Riuh Keluh Mahasiswa Soal Pemindahan Fasyankes: Kebijakan ini Memberatkan Kami
Liburan akhir tahun lalu menjadi sebuah tanda bahwa akan ada lembaran baru yang harus dihadapi oleh para mahasiswa. Semester baru selalu akan diawali dengan pembelajaran yang baru pula, sehingga mahasiswa perlu melakukan pengisian Isian Rencana Studi (IRS) untuk kegiatan pembelajaran di semester menjelang.
Namun, sebelum pengisian IRS terlaksana, mahasiswa Undip dikejutkan dengan informasi terkait pemindahan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang awalnya bersifat wajib bagi mahasiswa Undip angkatan 2020 dan 2021.
Informasi mengenai pemindahan Fasyankes sebenarnya sudah diumumkan sejak 15 Juli 2022 lalu melalui Surat Pengumuman Nomor 61 Tahun 2022. Akan tetapi, Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan baru mengeluarkan Surat Edaran untuk menindaklanjuti hal tersebut pada 6 Januari 2023 melalui Surat Edaran Nomor : 2 / UN7. A1 / KM / I / 2023.
Dalam surat edaran tersebut, dikatakan bahwa pemindahan Fasilitas Pelayanan Kesehatan mahasiswa domisili Semarang ke Klinik Pratama Diponegoro I bersifat opsional. Meski begitu, hal tersebut dianggap tidak meringankan beban mereka (mahasiswa domisili Semarang).
Pasalnya, mayoritas sudah terlanjur memindahkan layanan kesehatan mereka. Tak sedikit mahasiswa yang merasa pemindahan Fasyankes adalah sebuah paksaan lantaran berdasarkan Surat Edaran Nomor : 61 / UN7. A / Ak / 2022, mahasiswa yang tidak memindahkan Fasyankesnya ke Klinik Pratama Diponegoro I tidak dapat melakukan Her-Registrasi pada semester genap Tahun Akademik 2022/2023.
Bagaimana Tanggapan Mereka?
Peraturan yang dibuat oleh pihak Undip ini mendapat respons yang amat beragam dari kalangan mahasiswa. Tidak sedikit dari mereka yang kontra dengan kebijakan yang mengikat tersebut.
Terkhusus bagi mereka yang berdomisili di Semarang dan pulang balik setiap harinya, jarak jauh yang harus ditempuh untuk sampai ke Klinik Pratama menjadi kendala yang paling utama.
“Awal waktu dengar kabar tentang pemindahan fasyankes itu, agak geram sama jengkel ya. Karena apa? Karena kan setiap anak di Semarang pasti udah ada BPJS-nya masing-masing dengan setiap pelayanan kesehatannya. Ya, ketika dengar itu (pemindahan fasyankes), kenapa kita (sebelumnya) diharuskan pindah gitu lho? Karena kan jauh banget dari rumah. Perginya malah harus ke Klinik Undip,” keluh Karolus Adhimas, salah satu mahasiswa asli Semarang, jurusan Teknik Mesin Angkatan 2021 saat ditemui OPINI pada Kamis (09/03).
Hal serupa juga dirasakan oleh Salsabila, mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2020. Ia mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut karena antara rumahnya dengan Fasyankes yang disediakan Undip terpaut jarak yang jauh.
“Kalau aku sendiri kurang setuju ya. Kayak buat apa, kalo dipindah kan kalo kita ada apa-apa harus naik keatas (Tembalang) ya. Sedangkan rumahku jauh dari fasilitas kesehatan yang disediakan Undip. Jadi kayak kurang setuju aja sih,” ungkap Salsabila saat ditemui OPINI pada Senin (13/03).
Indah (bukan nama sebenarnya), salah satu mahasiswa Undip juga merasa keberatan dengan adanya regulasi universitas ini. Menurutnya, kebijakan itu bagus diterapkan untuk mahasiswa domisili luar Semarang. Namun, tidak demikian dengan mahasiswa domisili Semarang.
“Kalau aku pribadi tuh nggak setuju ya sama pemindahan Fasyankes ini, karena aku tinggalnya di Semarang, jadi seharusnya Fasyankesku harusnya yang paling dekat sama rumahku dong. Tapi, kalau kebijakan pemindahan Fasyankes ini buat mahasiswa yang dari luar Semarang itu bagus-bagus aja. Karena emang kalau dia (mahasiswa domisili luar Semarang) lagi sakit, itu kan dekat ke Undip,” tutur Indah saat dihubungi OPINI via WhatsApp pada Selasa (14/03).
Vanessa Dwi Octaviani, salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi 2021, merasa keberatan pula dengan peraturan tersebut. Menurutnya, prosedur pengaktifan BPJS sangat merepotkan. Jarak jauh juga menjadi keluhannya terhadap kebijakan ini lantaran antara rumahnya dengan fasilitas kesehatan terpaut kurang lebih 20 kilometer.
