Pesta demokrasi yang diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024 lalu bertujuan untuk memilih presiden, wakil presiden, dan anggota legislatif.  Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), 55 persen pemilih didominasi oleh Gen Z dan Milenial usia 17-43 tahun. Partisipasi besar dari kalangan mahasiswa menyumbang banyak pandangan segar bagi pemilu tahun ini. Mahasiswa kritis dalam melihat gejolak politik yang terjadi, hingga turut andil dalam pelaksanaannya. Keaktifan kerap terlihat sedari masa kampanye, ketika mahasiswa menyuarakan kegelisahan dan pandangan mereka dalam memilih wakil rakyat, turut menjadi bagian dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), hingga rela memindahkan lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) demi menghindari surat suara kosong.

 

Dianggap sebagai Pemilu yang Lebih Ramai dan Kontroversial

Berbeda dengan periode sebelumnya, tahun ini terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini menimbulkan keberagaman cerita baru dalam dunia perpolitikan. Anggapan bahwa pemilu tahun ini lebih baik dari tahun 2019 disampaikan oleh salah seorang mahasiswa Administrasi Publik angkatan 2023, Nabiih Nashiirah Putri.

“Aku juga kebetulan sempet ngikutin juga pemilu tahun 2019, kalo aku bandingin dengan 2024 itu pemilunya lebih selangkah lebih maju karena pemilu 2019 tuh banyak banget black campaign. Nah, kalo tahun 2024 ini mungkin ada pengaruh juga dari calon-calon yang datang dari background akademika,” jelas Nabiih saat ditemui Tim OPINI pada Selasa (19/3).

 

Pandangan ini sedikit berbeda dengan Rashyageis Amor Tiwa, mahasiswa Ilmu Pemerintahan angkatan 2023. Menurutnya, pemilu tahun ini mengarah pada bias politik.

“Dari pemilu ini aku melihat bahwasanya masyarakat Indonesia masih kental banget sama yang namanya biasme politik. Biasme politik itu ketika misalkan dari awal nih dia emang udah nge-fans sama si A, nge-fans sama si B, dia sampe kapan pun dikasih logika sampe kapan pun dikasih data dia bakalan tetep memilih si A itu, bebal. Padahal, si A belum tentu nguntungin dia gitu,” jelas Rashya saat ditemui Tim OPINI pada Sabtu (16/3).

Sementara dosen Ilmu Pemerintahan, Dzunuwanus Ghulam Manar, berpendapat bahwa pemilu tahun ini dapat melahirkan sisi positif dan negatif. Partisipasi besar dari kalangan pemuda dan media yang digunakan dalam proses kampanye dinilai memiliki nilai yang bertolak belakang.

 “Jadi, ada aspek positif negatifnya, positifnya adalah partisipasi yang cukup signifikan dari kalangan mahasiswa  atau generasi muda, tapi dari aspek negatifnya partisipasi itu muncul karena dorongan melalui media sosial yang justru mungkin tidak dilakukan oleh penyelenggara pemilu, dalam  hal ini bukan KPU, tapi dilakukan oleh kandidat atau partai politik misalnya. Jadi, sudah ada pesan khusus,” ujar Ghulam saat ditemui Tim OPINI pada Selasa (26/3).

 

Perasaan Antusias hingga Prihatin Kerap Dirasakan oleh Mahasiswa dalam Menghadapi Pemilu Pertama

Sebagai mahasiswa yang baru saja mendapatkan hak suara untuk menentukan pemimpin negaranya, sebagian mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menghadapi pemilu dengan sikap acuh dan penuh perhatian. Pemilu bahkan dipandang sebagai momen yang menarik dan ditunggu-tunggu.

Kalo aku personal sih sebenernya aku udah menanti-nantikan ini semenjak aku sebelum 17 tahun. Aku merasa pemilu itu bisa menjadi ajang bagi aku untuk dapat melaksanakan kewajiban aku yang mengamalkan ibadah demokrasi selayaknya,” tutur Nabiih.

Nabiih juga menyampaikan sikap antusiasnya yang didasari oleh rasa prihatin melihat kondisi Pemilu. Baginya, suaranya sangat berarti bagi keputusan siapa pemimpin negeri ini kelak.

“Dari kecil aku ngelihat berita itu kayak kenapa negeri ini tuh banyak banget berita-berita yang mirisnya. Jadi, kayak aku ingin melalui pemilu ini aku bisa berpartisipasi menempatkan orang yang bener-bener berkompeten dan bener-bener  bisa dipercaya sebagai pemimpin yang membawa kemana bangsa ini akan melangkah,” tambah Nabiih.

Keprihatinan dirasakan pula oleh Rashya. Menurutnya, beberapa budaya politik dinilai sudah sangat meresahkan bagi kemajuan bangsa.

“Aku melihat bahwasanya kok pemilu saat ini tuh menunjukkan kualitas-kualitas sumber daya manusia Indonesia sendiri gitu lho. Kayak ngelihat tentang bagaimana suara-suara itu dapat mudah dibeli dengan adanya serangan fajar atau money politic. Banyaknya orang-orang yang ternyata juga ikut kehasut gitu dengan strategi politik itu, itu berarti apa yang salah dengan sistem kita,” jelas Rashya.

