Bian Sayang Batari
Sepuluh menit sejak dua orang remaja ini tiba di rooftop rumah sakit dekat sekolah. Tidak ada obrolan menyertai, hanya gesekan daun akibat semilir angin yang juga menerbangkan sedikit anak rambut mereka dan bunyi klakson yang saling bersahutan samar-samar. Yang satu sibuk mendongak, dan yang lainnya menunduk, entah kemana arah pandangnya.
“Bulan,” katanya.
Tari yang tadi masih mengedarkan pandang ke ramainya jalan Jakarta menoleh. “Hm?”
“Cantik.”
Kedua alis Tari menyatu. Ia tidak mengerti, juga tidak suka dengan apa yang baru saja dikatakan Bian barusan. Pasalnya, ia adalah Tari, Batari Asmara Sasikirana. Bukan Bulan yang merupakan mantan Bian yang terakhir—sebelum Bian memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Tari lewat playlist Spotify. Itu pun sudah lama sekali, mungkin sudah setahun? Ah, sudah dua tahun, bahkan.
Dan hubungan mereka sudah berjalan enam bulan lamanya.
Tari sering sekali mendengar kalimat tidak mengenakkan mengenai dirinya dan Bian. Kebencian, hujatan, caci maki pun semua sudah biasa Tari telan. Juga gosip yang beredar di koridor fakultas hari Kamis minggu lalu. Bian yang masih belum bisa move on dari Bulan dan hanya menjadikan Tari sebagai pelarian. Tari tahu semuanya.
Biasanya pun Tari tidak peduli dengan omongan semua orang. Tari tidak pernah menghiraukan semua gosip dan omong kosong perempuan-perempuan pemuja Bian yang lebih mirip orang kesetanan. Namun, kali ini Tari tidak bisa tidak memikirkannya.
Jadi benar? Tapi Bian bilang dia sayang sama gue. Eh, tapi kalau sayang, mah, cowok enggak akan muji-muji mantannya ‘kan di depan pacarnya? Iya enggak sih?
Tari menggelengkan kepalanya. Enggak! Gue percaya Bian. Gue harus percaya Bian. Emang dasar setan kurang ajar! Senang banget bikin orang overthinking enggak jelas.
“Batari?”
Tari tersentak kaget. Ia lantas menoleh ke arah Bian yang sekarang sedang menatapnya khawatir. “Iya? Kenapa Bian?”
“Kamu kenapa?” Bian mengarahkan tangannya menangkup wajah sebelah kanan perempuannya, kemudian mengusap pipinya dengan lembut menggunakan jempol. “Sakit? Di sini dingin, ya? Mau pulang aja?”
Tari menggelengkan kepalanya. “Nggak kok, nggak kedinginan. Nanti aja pulangnya.”
“Terus kamu kenapa? Dari tadi aku panggil enggak nyaut, aku pikir kamu kedinginan makanya diam aja.”
“Aku nggak papa, Bi. Serius. Nanti aja pulangnya, ya?” ucap Tari dengan senyum tipisnya.
Bian tersenyum. Tangan yang tadi ia gunakan untuk menangkup pipi Tari berpindah menepuk-tepuk pelan pucuk kepala gadisnya. Kemudian tatapannya ia alihkan lagi ke atas, melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Melihat bulan.
Tari pun.
“Cantik,” ucap Bian selang beberapa lama, memecah keheningan. “Bulannya cantik.”
Tari diam-diam mengembuskan kelegaannya. Ternyata ia sedari tadi memuji bulan purnama, bukan mantannya. Rumor itu memang tidak benar adanya. Ia bersyukur tadi memilih untuk percaya pada Bian daripada hasutan setan penunggu rumah sakit dekat sekolahnya. Itu semua hanya pikiran jelek untung memancing pertikaian belaka.
Untung enggak jadi berantem,Ya Tuhan, batinnya.
Tidak mau membuat Bian menunggu, ia balas ucapanya dengan anggukan. “Iya.”
“Sama kayak Batari.” Bian mengalihkan pandangannya ke samping kiri, menatap manik mata Tari yang juga ikut menoleh setelah mendengar ucapan Bian. “Cantik.”
“Batari bahkan jauh lebih cantik dibanding bulan,” lanjutnya.
Keadaan Tari kini sudah tidak karuan. Jantungnya berdegup dengan abnormal. Perutnya tidak enak, serasa banyak kupu-kupu beterbangan dengan liar hingga memenuhi rongga dadanya. Sesak, ia sulit bernapas dengan normal. Bahkan pipinya saat ini memanas. Padahal sudah enam bulan pacaran, sudah lebih dari seratus kali Bian memujinya, tapi tetap saja rasanya seperti baru pertama kali kasmaran.
Biasa, anak muda.
Buru-buru Tari mengalihkan semuanya dengan menepuk tangan Bian dan terkekeh. “Apaan sih, Bi. Aneh deh kamu.”
“Dih, bener kali. Kamu ‘kan emang cantik!”
“Ngaco. Udah ah, yuk pulang. Lama-lama makin dingin udaranya.”
“Halah, bilang aja baper!”
