Penghayat Kepercayaan: Menghadapi Stigma Negatif dan Ketidakpastian Hukum

Penghayat kepercayaan dalam artian luas didefinisikan sebagai masyarakat yang menganut agama tradisional di luar enam agama yang diakui oleh negara. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 102.508 penduduk Indonesia yang termasuk kelompok penghayat kepercayaan. 

Keberadaan penghayat kepercayaan sering kali dipandang sebelah mata. Hal itu tercermin dari banyaknya masyarakat yang menaruh stigma negatif dan kurangnya perhatian dari Pemerintah, kendati sudah diakui secara konstitusi.

Pada Sabtu (11/03), kanal YouTube SETARA mengunggah video diskusi dengan judul “Dinamika Penerimaan Penghayat dan Tantangan Diskriminasi Penghayat”. Berdurasi 30 menit 10 detik, diskusi tersebut turut menghadirkan dua narasumber yaitu, Engkus Ruswana selaku Ketua Presidium 1 MLKI Pusat dan Bonar Tigor yang menjabat sebagai Wakil Ketua SETARA Institution.

Menghadapi Stigma dari Masyarakat

Dalam perjalanannya, kelompok Penghayat Kepercayaan telah melewati dinamika yang naik-turun. Keberadaan para penghayat sudah dan masih ada hingga saat ini walaupun eksistensinya terkadang naik terkadang turun. 

“Agama-agama leluhur atau agama lokal yang eksistensinya sebetulnya jauh sebelum Hindu-Budha masuk, leluhur kita sudah mempunyai sistem keyakinan sehingga kita bisa saksikan di hampir seluruh etnis yang ada di nusantara memiliki agama leluhur. Kemudian karena proses Hindu masuk, Budha masuk, Islam masuk, Kristen masuk, terjadi perjumpaan-perjumpaan yang di suatu saat agama yang masuk itu mendominasi dan menggeser agama-agama leluhur,” jelas Engkus Ruswana.

Pasca berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dalam menyusun konstitusi muncul upaya dari negara untuk melindungi agama leluhur. Dari usaha tersebut, muncullah istilah “Penghayat Kepercayaan”. Kendati demikian, mulai dari tahun 1950-an, kelompok penghayat mengalami pasang surut terkait keberadaannya. 

Engkus Ruswana menceritakan bagaimana peristiwa pemberontakan DI/TII menjadi awal penekanan yang dialami oleh kelompok penghayat kepercayaan. Kala itu, pemberontakan DI/TII yang berpusat di Jawa Barat banyak menargetkan penghayat dan melakukan tekanan hingga teror kepada mereka. 

“Gerakan DI/TII itu sangat menekan  pada masyarakat-masyarakat penganut ajaran leluhur. Karena dikafirkan akhirnya ditekan banyak yang dibunuh, di kejar kejar.”

Akibatnya, tak sedikit dari para Penghayat yang merasa takut untuk mengaku dan menjalankan ajaran leluhur. Ada yang memilih untuk kabur dari kampung dan mencari perlindungan di kota. Ada pula yang akhirnya memilih untuk memeluk agama.

“ Di daerah Ciparai ada yang dibunuh satu komunitas yang lagi berlatih kesenian dibakar hidup-hidup. Nah, akibatnya kan pada takut untuk menjalakan ritual – ritual ajaran leluhur, akhirnya mengaku agama tapi dibalik itu ada sebagian yang masih tetap bertahan keyakinannya,” Engkus menambahkan.

Kemalangan bagi para penghayat kembali berlanjut bahkan diperparah setelah peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Stigma negatif terhadap kelompok Penghayat semakin menjadi karena Penghayat dianggap sebagai komunis sebab tak memeluk agama. 

“Pasca G30S PKI, dianggap ini tidak menganut agama ya dikomuniskan.” terang Engkus.

Engkus kembali menambahkan, jauh setelah peristiwa G30S, memasuki 2000-an ketika para Penghayat memiliki KTP dengan tanda setrip (-) di baris agama. Mereka sering kali menerima stigma negatif dari masyarakat.

“Dampak dari adanya identitas yang di setrip itu orang menjadi konotasi negatif ada yang menganggap wah ini agamanya strip berarti ini komunis, sehingga begitu misalnya kita bertamu ke daerah lain terus dilihat dan daftar misalnya sebagai tamu, kosong KTP nah akibatnya jadi  banyak stigma gitu yang muncul.”

