Menilik Lika-liku dan Dampak Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura
Pada Selasa (25/1) lalu, Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura resmi ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Yasonna H. Laoly serta oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam. Dengan adanya perjanjian tersebut maka diharapkan dapat menciptakan efek gentar (deterrence) untuk mencegah tindak pidana lintas negara seperti korupsi, narkotika, dan terorisme, sekaligus menjadi landasan hukum untuk memberantasnya.
Perjanjian yang telah diupayakan sejak tahun 1998 akhirnya rampung setelah 23 tahun lamanya. Titik terang mengenai perjanjian ekstradisi ini baru dicapai pada saat Leaders’ Retreat Indonesia-Singapura 2019 yang kemudian ditindaklanjuti kembali dan berhasil diteken pada tahun ini.
Menurut Novriest Umbu Walangara Nau, S.Hub.Int, M.A, Dosen Hubungan Internasional Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, hambatan yang paling signifikan dalam proses ratifikasi tersebut adalah ketika membahas makna ratifikasi perjanjian.
“Proses meratifikasi memiliki arti implementatif sehingga memakan waktu yang cukup panjang untuk mempertimbangkan dan memutuskan pelaksanaan konkret dari perjanjian ekstradisi Singapura dan Indonesia,” ujarnya saat diwawancarai oleh LPM Opini pada Jumat (18/2).
Novriest juga menyatakan bahwa di tahun 2007 kedua negara sejatinya telah menyepakati perjanjian ekstradisi namun belum dapat diimplementasikan karena DPR khawatir jika Singapura memiliki kepentingan tersembunyi dibalik keinginannya melakukan hubungan ekstradisi dengan Indonesia. Tanpa adanya persetujuan di ranah operasional, maka kesepakatan tersebut batal diberlakukan.
“Persoalan ini sejatinya bukan berada pada perjanjian ekstradisinya, melainkan lebih pada keikutsertaan kesepakatan lain sebagai bagian dari perjanjian ekstradisi yang disepakati, yaitu Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia-Singapura (Realignment Flight Information Region/FIR) dan Perjanjian Kerja Sama Keamanan,” ujar Novriest.
Namun, seiring dengan makin kondusifnya hubungan antar kedua negara, perjanjian yang sebelumnya telah diupayakan selama bertahun-tahun akhirnya berhasil disahkan bulan lalu.
“Upaya membangun perjanjian ekstradisi yang telah dimulai sejak lama sebelumnya ini akhirnya menemukan momentumnya dalam hubungan kedua yang negara yang kondusif, sehingga membuat pemimpin masing-masing negara merealisasikan kembali perjanjian yang sebelumnya telah diinisiasi,” jelasnya.
Dampak Perjanjian
Singapura disebut-sebut sebagai ‘surga’ bagi pelaku tindak pidana khususnya korupsi di Indonesia untuk melarikan diri dari vonis yang telah dijatuhkan. Beberapa buronan Indonesia yang berhasil kabur ke Singapura di antaranya adalah Sjamsul Nursalim, tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara sebesar Rp4,8 triliun, Bambang Sutrisno, komisaris Bank Surya yang menjadi tersangka penyelewengan dana BLBI, Paulus Tannos, tersangka kasus korupsi E-KTP yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun, Harun Masiku, tersangka kasus suap mantan komisioner KPU, dan sederet koruptor lainnya yang hingga saat ini masih buron.
Menurut Novriest, sebelum disahkannya perjanjian tersebut, upaya Kepolisian RI dan KPK untuk menangkap dan memulangkan buron masih sangat terbatas karena tidak adanya dasar hukum yang mengikat dan bersifat wajib sehingga membatasi ruang gerak masing-masing negara.
“Kesepakatan ini membuka ruang yang lebih luas bagi kedua negara untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan yang melarikan diri,” ujarnya.
Selain menjadi payung hukum bagi aparat negara untuk menindak para buron tersebut, perjanjian ini juga dapat mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dengan Singapura. Perjanjian ekstradisi tersebut menandai komitmen kedua negara untuk semakin terhubung dan dapat membuka peluang terjadinya kerjasama di aspek-aspek lainnya.
“Peristiwa kesepakatan perjanjian ekstradisi ini merupakan momentum yang sangat baik bagi hubungan kedua negara dalam waktu-waktu mendatang,” ujar Novriest.
Efektivitas dan Kendala
Meskipun perjanjian ekstradisi ini telah resmi disahkan, namun efektivitas setelah diterapkan dan kendala yang mungkin menghambat berjalannya perjanjian tersebut merupakan poin yang tetap perlu diperhatikan.
Kesepakatan operasional tentang sejauh mana keleluasaan pelaksanaan hukum yang dapat dikerjakan oleh aparat masing-masing negara menjadi salah satu faktor yang menentukan efektivitas perjanjian tersebut. Selain itu, terdapat cukup banyak buronan Indonesia di Singapura namun tidak sebaliknya, sehingga hal itu juga perlu mendapat perhatian karena urgensi untuk menangani kasus buronan tersebut berbeda.
“Kondisi di mana hanya satu pihak yang terasa sangat membutuhkan perjanjian ekstradisi disepakati inilah yang menjadi perhatian utama mengenai efektivitasnya di masa-masa mendatang.” ujar Novriest.
Menurut Novriest terdapat beberapa kendala yang mungkin menghambat implementasi perjanjian ekstradisi ini. Yang pertama adalah komitmen pemerintah yang berkuasa, apabila salah satu pihak tidak memiliki komitmen tinggi untuk menumpas tindak kejahatan lintas negara tentu akan menghambat implementasi.
Kemudian koordinasi serta hubungan bilateral kedua negara yang dapat memburuk akibat gesekan-gesekan atau konfrontasi antar kedua negara juga perlu diperhatikan untuk mencegah terhambatnya implementasi perjanjian. Prinsip non-intervensi sebagai sesama anggota ASEAN juga dapat menghambat penerapan perjanjian ekstradisi.
“Prinsip non-intervensi dalam kondisi tertentu dapat turut membatasi pelaksanaan perjanjian ekstradisi secara luas, meski tentu saja perlu diingat bahwa perjanjian ekstradisi bersifat dua arah dalam implementasinya sehingga tidak ada negara yang merasa dipaksa untuk melayani kepentingan negara yang lain melalui perjanjian tersebut,” tutupnya.
Penulis: Bashara Hadid
Riset: Vika Adistya/Aisa Selvira
Editor: Luthfi Maulana
Redaktur Pelaksana: Dinda Khansa
Pemimpin Redaksi: Luthfi Maulana
Referensi: