Sore, Istri dari Masa Depan: Bernostalgia dengan Masa Depan yang Tak Pasti
Resensi dan Sinopsi Film Sore: Istri dari Masa Depan (Desain: Davino Krisna Hernawan)
Masa depan bukanlah hal yang dapat kita ketahui dengan pasti. Dalam ambiguitas tersebut, kadang kita bertanya bagaimana kita bisa mengubah masa depan menjadi lebih baik, meski hanya dengan upaya sekecil apapun. Lantas, kita hanya bisa pasrah pada masa depan yang mulai terbentuk seiring lembaran masa lalu yang kita tutup.
Frustasi akan masa depan ini tertuang sangat jelas dalam film baru garapan Yandy Laurens, Sore: Istri dari Masa Depan. Film yang merupakan adaptasi dari serial web dengan judul yang sama, menceritakan tentang Jonathan (Dion Wiyoko), seorang seniman fotografer yang terbangun dengan perempuan misterius di samping tempat tidurnya dan memperkenalkan diri sebagai istrinya dari masa depan, Sore (Sheila Dara). Dinamika baru yang perlu dihadapi Jonathan pun, dengan cepat mengubah hidup lamanya yang monoton menjadi terlukis lebih berwarna oleh kedatangan Sore, yang menyebut bahwa tujuan dia datang adalah untuk mengubah masa depan Jonathan lebih baik. Akan tetapi, masa depan seperti apa yang ingin dirubah oleh Sore?
Kita Tidak Tahu Apapun Tentang Waktu
Karakter utama dalam film ini, Jonathan, diceritakan sebagai seorang seniman fotografer yang tinggal di Kroasia. Dalam ketenangan hidup tersebut, dirinya ditemani oleh teman yang merupakan seorang agensi foto yang membantu penerbitan pameran, Karlo (Goran Bogdan) dan kekasih asli Kroasia bernama Elsa (Lara Nekic). Namun, kedamaian tersebut berubah ketika Jonathan terbangun dan menemukan seorang perempuan misterius yang memanggil dirinya Sore, istrinya dari masa depan.
Apa yang bermula dengan ketidakpercayaan dan asumsi permainan dari Karlo, berubah menjadi keyakinan kuat ketika Jonathan mulai mempertanyakan hal-hal pribadi yang hanya diketahui orang terdekatnya. Berhasil memperoleh kepercayaan Jonathan, Sore kemudian membentuk janji dengan Jonathan untuk membuat masa depan yang lebih baik bagi mereka berdua. Hidup Jonathan pun berubah mengikuti arahan Sore dengan anggapan bahwa masa depan yang dibawakan Sore akan pasti lebih baik. Hanya saja, terdapat rahasia yang sepertinya Sore tidak ingin Jonathan tahu.
Film ini dikemas dalam tiga babak dengan tiga perspektif berbeda, Jonathan, Sore, dan Waktu. Pengemasan ini ditujukan untuk memberikan sorotan bagi tiap karakter dan bagaimana masing-masing karakter menghadapi keabsurdan fenomena yang mereka alami. Kontras antara Jonathan yang kebingungan dan pasrah akan masa depan lebih baik yang dijanjikan oleh Sore, dan Sore yang terus berupaya mengubah kehidupan Jonathan, memberikan film narasi segar, meski pembawaan cerita memiliki alur berulang-ulang. Terakhir ada Waktu, yang meskipun merupakan sebuah objek maupun sifat, terbentuk layaknya sebuah karakter dalam babak yang menunjukkan bagaimana Waktu tidak peduli akan perjuangan Sore dalam memperbaiki masa depan Jonathan. Dengan pemisahan ketiga babak ini, Yandy sanggup menarik audiens untuk bersimpati kepada kedua tokoh utama, terutama Sore yang berupaya membentuk satu masa depan di mana Jonathan dan Sore bisa bahagia bersama.
Obsesi di Bawah Jubah Cinta
Selain membawakan perjuangan Sore sebagai istri Jonathan, Film ini membawakan tema besar terkait di mana kita meletakkan batas cinta dengan obsesi. Apakah dengan mengontrol seseorang agar memperbaiki dirinya merupakan bentuk dari cinta? Apakah perasaan yang menggebu-gebu sesaat dan cepat merupakan cinta? Tema besar tersebut memayungi tiap sudut konflik dari film ini. Sore sendiri melewati berbagai fase bagaimana dirinya menangani perasaan tersebut ketika berupaya memperbaiki kehidupan Jonathan. Namun, film akhirnya menjawab dengan bagaimana cinta itu seharusnya, yakni layaknya rumah.
