Conclave: Ketika Politik dan Agama Tak Terpisahkan

Conclave adalah film thriller yang mengisahkan tentang acara pemilihan uskup atau konklaf di Kota Vatikan. Film ini disutradarai oleh Edward Berger dengan mengangkat tema thriller politik, tetapi berhasil dikemas dengan baik sehingga terasa seperti film detektif pembunuhan. Hal ini tidak terlepas dari sang penulis naskah, Peter Straughan yang mampu menghadirkan nuansa tegang melalui intrik-intrik politik dan skandal paus di dalam ritual keagamaan. Melalui Conclave, Straughan berhasil memberikan gambaran bagaimana ritual keagamaan pun tidak luput dari dari unsur politik yang dapat mengotori kesucian ritualnya.
Film ini mengawali ceritanya dengan kematian misterius Paus Katolik Vatikan yang membuat ritual konklaf harus segera diadakan untuk menentukan Paus yang baru. Kardinal Lawrence (Ralph Fiennes) sebagai dewan kardinal pun harus memimpin keberjalanan acara konklaf. Namun, polemik mulai bermunculan lantaran Kardinal Lawrence menemukan fakta yang sebelumnya hanya diketahui oleh mendiang Paus dan hal tersebutlah yang kemudian menyebabkan perselisihan karena adanya kepentingan masing-masing kardinal.
Tanggung Jawab Dewan Kardinal

Di dalam film ini, kita dapat melihat bagaimana kegelisahan yang dirasakan oleh Dewan Kardinal Lawrence dalam memimpin konklaf. Ia harus memastikan dalam pemilihan konklaf, paus yang terpilih adalah paus yang benar-benar pantas untuk mengemban tugas sebagai pemimpin umat. Sementara itu, di beberapa momen kita juga dapat melihat bagaimana ia mengalami rasa terasing yang mengakibatkan ia mempertanyakan keimanannya.
Film Conclave juga diperkaya dengan karakter-karakter kardinal yang beragam dan kompleks, masing-masing membawa warna tersendiri dalam dinamika pemilihan paus. Kardinal Aldo Bellini yang diperankan Stanley Tucci, tampil sebagai sosok progresif yang penuh prinsip, namun dihantui keraguan akan ambisinya sendiri, mencerminkan konflik batin seorang pemimpin idealis. Di sisi lain, Kardinal Goffredo Tedesco yang dibawakan Sergio Castellitto, hadir sebagai tradisionalis keras yang lantang menentang perubahan, seolah menjadi simbol resistensi terhadap modernitas dalam Gereja. Sementara itu, Kardinal Vincent Benitez dari Kabul, Afghanistan yang diperankan Carlos Diehz, muncul sebagai figur misterius dan tulus, dengan pengalaman di wilayah konflik yang memberinya perspektif unik, menjadikannya kandidat tak terduga yang akhirnya membawa harapan baru.
Rapat yang Penuh Konflik
Salah satu hal yang membuat film ini menarik adalah sepanjang film kita sebenarnya hanya menyaksikan orang-orang yang sedang rapat. Tentunya rapat-rapat tersebut bukan sekadar rapat biasa, melainkan dengan unsur misteri yang diselipkan sehingga membuat penonton semakin tertarik untuk mengikuti upaya penyelidikan Kardinal Lawrence. Straughan membuat tempo film berjalan lambat di awal, tetapi seiring waktu, skandal demi skandal yang terkuak meningkatkan tempo film secara bertahap. Suasana yang semakin intens dan mencengangkan pun seolah-olah mendorong penonton untuk lebih serius memperhatikan jalannya cerita.
Film ini pula dikemas dengan plot yang menarik, yaitu dengan mengungkap rahasia para kardinal satu persatu, film ini berusaha untuk mencari kemurnian dalam diri manusia, seolah-olah mereka adalah orang yang bersih tanpa pernah luput dari kesalahan. Di balik intrik pemilihan paus yang penuh teka-teki, Conclave juga menunjukkan betapa rapuhnya sifat manusia, bahkan di dalam institusi yang dianggap suci.
Melalui film ini, kita bisa melihat unsur keagamaan pun tidak luput dari politik. Kita diajak untuk melihat dan memahami apa yang sebenarnya terjadi pada saat para kardinal sedang dalam masa pengasingan, bagaimana dinamika politik juga turut melengkapi proses pemilihan paus. Konklaf digambarkan sebagai proses yang demikian panjang karena melibatkan suara dari semua kardinal, dan maka dari itu, di sepanjang film kita diperlihatkan para kardinal yang saling berdebat, melempar gagasan, dan mengutarakan kepentingan politiknya.
Sinematografi Apik yang Meningkatkan Pembawaan Narasi
Selain didukung oleh cerita yang menarik, Conclave menyuguhkan sajian visual yang begitu memukau. Naskah epik karya Peter Straughan berhasil ditransformasi dengan cemerlang oleh Edward Berger yang mampu mewujudkan nuansa mencekam khas film thriller. Remang-remang lampu serta latar lorong vatikan turut menambah citra horor film ini. Detail kecil pada film ini menambah kesan bahwa ia sangat memperhatikan komposisi gambar yang memanjakan mata.
Sinematografi Conclave yang digarap oleh Stéphane Fontaine di bawah arahan sutradara Edward Berger adalah salah satu elemen yang paling menonjol dan banyak dipuji. Film ini menghadirkan visual yang megah dan terkontrol dengan komposisi gambar yang terasa seperti lukisan hidup. Penggunaan pencahayaan dramatis, sering kali dengan nuansa temaram dan kontras antara terang dan gelap, menciptakan suasana misterius yang selaras dengan tema intrik dan rahasia di balik tembok Vatikan.
Pemilihan sound effect pun turut memberikan peran dalam memperkaya nuansa thriller pada film ini. Volker Bertelmann sebagai komposer memberikan sentuhan biola dan cello yang berangsur cepat sehingga semakin menambah kesan misteri di dalam Gereja Vatikan. Suara instrumen yang memadukan elemen sakral dengan ketidaknyamanan membangun atmosfer yang tegang tetapi kontemplatif, seolah menyuarakan konflik batin para kardinal.
Sebagai penutup, Conclave berhasil mengintegrasikan narasi yang penuh intrik dengan elemen sinematografi yang luar biasa, menjadikannya sebuah karya thriller yang mengesankan dan berkelas. Visual yang megah hasil karya Stéphane Fontaine di bawah arahan Edward Berger, serta penggunaan pencahayaan dramatis dan komposisi gambar yang terperinci, menghadirkan suasana misterius yang selaras dengan nuansa intrik di lingkungan Vatikan. Ditambah dengan komposisi musik Volker Bertelmann yang menggabungkan nuansa sakral dan ketegangan, film ini tidak hanya menawarkan pengalaman visual yang memukau, tetapi juga memperkaya dimensi emosional, meninggalkan refleksi mendalam tentang kompleksitas sifat manusia dalam institusi yang terhormat.
Penulis: Dafan Mahendra
Editor: Kayla Fauziah
Pemimpin Redaksi: Kayla Fauziah