Menolak Lupa Aksi Peringatan Darurat yang Tak Lepas dari Tragedi Represifitas Aparat

Serangkaian agenda Memoar Festival 2024 yang diinisiasi oleh Bidang Sosial dan Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Diponegoro (Undip) sudah resmi dibuka sejak Senin (23/09) lalu. Selanjutnya, pada Kamis (26/09), diskusi peringatan 1 bulan represifitas aparat dalam aksi massa Semarang menjadi agenda yang turut melengkapi Memoar Festival 2024. 

Diskusi terbuka yang digelar di Student Center Undip ini melibatkan elemen mahasiswa dari beberapa universitas di Semarang, yakni Ketua Bidang Sospol BEM Undip, Aufa Atha Ariq Aoraqi, Koordinator Bidang Sospol BEM Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Negeri Semarang (UNNES), Salis Abdul Rozaq, dan Aliansi Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Amry Mirfaqo. 

Diskusi dibuka dengan melihat kilas balik aksi unjuk rasa Peringatan Darurat bertajuk “Jateng Bergerak: Turunkan dan Adili Jokowi” di Semarang pada Senin (26/08) yang mendapat represifitas dari aparat. Mengulas bagaimana seharusnya aksi unjuk rasa dapat mempertemukan rakyat dengan sang pembuat kebijakan. Namun, melihat bagaimana aksi unjuk rasa di Semarang kemarin, rasa-rasanya jauh dari apa yang diharapkan. Aparat kepolisian secara brutal mengerahkan kekuatan mereka untuk menyerbu habis demonstran hingga berdampak kepada masyarakat sipil di sekitar lokasi unjuk rasa. 

Apabila merujuk kepada Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 9 Tahun 2008, polisi memiliki tata cara dalam penyelenggaraan pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum. Berangkat dari aturan tersebut, Ariq menyampaikan pendapatnya bahwa polisi tidak bertindak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku. 

“Bahwa sebenarnya, ada tahap-tahapnya dulu untuk kemudian mereka melakukan tindakan penggunaan gas air mata dan water cannon. Kita lihat bahwasanya mahasiswa tidak membawa alat-alat yang berbahaya ya, itu yang mungkin harus diperhatikan oleh aparat. Itu nggak sesuai dengan SOP penanganan massa Perkapolri itu,” jelasnya. 

Menanggapi Ariq, Amry menekankan bagaimana polisi berhak untuk mengendalikan penyampaian perkara pendapat umum, dengan catatan dilakukan sesuai aturan yang berlaku. 

“Polisi boleh melakukan pengendalian penyampaian perkara pendapat umum harus dengan menjaga HAM, yaitu tidak boleh sewenang-wenangnya untuk kemudian memukul secara emosional, itu sangat salah dan menyalahi Undang-Undang,” tegasnya. 

Kemudian Salis menyoroti bagaimana massa aksi di Semarang tidak disambut dengan terbuka untuk menyampaikan pendapat. 

“Kawan-kawan Surakarta meminta untuk ada agenda masuk, itu gerbang dibukakan dan mereka masuk. Tidak seperti di Semarang, kita melepas gerbang dan mencoba masuk malah mendapatkan represifitas dari aparat,” terangnya. 

 

Pembangkangan Sipil Menjadi Kunci Perlawanan Rakyat terhadap Rezim yang Ingkar

Diskusi beralih kepada seberapa besar pengaruh perlawanan masyarakat sipil terhadap pemerintah yang sedang berkuasa. Menilik peristiwa “Peringatan Darurat” yang berhasil bergerak dan tersebar secara masif di kalangan masyarakat sipil menunjukkan sikap acuh terhadap permasalahan di negeri ini. Menanggapi hal ini, Salis menekankan perlunya perlawanan yang masif dari masyarakat sipil. 

“Kita perlu merdeka bersama. Soal gerakan ke depan, bagiku kita tetap optimis dan tetap harus mengawal apa yang menjadi masalah. Momentum oligarki ini harus ditentang dan dilawan,” tegasnya. 

Amry menyetujui rakyat harus terus mengawal permasalahan negara, bahwa rakyat yang membangkang merupakan kunci perlawanan. 

“Pembangkangan sipil itu merupakan sebuah kunci untuk kemudian kita melemahkan kekuasaan yang sewenang-wenangnya itu. Karena secara sah, konstitusi adalah milik sipil, negara adalah milik sipil,” terang Amry. 

Peran rakyat yang sifatnya penting untuk merebut narasi publik yang ditakuti oleh negara dan memastikan informasi yang sebenar-benarnya dapat tersebar secara merata di media sosial. 

“Tugas kita adalah untuk membersamai, memilah informasi yang keluar dari sosial media. Kita butuh bergerak bersama untuk menaikkan tagline kebenaran agar terdistribusi dengan baik dan merata,” tambahnya.

 

Turun ke Jalan Harus Dilanggengkan 

Berbicara mengenai pembangkangan dan perlawanan rakyat, aksi turun ke jalan merupakan salah satu bentuknya. Namun, terdapat stigma negatif bahwa aksi turun ke jalan dianggap sesuatu yang tidak benar dan sia-sia. Oleh karenanya, Ariq mengatakan diskusi ini diadakan untuk memantik semangat mahasiswa untuk senantiasa aktif dan kritis. 

“Isu buruk terkait turun ke jalan adalah hal yang buruk akan terus langgeng hingga saat ini. (Maka dari itu) Memoar Festival ini dibentuk supaya kampus bisa menjadi ruang yang aktif dan hidup seperti intelektual muda,” ungkapnya. 

Dengan mengadakan diskusi terbuka, Ariq berharap mahasiswa akan tergerak untuk melakukan pergerakan secara konsisten.

“Kita ingin menyadarkan ke mahasiswa-mahasiswa Undip (bahwa) kita nggak takut sama polisi, ingin memantik teman-teman mahasiswa untuk konsisten dalam melakukan pergerakan,” lanjutnya. 

Terakhir, diskusi ditutup dengan pernyataan yang ditegaskan oleh moderator, Pilar, bahwa polisi hanyalah alat kekerasan negara dan mahasiswa harus tetap mengorganisir massa.  

“Pada hari ini kita sepakat bahwasannya harus tetap mengorganisir massa, polisi merupakan alat kekerasan negara,” pungkasnya. 

 

Reporter: Aulia Retno, Natalia Ginting

Penulis: Aulia Retno

Editor: Cheryl Lizka

Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting

Desain: Rifat Farhan

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.