Saat Kebijakan Pemindahan Fasyankes Undip Tuai Kontroversi: Protes Mahasiswa Soal Syarat Her-Registrasi Hingga Fasilitas yang Dinilai Belum Mumpuni
LPM OPINI – Memasuki Tahun Akademik 2022/2023, Universitas Diponegoro (Undip) secara resmi menetapkan kebijakan mengenai pemindahan Fasilitas Pelayanan dan Kesehatan (Fasyankes) bagi mahasiswa sebagai syarat her-registrasi semester genap.
Melalui pengumuman Nomor: 61/UN7.A/Ak/2022, mahasiswa Undip yang diterima pada Tahun Akademik 2020/2021 dan 2021/2022 yang memiliki Fasyankes tingkat 1 di luar Undip diimbau agar segera memindahkan Fasyankesnya ke Klinik Pratama Diponegoro 1, kemudian mengunggah tangkapan layar bukti pemindahan Fasyankes pada aplikasi SIAP sebagai syarat her-registrasi semester genap Tahun Akademik 2022/2023.
Surat Edaran Kebijakan Pemindahan Fasyankes sebagai Syarat Her-Registrasi Tahun Akademik 2022/2023. (Sumber Gambar: Cheryl Lizka)
Kebijakan mengenai pemindahan Fasyankes sempat menimbulkan kontroversi di kalangan mahasiswa, terutama pada poin ke-5 yang berkaitan dengan her-registrasi. Himbauan untuk melakukan pemindahan fasyankes diperuntukan bagi seluruh mahasiswa Universitas Diponegoro dan Sekolah Vokasi. Disebutkan apabila mahasiswa tidak memindahkan fasyankes, maka mereka tidak bisa her-registrasi. Berdasarkan survey yang dilaksanakan LPM OPINI pada 113 mahasiswa Undip dan Sekolah Vokasi angkatan 2020 dan 2021, sebanyak 85,8% mahasiswa tidak setuju pemindahan Fasyankes dijadikan syarat her-registrasi, sementara 14,2% setuju dengan kebijakan ini.
Problematika Pemindahan Fasyankes yang Dinilai Merepotkan
Skema pemindahan fasyankes rupanya dinilai memberatkan mahasiswa yang berdomisili di Semarang Bawah. Indah (nama samaran), salah satu mahasiswa Administrasi Publik Undip 2021 yang berdomisili di Kecamatan Pedurungan, Kota Semarang, mengaku keberatan untuk melakukan pemindahan Fasyankes karena faktor jarak. Ia mengaku bahwa jarak antara rumahnya dengan Klinik Pratama Diponegoro I cukup jauh. Menurutnya, kebijakan ini hanya menguntungkan mahasiswa perantauan sebab mahasiswa yang berdomisili di Semarang, terlebih Semarang bagian bawah akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama menuju ke Klinik Pratama Diponegoro I.
“Kalau aku pribadi tuh nggak setuju ya sama pemindahan Fasyankes ini karena pertama, aku tinggalnya di Semarang, jadi seharusnya Fasyankes harusnya yang paling deket sama rumahku, dong,” terangnya.
Pasalnya, kebijakan ini dipandang tidak praktis dari segi lokasi dan prosedur pemindahan. Hal ini menjadi kendala mahasiswa domisili Semarang yang merasa kebijakan ini mempersulit untuk menerima layanan kesehatan BPJS.
“Karena dokter pribadi saya dekat rumah, jadi semisal pindah ke Fasyankes dekat sini itu sejujurnya juga mengganggu, soalnya BPJS sudah pakai yang dekat rumah itu, terus kalau misal sakit gitu masa harus ke sini? Itu kan cukup ribet juga,” ujar FS selaku mahasiswa Administrasi Bisnis Undip 2021 yang berdomisili di Semarang.
Ragam Kendala Pemindahan Layanan Kesehatan
Untuk meminimalisasi adanya kendala, Undip kemudian menghadirkan narahubung sebagai pihak yang menjembatani adanya permasalahan selama proses pemindahan Fasyankes.
Adapun narahubung yang disediakan pihak Undip terdiri dari pihak admin, narahubung BEM, serta narahubung tingkat fakultas.
Hasil survei yang dilakukan oleh OPINI menunjukkan bahwa 73,5 % atau sebanyak 83 orang mahasiswa Undip domisili Semarang memilih puas terhadap pelayanan narahubung pemindahan Fasyankes.
Tak selaras dengan hasil survei, kinerja narahubung justru dinilai lamban dan kurang membantu mahasiswa yang terkendala. Hal ini disampaikan oleh Salsabila, mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2020.
Mahasiswa yang berdomisili di daerah Ngaliyan, Kota Semarang tersebut merasa bahwa kinerja narahubung kurang responsif ketika ia menanyakan formulir pengaktifan BPJS.
