Nasib Mahasiswa Keperawatan di Lapangan: Membayar Keringat Praktik Bak Magang Bukannya Dibayar
LPM OPINI – Berbicara tentang apresiasi terhadap perawat Indonesia tentu tidak terlepas dari kontribusi mahasiswa keperawatan sebagai penerus berjalannya profesi perawat. Dedikasi mahasiswa keperawatan dalam menjalani praktik ke lapangan sayangnya didampingi dengan kecemasan akan eksploitasi yang rentan terjadi.
Sebagai syarat kelulusan yang telah diisyaratkan dalam kurikulum, mahasiswa keperawatan wajib mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) untuk mengasah keterampilan melalui pengalaman secara langsung. Mahasiswa keperawatan yang menjalani PKL atau praktik klinik di rumah sakit maupun puskesmas mengakui adanya biaya yang dikenakan demi melaksanakan kegiatan ini.
Ketika membicarakan praktik di lapangan atau yang lebih dikenal dengan istilah magang, mahasiswa seyogianya ditempatkan pada posisi yang mendapat bayaran. Namun, di ranah pendidikan kesehatan, khususnya keperawatan, biaya justru dibebankan kepada mahasiswa yang harus menjalankan praktik.
“Biayanya sekitar 2 juta 500-an. Beda-beda setiap rumah sakit. Ada yang 2 jutaan, ada yang 1 jutaan,” ungkap Pablo (nama samaran), selaku mahasiswa yang mengikuti sekolah keperawatan di Jawa Barat ketika diwawancarai pada Rabu (30/3).
Biaya yang dibebankan kepada peserta PKL ditujukan untuk mendapat fasilitas rumah sakit atau puskesmas, tetapi tidak termasuk pada pengeluaran sehari-hari seperti biaya makanan yang harus ditanggung mahasiswa. Hal ini menimbulkan keresahan karena dinilai terlalu mahal bagi mahasiswa.
“Memang kita bayar, tapi suka nggak worth it sama uang untuk rumah sakit doang segitu nominalnya. Enggak adilnya di situ karena terlalu mahal,”
“Seharusnya kita yang bayar juga dengan adanya include makanan atau lainnya,” lanjutnya.
Sama seperti Pablo, Azizah selaku mahasiswa Poltekkes Tasikmalaya Kampus Cirebon, mengakui bahwa tidak ada biaya ataupun uang saku yang diberikan selama berkontribusi dalam praktik di puskesmas. Kendati begitu, Azizah belum tahu pasti praktik di rumah sakit nanti akan dikenakan biaya atau tidak.
“Kalau sekarang uangnya tidak dipegang pihak kampus, tapi di pihak BLU dan dari Kemenkes sudah memotong uang untuk ke kampus, jadi sebenarnya sulit bagi kita dengan sistem sekarang,” tuturnya.
Selama praktik klinik berlangsung, mahasiswa dibagi ke dalam beberapa shift dengan kisaran 7-8 jam setiap shift, sesuai dengan aturan yang ditetapkan instansi masing-masing. Kegiatan yang dilakukan juga bergantung pada penggiliran stase agar lebih teratur.
Azizah menjelaskan sistem shift yang diterapkan puskesmas selama menjalani praktik ketika diwawancarai pada Kamis (19/3).
“Misalkan kita jaga dari pagi di UGD, maka seharian akan di UGD sampai jam 2 siang. Kalau tadi di BP dan poli umum sampai zuhur, nanti dari zuhur sampai jam 2 kita di UGD.”
Selain itu ada pula laporan yang harus disusun setelah menjalani praktik klinik. Bobot laporan itu sendiri mencapai 30 persen dalam standar penilaian yang ditetapkan pihak penyelenggara PKL.
Seluruh agenda praktik klinik tetap berjalan di tengah pandemi Covid-19. Bagaimana pun, situasi tersebut berada di luar kendali pihak mana pun, tetapi Azizah tidak terlalu mengkhawatirkan Covid-19, Ia lebih memusingkan kesiapan mental untuk melakukan praktik karena stigma yang ada.