“Eh, enggak ya! Mana ada aku baper digombalin alligator kampus kayak kamu? Udah ih ayo turun, terus pulang! Dingin ini kaki aku kayak mau patah rasanya!”
Tari dengan seribu satu alasannya demi mengalihkan pembicaraan, dan Bian dengan tawa dan lesung pipinya yang begitu manis menghiasi. “Iya, iya. Kita pulang.”
Lalu keduanya turun dengan candaan dan ledekan yang menggema di lorong tangga darurat.
—
Motor nmax abu-abu dengan jok bergambar my melody berhenti dengan sempurna tepat di depan gerbang rumah Tari. “Udah sampe,” katanya.
Tari mencengkram pundak Bian, kemudian turun dari motor besar yang membuat kakinya kesusahan karena ukurannya yang mini—kata Bian. Benar, sih, tubuh Tari memang tidak setinggi teman-temannya yang lain, tapi Bian juga ikut andil membuat dirinya semakin tenggelam di antara manusia seangkatannya. Jadi menurut Tari, ini semua salah Bian.
“Eh buset!” Bian menegakkan badannya agar ia tidak oleng. “Pegangannya lembutan dikit dong, beb! Nggak sekalian aja itu kuku kamu nancep di pundak aku?”
Tari mendengus sebal. “Diem. Aku susah turun bukannya bantuin.”
Bian hanya tertawa. Ia bisa melihat wajah kesal Tari dari kaca spionnya. Setelahnya, Tari melepas kaitan helm putih yang tadi ia pakai dan buru-buru ia ulurkan kepada Bian.
“Makasih,” ucapnya dengan ketus.
Bian tertawa lagi. Alih-alih mengambil helm itu, ia ulurkan tangannya ke puncak kepala puan di depannya dan mengacak rambutnya sampai si puan menggeram marah.
“BIAN IH JANGAN RESE BISA, NGGAK?!”
Dan Bian tertawa lagi, kali ini matanya ikut membentuk garis tipis mirip bulan sabit.
Karena laki-laki di hadapannya tidak kunjung berhenti tertawa, Tari gantungkan helm putihnya di spion motor Bian. “Udahan ih ketawanya. Serem tau.”
“Itu mah Batari aja yang penakut,” ejek Bian sambil meraup wajah Tari.
Tari berdecak kesal. “Terserah lo. Udah gih sana pulang! Dicariin Mama, kasian di rumah nungguin anak gantengnya pulang.”
“Cieee akunya dipuji ganteng!” Bian senang bukan main mendengarnya. Bahkan sekarang mulutnya tidak berhenti melontarkan suara-suara aneh dan kata tak bermakna yang hanya bisa dimengerti oleh Bian sendiri. Tari hanya bisa menunduk dan menghela napas panjang.
“Ih, apa sih, aneh kamu. Udah sana pulang!”
Bian terkekeh. “Iya, aku pulang habis kamu masuk. Aku liatin dari sini.”
“Nggak,” tolak Tari. “Kamu pulang dulu. Udah malem, bahaya.”
“Ya justru karena itu! Udah malem, Batari. Bahaya. Makanya ayo masuk ke dalem, aku tungguin. Aku nggak akan tenang kalau kamu belum masuk ke dalem. Kata kamu kemarin ada yang rumahnya dimaling, kan? Nah, sekarang ayo masuk. Kunci pintu pagar, pintu rumah, habis itu bebersih, terus tidur. Gih, sana masuk. Aku tungguin.”
Tari menatap pacarnya heran. Kok jadi Bian yang bawel?
Namun akhirnya Tari mengalah. “Iya, ini aku masuk. Tapi janji ya, habis aku masuk kamu langsung pulang. Jangan mampir kemana-mana dulu. Janji?”
Bian mengangguk. “Janji!”
Tari tersenyum lega. Ia membalikkan badannya membuka pintu gerbang, kemudian menguncinya. Bian masih ada di sana, masih setia menunggu Tari. Matanya masih enggan berbalik dari sosok perempuan yang berhasil membuatnya bahagia setelah putusnya dengan Bulan. Setelah bayangan Tari menghilang dari pandangannya, barulah Bian menyalakan motornya dan pulang.
Oh iya lupa, batin Bian. Ia mengambil jalan putar balik dan kembali ke rumah Tari.
“Batari!”
Tari yang baru saja masuk kamar mengernyitkan dahi. Ia pergi ke balkon dan melihat Bian yang sekarang duduk manis di atas motor kesayangannya di depan rumahnya. Lagi.
“Loh, kok balik lagi?” tanyanya. Tari tahu tadi Bian sudah sempat pulang.
“Ada yang ketinggalan,” jawab Bian dengan teriak. Tari mengernyitkan dahinya heran. Seingatnya, ia tidak pernah merasa meminjam barang Bian selain helm putih. Itu pun sudah ia kembalikan tadi. Helm-nya pun masih menggantung di motor Bian. Lalu apa?
“Bian sayang Batari!” teriak Bian.
Tari mengerjap.
Bisaan aja lu siluman monyet.
Penulis: Rachel Aina