Pasalnya, informasi yang ia butuhkan justru lebih dulu ia dapatkan dari media sosial Twitter, daripada narahubung.
“Menurut aku, narahubungnya kurang responsif, sih. Waktu itu aku nunggu kayak sekitar 2-3 harian gitu baru dibalas. Tapi aku malah tahu itu dari link (link yang berisi surat keterangan mengaktifkan BPJS) yang beredar di Twitter. Malah aku lebih tahu dulu daripada narahubungnya balas,” ungkap Salsabila saat ditemui OPINI pada Senin (13/03).
Bukan hanya itu, kesimpangsiuran informasi mengenai pemindahan Fasyankes juga dialami oleh segelintir mahasiswa. Mereka mengaku kebingungan terkait pemindahan Fasyankes ini apakah bersifat wajib atau opsional. Indah merasa bahwa informasi yang diberikan pihak Undip terkait pemindahan Fasyankes masih abu-abu. Hal ini dibuktikan dengan adanya inkonsistensi regulasi tersebut.
“Waktu berita pemindahan kemarin ada yang bilang wajib pindah, dan nggak wajib pindah. Nah, waktu itu informasi awalnya setahuku angkatan 2020 sama 2021 diwajibkan pindah. Setelah aku pindah, sekitar minggu-minggu awal Januari baru ada info kalau mahasiswa domisili Semarang itu sifatnya opsional buat pindah,” ungkap Indah saat dihubungi OPINI via WhatsApp pada Senin (20/03).
Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan baru mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 2 / UN7. A1 / KM / I / 2023 pada 06 Januari 2023 lalu untuk menindaklanjuti Surat Pengumuman Nomor 61 Tahun 2022. Informasi mutlak yang dikeluarkan pihak Undip bahwasanya pemindahan Fasyankes bersifat opsional bagi mahasiswa domisili Semarang terkesan mendadak, sehingga banyak mahasiswa yang sudah telanjur memindahkan layanan kesehatan mereka. Indah mengaku bahwa ia baru mendengar informasi tersebut setelah ia memindahkan Fasyankes miliknya ke Klinik Pratama.
“Aku nggak dengar kabar bahwa pemindahan Fasyankes nggak wajib gitu sebelum aku IRS-an. Kayaknya kabar itu tuh aku dengar setelah dekat-dekat IRS-an dan udah aku pindahin Fasyankesnya ke kliniknya Undip gitu,” tuturnya.
Indah menjadi salah satu mahasiswa yang pernah berobat ke Klinik Pratama Diponegoro. Dirinya mengaku puas dengan pelayanan kesehatan yang diberikan. Namun, ia masih mempertanyakan mengapa pemindahan Fasyankes ini harus dilakukan. Dia khawatir apabila ia sakit dan memerlukan penanganan yang lebih serius akan merugikan dirinya karena lamanya perjalanan untuk menempuh layanan kesehatan yang dituju dari rumahnya.
“Sebenarnya kalau Klinik Pratama sendiri lumayan cepat dokternya. Antriannya juga nggak masalah sih buat aku. Cuma ya gitu aja. Kenapa kalau aku berobat itu aku harus jauh-jauh dari rumahku, gitu? Kalau misalkan butuh penanganan yang lebih serius, aku nggak bisa langsung minta ke rumah sakit yang dekat rumahku gitu. Jadi kalau mau berobat, perlu bolak-balik. Jadinya lama,” pungkasnya.
Hal senada pun dirasakan oleh Adhimas, mahasiswa Teknik Mesin Angkatan 2021. Ia mengatakan bahwa prosedur pelayanan yang diberikan Klinik Pratama tergolong cepat. Kendati demikian, antara klinik itu dengan rumahnya terpaut jarak yang jauh.
“Kalau prosedur pas aku datang untungnya cepat, ya. Tapi, kalau aku lihat di Google atau lihat testimoni orang lain tentang pelayanan Fasyankes di Undip, mungkin karena padat atau gimana, ya. Pelayanannya lama dan makan waktu berjam-jam. Syukurnya, waktu aku datang ke Fasyankes itu, pelayanannya cepat sih dan tergolong sepi waktu itu. Tapi balik lagi, jaraknya cukup jauh kalau ke Klinik Pratama di Tembalang ini,” ujarnya.
Saran Mahasiswa: Koordinasi yang Lebih Baik & Narahubung yang Responsif
Melihat dari berbagai tanggapan mahasiswa yang bertempat tinggal di Semarang, Salsabilla menilai pemindahan Fasyankes tidak perlu dilakukan bagi mahasiswa yang berdomisili di Semarang dan wilayah terdekat lainnya.