Penggambaran kehangatan yang terus dipancarkan oleh Sore ketika dunia di sekitar Jonathan memiliki tone dingin, ditambah dengan klimaks cerita yang membuat Jonathan bisa memaafkan trauma yang dimilikinya, menunjukkan perkembangan Jonathan sebagai karakter dan cintanya kepada Sore. Seperti rumah, cinta haruslah memberikan kenyamanan bagi kedua insan yang menaungi perasaan tersebut. Tentu bukan sebuah proses yang cepat, maupun ledakan emosi yang sulit tertampung, tetapi sebuah api kecil hangat yang terus berkobar dalam keduanya. Perasaan ini tergambarkan dengan bagaimana film membawakan hubungan mereka secara slow burn, melalui berbagai konflik yang berpotensi memisahkan mereka, tetapi api tersebut tetap menyala, hangat, menyatukan mereka dalam rumah yang sama.
Anemoia, Nostalgia untuk Waktu yang Tak Pernah Ada
Anemoia berasal dari bahasa Yunani Kuno anemos yang berarti angin dan kata noos dengan arti pikiran sehingga Anemoia secara literal dapat dimaknai sebagai pikiran angin. Walaupun begitu, Anemoia secara maknawi berarti suatu perasaan nostalgia palsu yang dialami ketika apa yang diingat tidak pernah benar dirasakan oleh individu tersebut. Dalam film ini, Yandy menggambarkan sebuah rasa layak ingatan lama, walau audiens mungkin belum pernah merasakan kisah romantis Jonathan dan Sore. Melalui berbagai medium, Yandy menggambarkan dunia yang menjadi bersahabat dan penuh warna dengan musik yang tenang melantun dan warna dunia yang berubah dengan kedatangan Sore. Tidak hanya itu, penggunaan lensa wide dalam mayoritas sinematografi film ini memberikan panggung lebih kepada pemandangan Eropa dengan kedua karakter terletak lebih kecil dibandingkan lokasi mereka berada. Secara penafsiran, sinematografi tampak seperti membentuk sebuah perasaan nostalgia yang samar, tetapi masih hangat, layaknya sebuah memori yang semakin kabur. Kita mampu mengingat kehangatan memori tersebut, tergambar dalam pemandangan Eropa yang lebih dominan, tetapi detail memori tersebut mulai pudar bersama waktu, layaknya penggambaran posisi kecilnya Sore dan Jonathan dalam beberapa frame.
Third Dimensional Manic Pixie Dreamy Girl
Meskipun film ini mampu membawakan bumbu baru bagi genre romantis dalam kancah perfilman Indonesia, masih terdapat berbagai cliche atau elemen dalam seni yang terlalu sering digunakan, tertabur dalam beberapa aspek film ini. Salah satu cliche yang mencolok adalah karakter Sore sendiri. Sore sebagai sebuah tokoh dapat termasuk dalam kategori Manic Pixie Dreamy Girl, seorang perempuan eksentrik sempurna yang datang ke dalam kehidupan tokoh laki-laki utama untuk mewarnai dan memperbaiki kehidupan murung serta monoton tokoh utama menjadi lebih baik.
Cliche ini tidak masalah untuk digunakan, tetapi dapat berpotensi kepada objektifikasi perempuan yang hanya dijadikan simbol perubahan bagi tokoh laki-laki dan hanya menjadi sebuah batu loncatan bagi laki-laki tersebut tanpa membentuk tokoh perempuan layaknya seorang manusia, melainkan objek belaka. Sebagai tokoh, Sore dapat terjerumus dalam cliche ini, tetapi penggambaran Sore yang menunjukkan berbagai sudut, baik kekurangan dan perjuangannya untuk Jonathan, beserta ketidakmampuannya untuk membentuk masa depan yang baik bagi Jonathan dengan mudah, menyebabkan Sore memiliki karakter yang lebih dalam dari sebuah cliche yang sering ditemukan di Hollywood. Dirinya yang terus memperjuangkan cinta dan masa depan yang baik ini membentuk sebuah karakter layaknya manusia, merobek stereotip dan cliche, serta membuat ceritanya terus diingat bahkan setelah audiens meninggalkan kursi teater.
Dengan pembawaan cerita yang menarik, paduan indah berbagai medium, dan aktor yang mampu menghidupkan karakternya masing-masing, Yandy Laurens kembali mampu menggugah emosi penonton dengan film terbarunya Sore: Istri dari Masa Depan.
Penulis: Taufiqurrahman Alfarisi
Editor: Kayla Fauziah
Pimpinan Redaksi: Kayla Fauziah
Desain: Davino Hernawan