“Sebenarnya tidak takut sama Covid kalau boleh jujur, tetapi awal-awal perasaannya cemas, merasa enggak bisa apapun, terus juga takut pace-nya seperti apa saat masuk nanti karena tahu sendiri stigmanya perawat itu judes, juga ada senioritas. Itu jeleknya di pikiran saya,” tutur Azizah.
Tidak hanya pada biaya, situasi praktik di lapangan juga memberi kecemasan pada mahasiswa. Nasib mahasiswa keperawatan yang rentan terhadap eksploitasi selama praktik didasari kedudukan mahasiswa di rumah sakit atau puskesmas yang tergolong paling rendah, serta adanya nilai yang dipertaruhkan sebagai syarat kelulusan.
Sejauh ini, Azizah menuturkan belum ada kabar terjadinya tindak senioritas maupun kekerasan secara fisik di lapangan, tetapi masih ada munculnya sindiran dan olokan terhadap angkatan yang praktik tahun ini dengan penggunaan istilah ‘perawat daring’ untuk membandingkan angkatan tahun ini dengan angkatan tahun-tahun sebelumnya.
“Yang paling saya enggak suka waktu itu pernah ada yang membandingkan tahun perawat yang ada di situ sama angkatan kita. Mungkin itu untuk mendorong, tapi menurut kita itu bukan motivasi dan enggak memberi semangat,” lanjut Azizah.
Mungkinkah Sistem Akan Diubah ke Depannya?
Sistem PKL yang dialami mahasiswa keperawatan yang mengondisikan mahasiswa untuk membayar, berperan dalam menambah beban mahasiswa dengan posisi yang rentan tersebut. Meskipun begitu, adapun pihak yang menyetujui bahwa hal ini bersifat adil terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.
Hal ini dikarenakan sistem praktik bergantung pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 2013 tentang Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kesehatan.
“Manusia itu adalah yang dikondisikan dalam nyawa, jadi harus ada beberapa kehati-hatian. Itu memerlukan suatu ketelitian dan alat-alat yang betul-betul memang sesuai dengan kompetensinya, sehingga kalau saya mewajarkan saja ada biaya karena memang itu mahasiswanya sendiri,” ucap Marwati, selaku seorang dosen Keperawatan ketika diwawancarai pada Rabu (30/3).
Selain dari segi fasilitas, mahasiswa juga didampingi oleh pembimbing saat praktik. Hal ini disebabkan kegiatan yang beroperasi selama masa praktik mengarah pada pembelajaran, baik untuk meningkatkan keterampilan dan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa sendiri. Jadi, Marwati berpendapat bahwa sistem praktik berbayar ternilai masuk akal.
Perihal biaya yang ditanggung mahasiswa sudah melalui kesepakatan antara pihak pendidikan, rumah sakit, dan pemerintah daerah. Dengan begitu, pembayaran praktik klinik tidak bisa ditolak mahasiswa karena merupakan bagian dari sistem program itu sendiri.
Meskipun begitu, tidak hilangnya harapan untuk mengubah sistem ini agar mahasiswa keperawatan tidak lagi wajib membayar sampai jutaan demi mengikuti agenda PKL. Hadirnya bantuan pemerintah diharapkan mampu membawa perubahan terkait sistem PKL di rumah sakit atau puskesmas sebagai program yang wajib diikuti mahasiswa keperawatan.
“Harapan kami dari pemerintah itu ada semacam bantuan-bantuan yang memang istilahnya ada kolaborasi antar pemerintah daerah dengan pendidikan. Jadi sebetulnya karena mahasiswa itu di situ ya istilahnya belajar dan membantu masyarakat,” ujar Marwati.
“Jadi ada kebijakan dari pemerintah setidaknya untuk membantu instansi rumah sakit atau instansi lahan praktik dengan adanya bantuan alat atau bahan yang memang arahnya lebih ke arah kualitas pembelajaran SDM, sehingga mahasiswa di rumah sakit tidak perlu membayar,” pungkasnya.
Penulis: Cheryl Lizka
Editor: Luthfi Maulana