“Pemindahan Fasyankes ini menurut saya memberatkan. Karena bagi saya yang sudah tidak menggunakan BPJS, kemudian diharuskan untuk mendaftar BPJS kembali hanya untuk bisa memindahkan Fasyankes pada klinik yang diminta, sangat merepotkan. Dan saya juga tidak setuju karena tempat tinggal saya berjarak kurang lebih 20 kilometer dengan klinik yang diminta,” jawabnya saat ditemui OPINI pada Rabu (08/02).
Pengobatan Pasca Pemindahan
Kesulitan pasca melakukan proses pemindahan Fasyankes betul-betul dirasakan oleh segelintir mahasiswa. Bukan hanya keluhan yang keluar dari mulut belaka, tetapi dirasakan secara nyata.
“Kalau prosedur pas aku datang untungnya cepat ya. Tapi, kalo aku liat di google atau liat testimoni orang lain tentang pelayanan Fasyankes di Undip, mungkin karena padat atau gimana ya. Pelayanannya lama dan makan waktu berjam-jam. Syukurnya, waktu aku datang ke Fasyankes itu, pelayanannya cepat sih dan tergolong sepi waktu itu,” tambah Dhimas.
Indah juga merasakan hal yang serupa dengan Dhimas setelah melakukan pemindahan Fasyankes. Ia khawatir pemindahan ini akan menghambat, apabila ia memerlukan penanganan yang lebih serius akibat lamanya perjalanan untuk menempuh jarak yang jauh sebelum sampai pada layanan kesehatan yang dituju.
“Sebenarnya kalau klinik Pratama sendiri lumayan cepat, dokternya, antriannya juga nggak masalah sih buat aku. Cuman ya gitu aja, kenapa kalau aku berobat itu aku harus jauh-jauh dari rumahku gitu. Kalau misalkan butuh penanganan yang lebih serius, aku nggak bisa langsung minta ke rumah sakit yang dekat rumahku gitu. Jadi kalau mau berobat, perlu bolak-balik. Jadinya lama,” ujarnya.
Urgensi dan Tujuan Pemindahan Fasyankes
Salsalina (bukan nama sebenarnya) merasa kebijakan yang ditetapkan Undip terkait mahasiswa harus menjadikan Klinik Pratama sebagai fasilitas kesehatan tingkat I mereka sebagai syarat bisa melakukan her registrasi, dinilai tidak mengandung korelasi. Ia menduga ada tujuan terselubung demi kemajuan Klinik Pratama Diponegoro itu sendiri.
“Undip mengambil kesempatan di masa liburan dengan persyaratannya biar bisa her registrasi. Padahal nggak ada korelasi kan antara pindah klinik sama her registrasi. Kenapa harus ngambil di momen itu gitu. Mungkin Klinik Pratama itu sepi. Jadi kayak ingin ‘mengaktifkan’, dia (pihak Undip) ingin biar banyak pasiennya gitu,” ucap Salsalina saat dihubungi OPINI via WhatsApp pada Senin (20/03).
Hanif Afattah, selaku ketua BEM Undip memperkuat pernyataan yang sudah diungkapkan Salsalina bahwa pihak Undip mewajibkan mahasiswanya memindahkan Fasyankes ke Klinik Pratama dengan tujuan baik agar mahasiswa tidak perlu pulang kerumah ketika membutuhkan perawatan dan pelayanan kesehatan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa meramaikan dan menambah pemasukan Klinik Pratama juga merupakan bagian dari kebijakan ini.
“Tujuan pertama dari kebijakan ini, yakni: pertama, dari Klinik Pratama nih kan sepi, jadi bisa meramaikan karena mahasiswa itu terpaksa ataupun nanti ketika sakit pasti membutuhkan adanya pengobatan, yakni disini ke Klinik Pratama. Kedua, yakni ketika teman-teman mahasiswa sakit, mereka nggak perlu pulang kerumah masing-masing. Jadi aksesnya ketika untuk berobat itu, lebih mudah ketika ke Klinik Pratama,” jelasnya saat ditemui OPINI pada Rabu (08/02).
Keberatan Membayar Premi BPJS
Permasalahan yang paling banyak dikeluhkan oleh mahasiswa terkait kebijakan baru yang ditegakkan Undip ialah tidak mempunyai BPJS dan memiliki BPJS yang tidak aktif.
“Masalah yang sering dikeluhkan itu, yang pertama karena mereka lama tidak mengaktifkan BPJS-nya. Kemudian yang kedua, karena mereka tidak memiliki BPJS,” ungkap Hanif.
