Semarang Climate Strike: Prioritaskan Manusia, Bukan Laba!

Hari Jumat (25/3) pagi, sekitar 60 orang warga Semarang dan sekitarnya melakukan aksi berjalan kaki dari Masjid Nusrat Jahan Jalan Erlangga Raya Nomor 7A ke Patung Diponegoro Jalan Pahlawan untuk bersama-sama melakukan aksi Semarang Climate Strike atau Jeda Untuk Iklim Semarang.

Mereka bergantian melakukan orasi, baca puisi, pentas teatrikal, dan doa bersama demi teratasinya krisis iklim yang makin mengancam seluruh umat manusia dan makhluk hidup yang tinggal di Bumi.

Pentas teatrikal diperankan oleh sejumlah ayah, ibu, anak-anak, dan perwakilan organisasi dan komunitas. Satu keluarga memerankan matahari yang kini sinarnya terasa makin panas, keluarga lain memerankan pepohonan dan binatang yang makin menderita, dan keluarga ketiga memerankan manusia yang suka kebablasan memakai teknologi dan mengeksploitasi kekayaan alam sehingga mengganggu keseimbangan Bumi. Lalu, muncullah orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama berdoa dan berusaha bersama mengasrikan Bumi kembali. Aksi ditutup dengan doa dari tokoh-tokoh lintas agama.

Semarang Climate Strike adalah bagian dari aksi solidaritas pegiat iklim sedunia atau Global Climate Strike yang mendesak pemerintah di semua negara secara serius melakukan transisi dari energi kotor ke energi bersih agar ambang batas aman kenaikan suhu Bumi tidak terlewati.

Di Indonesia, aksi ini diadakan juga di kota-kota lain seperti Jakarta, Depok, Sukabumi, Solo, Yogyakarta, Jember, Malang, Makassar dan Medan – sebagian besar digawangi oleh anak-anak muda, para pewaris Bumi di masa depan.

“Kesannya alam itu begini-begini saja, padahal iklim hari ini beda dari iklim zaman orangtua kita. Suhu bumi sejak tahun 1950-an sudah naik 1 derajat Celcius, seperti tubuh manusia yang sedang demam, kenaikan suhu ini mengacaukan semua ekosistem. Menurut laporan Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC), per 10 tahun suhu Bumi terus naik 0,2 derajat Celcius,”

“Jika kecepatan pemanasannya seperti ini, ambang batas aman akan terlewati tahun 2040. Dalam hal iklim, saat ini kita seperti sedang meluncur turun di lereng, sudah hampir sampai di bibir jurang. Satu-satunya hal yang masuk akal untuk kita lakukan adalah ikut serta mengerem agar kenaikan suhu bumi ini sebisa mungkin berhenti dan umat manusia sedunia terhindar dari bencana besar. Pesan yang kita ingin usung kali ini adalah utamakan manusia, bukan laba – people, not profit!” kata Ellen Nugroho, koordinator Jaringan Peduli Iklim dan Alam.

“Indonesia mengalami peningkatan suhu dan intensitas bencana alam di berbagai kota, bahkan daerah yang sebelumnya tidak mengalami bencana alam jadi kena. Tahun 2016, Indonesia bikin komitmen turunkan emisi 11% tapi tidak selaras dengan RPJMN yang masih menggenjot energi batubara,”

“Belum ada langkah ambisius untuk phase out ke energi bersih, terbukti dari masih dibangunnya sejumlah PLTU baru, konsesi hutan dan pengalihan fungsi hutan menjadi tambang atau kawasan sentra bisnis, eksploitasi alam tidak diimbangi konservasi, moda transportasi publik belum diperbaiki. Di KTT Iklim (COP26) Indonesia tidak menunjukkan target ambisius untuk menurunkan emisi,” tambah Patria, perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah yang ikut serta dalam aksi. 

“Kita lihat pemerintah masih mengutamakan kepentingan para pengusaha dibandingkan rakyat dan makhluk hidup lain yang tinggal di lokasi-lokasi proyek percepatan pembangunan nasional. Masih banyak kasus perusakan lingkungan yang berdampak besar yang menyebabkan konflik dengan rakyat, seperti kasus Wadas, pencemaran Sungai Batanghari, tambang emas dan tambang nikel Sangihe,” tambah Dhika dari LBH Semarang.

“Isu kita adalah keadilan iklim. Saat ini yang terjadi adalah ketidakadilan. Negara-negara kaya yang menikmati keuntungan dari kemajuan ekonomi dengan membuang banyak emisi karbon, negara-negara berkembang yang harus menanggung dampak kerusakan Buminya. Orang-orang kaya hidup nyaman dengan menghambur-hamburkan energi, rakyat miskin yang paling menderita karena alih guna lahan, kerusakan alam, bencana alam, krisis pangan. Dan yang paling menderita pastilah perempuan, anak-anak, dan kelompok paling rentan di masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan,” imbuh Soni dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM).

“Tidak perlu menunggu sampai generasi anak-cucu, kita pun sudah mulai merasakan dampak krisis iklim ini. Saat ini satu-satunya pilihan yang masuk akal adalah menunjukkan kepedulian dan mengubah cara hidup. Keluarga-keluarga perlu bersama belajar hidup secara rendah karbon, yakni berusaha ikut mengerem laju emisi karbon dengan memperbaiki pilihan makanan, moda transportasi, frekuensi berbelanja, dan konsumsi listrik di rumah. Dalam hidup ini, kita tidak sendirian. Pilihan-pilihan tindakan kita tidak hanya berdampak kepada diri kita sendiri, tapi juga orang lain. Sebaliknya, pilihan-pilihan tindakan orang lain berdampak pula pada diri kita,” lanjut Tiurnida Siahaan, koordinator Charlotte Mason Indonesia (CMid) Semarang.

“Saat ini pembangunan Indonesia dan semua negara lain telah mencapai titik kritis dalam arti: apabila kita meneruskan jalan yang kita tempuh sekarang, maka kita akan melampaui batas-batas keseimbangan bumi. Semakmur dan sesejahtera apa pun kita, semua bakal sia-sia saat bumi tidak bisa lagi dihuni. Sebagai umat beragama, kita perlu beraksi nyata. Di satu sisi kita berdoa, tapi di sisi lain kita harus berusaha mengupayakan perbaikan keseimbangan Bumi,” tambah Setyawan Budy, koordinator Persaudaraan Lintas Agama.

Aksi ini dikoordinasi bersama oleh Jaringan Peduli Iklim Alam yang terdiri dari Persaudaraan Lintas Agama, EIN Institute, Charlotte Mason Indonesia Semarang, YLBHI LBH Semarang, Klub Merby, Puanhayati, Gemapakti, Suster Penyelenggaraan Ilahi (SDP), KPA Pashtunwali, Walhi Jateng, UNISSULA, dan LRC-KJHAM.

Semarang, 25 Maret 2022

Narahubung:
Ellen Nugroho (0813 1646 4647)
Setyawan Budy (0813 9063 9439)

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.