Regulasi Belum Jelas, Bagaimana Media Menangani Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif?

Peluncuran Riset dan Diskusi, Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif LGBT Via Zoom, Rabu (19/01)
Kebijakan redaksi di media mengenai penyiaran terkait keragaman gender dan seksual non heteronormatif sampai hari ini masih abu-abu. Eksistensi LGBTQIA+ dalam media Indonesia sering kali tidak digubris berhubung dengan sejumlah stigma yang bertautan pada komunitas LGBTQIA+. Isu ini kemudian menjadi basis dilaksanakannya riset oleh Konde yang dimulai sejak Agustus 2021.
Peluncuran riset dan diskusi bertemakan “Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender dan Seksual Non-Normatif ‘LGBT’” yang digelar Konde.co melalui platform Zoom pada Rabu, 19 Januari 2022 membahas seputar hasil penelitian, serta menggelar sesi diskusi yang berpusat pada tiga topik berita yang ramai dibahas pada tahun 2020-2021.
Ditinjau dari penelitian terdahulu serta pemberitaan mengenai tiga kasus, yakni kasus pembakaran Mira yang merupakan transpuan di Cilincing setelah dituduh mencuri dompet dan ponsel, kasus prank terhadap transpuan di Bandung oleh Ferdian Paleka, dan kasus penggerebekan pesta seks di apartemen Kuningan oleh komunitas gay bernama Hot Space pada masa pandemi, penelitian menggunakan metode kualitatif dengan segala keterbatasan yang dihadapi pada masa pandemi.
Melalui pemaparan hasil riset oleh Widia Primastika dari Konde.co, ditemukan perilaku marginalisasi terhadap komunitas LGBTQIA+ dalam media dengan penggunaan diksi yang menjurus pada diskriminasi dan hanya melibatkan pihak dengan otoritas, seperti polisi sebagai satu-satunya narasumber.
“Menurut saya, yang paling utama atau ingin menjadi penyebab utama adalah ignorance. Jadi, media memang belum melihat LGBTQIA+ sebagai sebuah isu yang penting dan harus diperhatikan,” ungkap Arif Zulkifli dari Dewan Pers.
“Selain ignorance, juga soal empati yang rendah. Tidak memandang persoalan kelompok LGBTQIA+ dan kelompok rentan lain dari perspektif mereka,” lanjut Arif.
Beralih ke media televisi, riset terhadap pemangku kebijakan di dua stasiun televisi yang diwawancarai (Metro TV dan CNN) mengungkap bahwa televisi cenderung mematuhi aturan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait pelarangan LGBTQIA+ karena kekhawatiran adanya kepentingan rekomendasi perpanjangan izin siaran dari KPI.
Minimnya advokasi kepada kelompok LGBTQIA+, ditambah dengan keabsenan panduan khusus tentang peliputan isu LGBTQIA+ dalam redaksi menjadi salah satu penyebab utama sempitnya ruang untuk mengekspresikan ekspresi gender dan seksual non heteronormatif serta non biner di berbagai media Indonesia, terlebih dengan kultur heteronormatif yang kental adanya dalam ruang redaksi.
“Dalam pengamatan saya, ada pergeseran signifikan dari pemberitaan negatif media sejak tahun 2016, dari sinilah media benar-benar mulai menggunakan tagar seperti #TolakLGBT. Untuk itu, riset ini menjadi sangat penting untuk dipublikasikan dan diakses secara luas,”
jelas Sharyn Davies selaku Direktur Herfaith Indonesia Engagement Center, Monash University.
Ironi Seorang Jurnalis dalam Menjalankan Kewajibannya
Kekhawatiran akan cercaan atau serangan eksternal yang mengerubungi jurnalis dikarenakan berbagai kontroversi terkait persepsi progresif juga menjadi alasan sulitnya penyiaran berita tersebut.
Merespons hal ini, tim peneliti memberi dorongan kepada media untuk melancarkan kebijakan seturut hak asasi yang berlaku di Indonesia. Perihal seperti kebijakan non-diskriminasi antara lain terhadap individu atau kelompok/komunitas, termasuk dengan kelompok LGBTQIA+ karena media memiliki fungsi kampanye non diskriminasi sebagaimana tercantum dalam Konvensi Anti-Diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW).
