Pemerintah Bertindak, Rakyat Menolak
Seruan Melawan Omnibus Law terus didesak sejumlah elemen buruh dan masyarakat. Aksi tolak Omnibus Law tengah digagas dan dipersiapkan melalui konsolidasi yang khususnya dilakukan di Semarang. Buruh, petani, nelayan, hingga mahasiswa, dari berbagai serikat dan organisasi sepakat mengatasnamakan diri sebagai RAJAM (Rakyat Jawa Tengah Melawan) dalam perjuangan melawan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Konsolidasi akbar dilakukan pada Jumat (6/3) di salah satu pendopo di Taman Budaya Raden Saleh, Semarang. Pertemuan pada Jumat malam itu dapat dilihat jelas gurat kekecewaan terhadap adanya Omnibus Law Cipta Kerja yang dinilai sangat merugikan posisi kaum pekerja. Omnibus Law juga dinilai mengebiri hak-hak mereka sebagai warga negara, terlebih karena pemerintah mengampanyekan hanya hal-hal baik saja dari adanya Omnibus Law tanpa menjelaskan dengan rinci esensi sesungguhnya dari lahirnya Omnibus Law itu sendiri.
Aksi menyuarakan tuntutan tolak Omnibus Law sepakat akan dilakukan dua kali pada tanggal 11 Maret sebagai pembuka, dan aksi puncak yang akan dihelat pada tanggal 23 Maret. Tanggal-tanggal tersebut dipilih karena dinilai memiliki momentum tersendiri yang menjiwai aksi, yaitu pada 11 Maret sebagai peringatan dikeluarkannya “Supersemar” oleh Soekarno pada tahun 1966 silam, dan tanggal 23 Maret 2020 bertepatan dengan diadakan sidang pertama oleh DPR RI dengan agenda mengenai tindak lanjut dari wacana terbitnya Omnibus Law. Masih di tanggal yang sama, aksi ini direncanakan digelar serentak di berbagai kota di Indonesia. Di Jakarta, aksi akan digelar tepat di depan Gedung DPR RI, sementara di daerah lain akan dilaksanakan di pusat kota masing-masing.
Konsolidasi tersebut berhasil menelurkan beberapa rekomendasi untuk dibawa sebagai tuntutan pada aksi 11 dan 23 Maret mendatang. Namun, setelah dilakukan kembali perundingan dan kajian yang akhirnya bulat memutuskan untuk mengangkat satu isu utama saja, yakni Tolak Omnibus Law–yang sejatinya sudah mencakup berbagai isu yang sebelumnya diusung dan dijabarkan dalam poin-poin; mosi tidak percaya terhadap pemerintahan dan oligarki, membangun politik alternatif yang mewadahi pekerja, tolak kriminalisasi aktivis dan buruh, akses pendidikan dan kesehatan gratis, serta perlindungan terhadap pekerja perempuan.
Sebelum menutup konsolidasi, peserta sepakat menegaskan bahwa adanya aksi ini murni sebagai wujud keprihatinan masyarakat Indonesia terhadap kinerja pemerintah yang kian hari dinilai kian ngawur, tanpa disadari bahwa aturan-aturan yang termuat dalam Omnibus Law memberatkan pekerja, di antaranya adalah: hilangnya UM (Upah Minimum), peraturan upah yang dibayarkan sesuai jumlah jam kerja, tunjangan PHK yang hanya diperoleh selama enam bulan, istilah fleksibilitas pasar yang diterjemahkan sebagai tidak adanya kepastian kerja dan pengangkatan karyawan tetap, dan terakhir, Omnibus Law Ciptaker juga dikhawatirkan melonggarkan masuknya tenaga kerja asing.
Oleh karena itu, masyarakat menilai haruslah ada aksi sebagai bentuk nyata bahwa rakyat tidak tinggal diam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah yang berani meminggirkan rakyat, dan bahwa rakyat tidak akan menari-nari dalam skenario yang dibuat oleh oligarki.
Reporter: Berliana Syafa Kirana / Advenia Prihatini W. Penulis: Berliana Syafa Kirana
Editor: Ikhsanny Novira I.
Redaktur Pelaksana: Annisa Qonita A.