Meskipun pengaktifan BPJS menjadi syarat her registrasi, seluruh mahasiswa Undip tidak langsung menurutinya secara serempak. Lantaran, masih ada di antara mereka yang tidak menemukan korelasi wajib punya BPJS dengan her registrasi dan ada pula yang keberatan untuk melakukan pembayaran premi perbulannya.
“Karena nggak ada korelasinya dan pemaksaan juga, jadi aku merasa keberatan. Terus ya kalo dari aku sendiri nggak sedikit ya preminya (premi BPJS). Soalnya aku nggak aktif karena masalah premi. Jadi, dalam waktu yang segitu ditambah nanti bayar UKT, di situ aku keberatan,” jelas Salsalina.
Narahubung Jadi Solusi tetapi Belum Berikan Jawaban Pasti
Banyaknya keluhan yang disuarakan mahasiswa beberapa waktu lalu, menyita perhatian para anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip. Menanggapi hal tersebut, Hanif selaku ketua BEM Undip mengatakan bahwa pihak BEM Undip memberikan solusi berupa narahubung sebagai wadah untuk menanyakan solusi atas berbagai kendala yang mereka alami.
“Teman-teman dari BEM Undip kemarin menyediakan narahubung agar teman-teman yang sekiranya tidak bisa mengisi ataupun mengalami kesulitan, itu bisa langsung kita hubungkan (fasilitasi) dengan pihak terkait (ke admin),” ujarnya.
Namun, kinerja narahubung tersebut lambat dan kurang membantu mahasiswa yang terkendala. Hal itu dirasakan oleh Salsabila ketika ia menghubungi narahubung terkait. Ia mengatakan bahwa respons narahubung kurang responsif, sebab informasi yang dia butuhkan lebih dulu ia dapatkan dari Twitter daripada narahubungnya langsung.
“Menurut aku narahubungnya kurang responsif sih. Waktu itu aku nunggu kayak sekitar 2-3 harian gitu baru dibalas. Tapi aku malah tau itu dari link (link yang berisi surat keterangan mengaktifkan BPJS) yang beredar di Twitter. Malah aku lebih tau dulu daripada narahubungnya balas,” jawabnya.
Serupa dengan kendala yang dialami Salsabila, Salsalina juga menilai bahwa kinerja contact person yang disediakan juga lambat. Selain itu, jawaban yang diberikan ambigu dan tidak menjawab.
“Aku sama temenku yang kesulitan, kita mau nanya ini gimana kalo misalkan yang keberatan masalah premi apakah ada jangka waktunya (jangka waktu pembayaran), keringanan, atau gimana. CP-nya itu slow respon banget, balasnya lama gitu kan. Sedangkan kita udah ketar-ketir nunggu responnya. CP-nya sekalinya balas, jawabannya tidak menjawab. Jadi hanya dijawab secara umum aja. Yang kita tanyakan itu apa, terus dijawab ambigu gitu lho,” keluhnya.
Permasalahan kinerja narahubung yang lamban dan dianggap tidak menjawab tersebut sudah ditanyakan oleh pihak BEM Undip ke kliniknya secara langsung. Beberapa hal yang mereka tanyakan kepada pihak klinik tidak membuahkan jawaban yang memuaskan. Sebab, bukan ranah mereka untuk menjawab, melainkan ranah pihak rektorat langsung.
“Kemarin, ketika teman-teman BEM menanyakan kepada pihak klinik, apakah ada jaminan bahwa Klinik Pratama nanti bisa buka lebih malam, bisa diperbaiki lebih baik. Nah, dari mereka itu agaknya tidak bisa menjawab karena ranahnya perbaikan, ranahnya prosedur mekanisme yang ada di Klinik Pratama itu yang pegang dari pihak rektorat langsung,” jelas Hanif.
Pihak BEM Undip hanya bisa mengadvokasikan keluhan-keluhan ataupun kendala-kendala yang dialami oleh mahasiswa yang tidak bisa dijawab oleh narahubung terkait.
“Jadi upaya yang dilakukan BEM ya itu tadi, mengadvokasikan permasalahan yang dialami oleh teman mahasiswa yang sekiranya tidak bisa dijawab oleh pihak admin, narahubung BEM, ataupun narahubung di fakultas,” imbuhnya.
Tim OPINI telah menghubungi staf Humas Undip untuk meminta keterangan terkait perpindahan Fasyankes, tetapi dialihkan ke Kepala Subbagian Humas. Akhirnya tim OPINI diminta untuk menghubungi Wakil Rektor bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Hingga saat ini, wakil rektor pun belum memberikan keterangan. Berbagai keluhan dan masukan dari mahasiswa pun belum bisa tersampaikan kepada pihak Universitas.
Penulis: Natalia Ginting
Editor: Dinda Khansa
Redaktur Pelaksana: Gisella Previan Laoh