“Berangkat dari perspektif HAM saja. Kita tidak mau diberitakan macam-macam, kok. Disamakan saja dengan masyarakat umum lainnya,” ujar Ienes Angela, selaku Operational Manager di Gaya Warna Lentera Indonesia & Gender and Sexuality Specialist.
Dewan pers sebagai lembaga yang memiliki wewenang memfasilitasi pers dan jurnalisme harus mendorong ruang redaksi untuk bersikap lebih adil kepada komunitas LGBTQIA+, contohnya dengan membentuk panduan peliputan sensitif gender, serta keragaman gender dan seksual.
Adanya kerja sama antara dewan pers dan komisi penyiaran yang sinergis dalam penghapusan diskriminasi terhadap kelompok LGBTQIA+ yang bertentangan dengan hak asasi perlu direalisasikan, maka dari itu pihak KPI harus mereformasi diri dan tidak menerapkan tindakan yang menimbulkan ketakutan terhadap media dalam isu keberagaman gender dan seksual non-normatif, termasuk di dalamnya LGBTQIA+.
Pentingnya menyediakan suara dari komunitas LGBTQIA+ itu sendiri berperan untuk memberikan sudut pandang lain, ketimbang menggunakan narasumber tunggal seperti polisi. Hal ini dapat dilihat dari media daring yang meyakini bahwa polisi adalah otoritas pengambil kebijakan atas peristiwa kriminal.
“Pertama, kembali ke jurnalisme yang berkualitas, tidak hanya naikkan berita dengan satu narasumber. Harus ada narasumber pembanding,” kata Rio Tuasikal, selaku Jurnalis Broadcast.
“Kemudian, kita harus ingat bahwa tugas jurnalisme itu memihak yang lemah, jadi harus memberikan suara kepada kelompok yang tertindas,” lanjut Rio.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara meliput korban tapi tidak menjadi sesuatu yang sensasional dan memonetisasi narasi viktimisasi program? Rio menekankan bahwa poin tersebut masih terlalu jauh.
“Kita masih gak disiplin secara jurnalistik. Cuma menggunakan satu sumber dan mengabaikan korban yang terdampak langsung. Secara fundamental jurnalismenya aja masih salah. Kayanya kita masih terlalu dini untuk bicara viktimisasi monetisasi,” jelas Rio.
Selanjutnya Rio menyampaikan untuk menghindari monetisasi dari viktimisasi, tetapi untuk saat ini lebih baik memfokuskan energi untuk memberikan ruang bagi para narasumber yang dimarginalkan.
Berangkat dari situ, media yang memegang peran krusial dalam penyiaran berita perlu meningkatkan pengetahuan mengenai pemberitaan terkait LGBTQIA+, sehingga tidak lagi ditemukan diksi berkonotasi negatif ataupun yang bersifat menyudutkan individu atau kelompok tertentu.
“Kita perlu melihat mereka sebagai manusia. Kalau masalah kriminalitas, yang diangkat malah LGBT,” tutur Bambang Prayudi, selaku Direktur Perkumpulan Suara Kita.
Dukungan kebijakan redaksi yang jelas dapat mendukung pemberitaan yang ramah LGBTQIA+, apalagi media menjadi wadah untuk menyuarakan suara kaum LGBTQIA+. Pemberitaan yang tidak meminggirkan keragaman gender dan seksual non heteronormatif.
“Isu LGBT berada di tengah model jurnalisme traffic, jurnalisme yang lemah, dan ketidakpahaman soal bagaimana pemberitaan yang benar soal LGBT, plus cara pandang dominan masyarakat Indonesia. Maka harus ada sosialisasi, pelatihan, dan panduan yang mudah diakses banyak orang,” jelas Heru Margianto, selaku Managing Editor Kompas.com dan Pengajar Jurnalisme di Bakrie University.
Dengan seluruh pemaparan riset beserta hasil diskusi sejumlah pembicara dari kumpulan lembaga pers di Indonesia berkaitan dengan pandangan media terhadap diversitas gender dan seksual non-normatif, hadirnya kebijakan redaksi sangat diharapkan demi menciptakan ruang redaksi yang terhindar dari marginalisasi dan diskriminasi.
Penulis: Cheryl Lizka
Editor: Luthfi Maulana
Redaktur Pelaksana: Almira Khairunnisa
Pemimpin Redaksi: Luthfi Maulana