“Lebih dikoordinasikan lagi. Misalnya anak (mahasiswa) Semarang tidak perlu (melakukan pemindahan Fasyankes) karena kalau dipindah ke atas (Tembalang), jika keadaan darurat masa iya harus ke atas (Tembalang)?” ungkap Salsabilla,
Lebih lanjut, Salsabilla juga mengungkapkan saran untuk petugas narahubung agar bisa lebih responsif lagi dalam menyelesaikan kendala mahasiswa.
“Narahubungnya lebih responsif lagi,” imbuhnya.
Sedikit menyinggung pemindahan Fasyankes yang melibatkan pengisian IRS Mahasiswa, FS turut menyatakan pendapatnya,
“Tidak perlu (melibatkan pengisian IRS), asal sudah bayar UKT dan mengisi evaluasi dosen sudah cukup. Karena untuk berobat itu cukup sensitif dan kita tidak tahu kendala apa yang dirasakan saat sakit di sini atau di rumah.”
Hal lain juga disampaikan oleh Adhimas yang mengkritik penyebaran informasi yang perlu diperhatikan dari sistem pemindahan ini.
“Kalau saran dari aku, penyebaran informasi harus cepat dilakukan dari awal karena (jika mulai) Desember (setelah semester ganjil berakhir) itu agak telat banget ya,” ujar Adhimas.
Pemindahan Fasyankes: Manfaat atau Beban Bagi Mahasiswa?
Terlepas dari berbagai keluhan yang disampaikan, tak dapat dipungkiri bahwa pemindahan Fasyankes dinilai memiliki manfaat bagi mahasiswa Undip. Meninjau dari data survei yang telah dibagikan, diantara 80 dari 113 responden setuju bahwa pemindahan Fasyankes bermanfaat bagi mahasiswa. Hal ini diungkapkan pula oleh Indah yang beranggapan bahwa pemindahan Fasyankes bermanfaat bagi mahasiswa perantau,
“Cuma kalau untuk aku yang jarak rumahnya dari Undip sekitar 14 kilometer membuat aku keberatan,” tegas Indah yang keberatan atas pemindahan Fasyankes.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan pemindahan Fasyankes memiliki nilai krusial dengan mengaitkannya sebagai syarat her-registrasi, terutama bagi mahasiswa yang bertempat tinggal di Semarang?
Lika-Liku Kualitas Klinik Pratama Undip: Apakah lebih baik?
Permasalahan terkait Fasyankes Undip rupanya masih berlanjut dari segi fasilitas dan layanan. Melati (nama disamarkan) selaku mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat angkatan 2020 menilai bahwa Fasyankes masih belum memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap dan memadai.
“Kurang memadai karena belum menyediakan alat untuk tes darah dan penanganan darurat untuk pasien tertentu,” ungkap Melati saat diwawancarai pada Rabu (24/5) via WhatsApp.
Ketika ditanya mengapa klinik Pratama belum memiliki kelengkapan alat dan obat-obatan, Melati berpendapat hal ini disebabkan karena bantuan dari pemerintah dan dinas terkait masih belum merata. Ia pun menyarankan agar Fasyankes lekas mengajukan bantuan kepada dinas setempat terkait pemenuhan alat dan fasilitas.
“Mencari solusi dan alternatif untuk memenuhi alat dan fasilitas seperti mengajukan kepada dinkes/pemerintah,” ujar Melati.
Kondisi lain turut diungkapkan oleh Ayu (nama disamarkan), mahasiswa Ilmu Komunikasi angkatan 2020 yang menilai pelayanan dari klinik Undip kurang memuaskan lantaran ia mengantri lama dan menerima pelayanan yang kurang menyenangkan.
“Untuk bagian administrasi jutek, dokternya kurang jadi antrian menumpuk,” ujar Ayu yang juga memberikan saran agar bagian operasional untuk lebih ramah dalam melayani pasien,
“Mungkin kalau bisa jumlah dokter ditambah biar ga terjadi penumpukan orang (pasien) saat antri,” tambah Ayu.
Kendati demikian, baik Melati dan Ayu tetap merekomendasikan mahasiswa Undip untuk berobat di klinik Pratama,
“Kalau untuk sakit yang ringan recommended apalagi memanfaatkan fasilitas BPJS,” tutur Melati.
Penulis: Gusti Nur Alisa Rizki Andini, Cheryl Lizka Yovita, Natalia Ginting
Editor: Almira Khairunnisa, Vanessa Ayu Nirbita
Tim Collab Survey: Irgi Riftian Ghandi, Muhammad Bashara Hadid Dhofir, Alivia Nuriyani Syiva, Zharabib Rizha Moammereta, Agatha Nuansa, Aulia Retno Utami
Desain: Nurlita Wahyu Aziza