 

Tarik-Ulur Kebijakan Pemerintah

Keberadaan kelompok Penghayat Kepercayaan di Indonesia menimbulkan kontroversi di mana pemerintah beberapa kali menetapkan sebuah kebijakan terkait Penghayat dan kemudian mencabut kebijakan itu. Tarik-ulur kebijakan ini dimulai sejak ditetapkannya Pasal 29 yang menyebutkan “kepercayaan” di dalamnya. 

“Pada tahun 1973 mulai ada Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pertama kali disusun dan dimasukkan kepercayaan terhadap Tuhan YME itu sebagai komunitas sistem keyakinan yang banyak penganutnya dan sejajar dengan agama sehingga di GBHN 73 itu ditaruh dalam bidang yang sama, bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME,” kata Engkus.

Tak berlangsung lama, Engkus menambahkan bahwa pada tahun 1978 muncul gugatan-gugatan terhadap bunyi Pasal 29 yang dianggap bahwa Penghayat Kepercayaan tak seharusnya disetarakan dengan agama.

“Tahun 1978 muncul gugatan-gugatan bahwa kepercayaan bukan agama jadi masyarakat tidak boleh kehilangan agama, wajib memeluk agama. Akhirnya ada pemakasanan, penggiringan, Menteri Agama sendiri mengarahakna supaya para penganut kepercayaan untuk kembali ke induk agamanya,“

“Ketua organisasi kepercayaan nasional, yang memang ditaruh oleh Pak Harto, Bapak Sahid Husein menyatakan penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak kehilangam agama yang dianutnya sehingga makin menguatkan Kementerian Agama untuk menggiring ini sehingga disitu terjadi ketidakpastian hukum.” 

Setelahnya, terbit GBHN yang menyebutkan Penghayat Kepercayaan berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), bukan lagi di bawah naungan Kementerian Agama.

“Dari 78 itu muncul dikeluarkan GBHN baru periode 1978-1983 itu dipisah yang tadinya masuk bidang agama kepercayaan nah kepercayaan ini istilahnya tetep sama kepercayaan terhadap Tuhan YME tapi dia masuk ke kebudayaan,”

“Jadi kalau agama-agama dikelola oleh Kementerian Agama, kalau kepercayaan dikelola oleh Kemendikbud,” ucap Engkus terkait perubahan kebijakan.

Pada tahun 1990, penghayat kembali menemui kendala ketika negara melarang adanya pernikahan tanpa melalui agama. Namun, pada tahun 2005 muncul RUU Administrasi Kependudukan yang akhirnya di tahun 2006 negara mengizinkan adanya perkawinan tanpa melewati agama. Perbaikan terus berlanjut hingga pada tahun 2017 terbitlah Putusan MK yang memenuhi tuntutan-tuntutan dari Penghayat pada tahun 2016 terkait ketidakadilan yang diterima. 

“Yang di 2017, kita masukkannya kan di 2016 PNPS ya jadi keluarlah itu perkara No. 97/PUU X IV Tahun 2016 nah itu gugatan ini berhasil semuanya tanpa ada yang dikecualkan,” jelas Engkus.

Putusan MK tahun 2017 ini memberikan dampak positif bagi Penghayat. Engkus menceritakan bahwa Penghayat menjadi dipermudah untuk mengurus proses administrasi.

“Negara mulai memberikan layanan secara lebih merasa punya dasar hukum, mempercepat juga proses layanan pendidikan, mempercepat juga proses layanan-layanan lainnya,” ungkap Engkus.

Hingga kini, Penghayat Kepercayaan masih terus memperjuangkan hak-hak mereka. Meskipun Putusan MK tahun 2017 sudah memberi kemudahan dalam proses administrasi, tetapi masih ada beberapa instansi yang belum mengakui Penghayat. Sebagai contoh, Penghayat Kepercayaan masih kesulitan untuk mendaftar Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan beberapa instansi kementerian.

“Harusnya kalau Menteri Dalam Negeri udah mengakui kan sudah memberikan ruang bahwa identitas di KTP, identitas di KK itu disediakan untuk para Penghayat Kepercayaan. Kenapa kementerian lain tidak mengikuti? Kan dasarnya harusnya Adminduk, makanya aneh kok di tentara gak bisa,”

“Itu problem, jadi masih ada yang harus diperjuangkan lagi saya kira.” ujar Engkus.

Penulis: Salwa Umiatik

Editor: Luthfi Maulana

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.