cinta pada republik ini,” lanjutnya.
Terakhir, kesederhanaan yang dimiliki oleh Munir tetap membangun dan membentengi integritas dalam dirinya.
“Dan kemudian kesederhanaan, ketika kita punya idealisme, kita harus punya kesederhanaan. Kesederhanaan yang membangun dan membentengi kita. Gaya hidup kan juga berpengaruh kan. Makanya ingin flexing. Tapi nggak sesuai dengan kantong. Saya pikir, bahagia menurut dia adalah ketika dia bisa memberikan kebahagiaan buat orang lain,” pungkas Suciwati.
Dengan Kebenaran dan Keadilan, Perjuangan Kita Melampaui Menang atau Kalah!
Pembahasan perjuangan Munir juga dirangkum dalam sesi tanya jawab oleh beberapa peserta forum diskusi. Pembahasan pertama mengenai sumber inspirasi Munir dalam melakukan pergerakan dan perlawanan, mengingat perjuangannya mendapatkan teror dari pihak rezim.
“Inspirasi itu terus bekerja, inspirasinya dia Nabi Muhammad. Munir berkata, ketika saya menghadapkan wajah saya kepada Tuhan, maka disitu ada tanggung jawab untuk membela kebenaran. Bagaimana caranya? Ada teman-teman yang didatangi oleh para preman, dia datang untuk membela,” jelas Suciwati.
Yati juga menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh teman-teman pejuang kebenaran lainnya lebih dari sekadar menang atau kalah. Pasalnya, meski belum menemukan titik terang, hingga kini mereka tetap berjuang, bahkan hadir dalam jumlah yang berlipat kali ganda.
“Karena kita punya prinsip, punya tujuan, punya nilai. Prinsipnya HAM. Nilainya apa? Kemanusiaan. Apa tujuannya? Keadilan. Tiga kata kunci itu yang bikin kita nggak akan menyerah. Apa yang kami lakukan melampaui menang kalah. Kita sudah biasa kalah di pengadilan. Tapi itu nggak akan buat kita lemah. Kita harus terus menuntut keadilan. Kamisan berhasil atau gagal? Ngapain sih berdiri 20 tahun? Karena masih berjuang. Karena Munir hadir dan berlipat ganda. Tidak ada yang sia sia dari perjuangan,” tegas Yati.
Pesan Pembicara untuk Mahasiswa: Jangan Menyerah, Lawan!
Sebelum menutup sesi diskusi bersama pembicara, moderator mempersilahkan pembicara untuk memberikan pesan bagi para hadirin. Suciwati mengingatkan untuk tidak menyerah meski lelah dalam memperjuangkan kebenaran.
“Capek boleh, ngaso dulu. Kegelapan pasti akan datang, kayak roda. Ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah. Itu nggak bikin kita menyerah. Yakinkan diri bahwa kalian bekerja di ruang kebenaran. Dan ketika banyak yang menghujat, ketika rezim mulai terusik, anda berada di jalan yang benar. Nyalakan terus semangatnya dan jangan lelah,” ujar Suciwati.
Tak hanya itu, Adrian turut berpesan untuk segenap masyarakat terus bersuara, membela HAM, dan kebenaran, meski dilanda hambatan berupa kriminalisasi.
“Ini sudah saatnya, ketika negara melakukan kekerasan terhadap rakyatnya karena rakyatnya membela HAM, bersuara, tapi malah dihantam atau bahkan masih ada tindakan kriminalisasi, Munir tidak mengajarkan kita untuk diam atas pelanggaran HAM yang terjadi. Kita harus lawan. Hadir setiap Kamis sore untuk membersamai dan memperjuangkan korban-korban yang sampai saat ini belum mendapatkan keadilan,” tutup Adrian.
Tentang Properti Bebatuan dan Bunga hingga Pernyataan Sikap
Pada akhirnya, moderator buka suara terkait properti bebatuan putih dan bunga tabur dalam suatu wadah yang terus menghiasi sisi kanan dan kiri panggung diskusi bersama pembicara. Pejuang keadilan dan HAM diibaratkan sebagai batu yang menuju keindahan rezim, yakni mencapai demokrasi seutuhnya.
“Di sini ditaruh bebatuan dan juga bunga yang menganalogikan seperti kita di sini sekarang pemuda, masih menjadi bebatuan yang pada akhirnya harus menuju rezim yang juga suasana bunga bunga itu sendiri. Itu yang harus kita perjuangkan bersama sama gitu,” jelas Adam.
Saat sesi diskusi ditutup, seluruh hadirin ikut berfoto ria, mendokumentasikan diri mereka bersama pembicara lainnya. Di situ pula, pernyataan sikap dibacakan sebagai bentuk keberpihakan mereka untuk membela teman seperjuangannya yang membela kebenaran.
“Kami aksi Kamisan Semarang mendukung perjuangan warga dalam merebut haknya dan mengutuk segala macam bentuk pelanggaran HAM, menuntut kepada negara untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM, kami turut bersolidaritas kepada kawan kami mahasiswa, Awaluddin Makassar yang di DO (Drop Out) atas sikapnya yang membela kebenaran. Semarang 27 September 2024,” tutupnya.
Reporter: Natalia Ginting, Shoffatul Jannah
Penulis: Natalia Ginting
Editor: Cheryl Lizka
Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting
Desain: Rifat Farhan