Keresahan juga dapat terlihat dari kondisi wilayah tempat tinggal para mahasiswa. Mulai dari kurangnya interaksi masyarakat dengan calon legislatif (caleg) hingga budaya money politic atau “serangan fajar” yang mengakar. Hal  tersebut disampaikan oleh beberapa mahasiswa FISIP.

“Aku lebih menyanyangkan pilegnya nggak begitu intens kayak pilpres, kampanyenya tuh nggak begitu terjun banget,” ujar Nabiih.

 Sementara, keresahan dalam bentuk lain terjadi di salah satu daerah di Tangerang akibat money politic yang dilakukan oleh para caleg. Hal tersebut diungkapkan oleh Rashya.

 “Kebetulan di perumahanku itu ada tiga caleg dari tiga partai yang berbeda dan tiga-tiganya itu menggunakan serangan fajar. Nah, itu jadi omongan tetangga dan malah kayak jadi hal yang lumrah,” ungkap Rashya.

 Kurangnya informasi yang memadai terkait calon pemimpin juga perlu menjadi sorotan. Hal ini dapat dilihat dari laman  kpu.id yang tidak memberikan informasi lengkap terkait caleg.

“Aku kepo kan, kucari semua data caleg dari dapilku di akun  kpu.id dan ternyata si caleg-caleg ini banyak yang riwayat pendidikannya masih strip doang. Pekerjaannya masih strip doang. Jadi, kejelasan ataupun kredibilitas dia untuk menjadi caleg itu masih patut dipertanyakan,” ungkap Rashya.

 

Bijak Memilih Pemimpin Demi Masa Depan yang Lebih Terjamin

Untuk memilih calon pemimpin rakyat, tentunya harus melakukan proses seleksi secara pribadi dengan melihat visi misi pasangan calon yang dianggap mewakili aspirasi. Hal itu diungkapkan Rafi Luvian Natha Rajendra, mahasiswa Administrasi Publik angkatan 2023.

“Aku milih capres sesuai dengan visi misi yang cocok dengan siapa diri aku lima tahun ke depan. Aku juga melihat dari rekam jejaknya dan sebenarnya kalo kita lihat dari debat pun  bisa tau siapa yang harus dipilih gitu,” ujar Rafi saat ditemui Tim OPINI pada Sabtu (16/3).

 Sama halnya dengan yang dikatakan Rashya. Bukan hanya visi misi, melainkan rekam jejak pendukung juga perlu dipertimbangkan.

 “Menurut aku yang sebenernya nggak kalah dari visi misi sih aku ngelihat dari masing-masing timsesnya (tim sukses), tentang backgorund-background pendukung mereka, terus juga aku lihat dari rekam jejak,” tambah Rashya. 

 Ketidakcocokkan visi misi calon pemimpin dengan prinsip pribadi seringkali terjadi. Nabiih memilih melihat karakter kepribadian sebagai pertimbangan yang penting. 

 Kalo aku dilihat dulu sih kalo misalnya pribadinya nggak bagus itu dari segi apa? Apakah dari segi memimpin, apakah secara personal,” tambah Nabiih.  

 Lebih lanjut, Ghulam berpesan agar anak muda tidak terpengaruh oleh iklan dan janji saat menentukan pilihan. Rasionalitas program adalah hal yang perlu dipertanggungjawabkan.

 “Mengajak generasi muda tidak hanya mahasiswa untuk memilih itu berdasarkan rasionalitas. Jangan hanya terpengaruh oleh janji. Jangan hanya terpengaruh oleh iklan atau promosi yang dilakukan berbasis media sosial,” jelas Ghulam.

 

Tak Ingin Siakan Kesempatan Berkontribusi dalam Berpolitik

Semangat dari kalangan mahasiswa untuk berkontribusi dalam pemilu terlihat dari keaktifan dalam menyebarkan informasi terkait referensi media untuk mempelajari latar belakang para calon pemimpin. Usaha yang digencarkan adalah dengan penyebaran informasi di akun media sosial pribadi dan diskusi tukar pendapat.

 “Di second accout Instagram aku, aku sering ngasih kayak tentang nge-repost-repostin. Tapi, repost-ku tuh bukan tentang pendukungan salah satu paslon, tapi lebih ke lewat  media-media independen, kayak tim policy.id, terus bijakmemilih.id, ataupun tentang berita menarik,” ujar Rashya.

 Hal serupa disampaikan oleh Nabiih. Keresahannya menjadi alasan untuk memasifkan informasi terkait Pemilu.

 “Awal-awal aku lebih aktif dalam berkampanye, terutama di sosmed, X (dahulu Twitter), dan menuju akhir-akhir alias masa pencoblosan itu aku mulai menyuarakan juga di WhatsApp. Soalnya kayak semakin hari semakin banyak keresahan aku. Jadi aku lebih memasifkan lagi ke orang-orang terdekat aku,” ujar Nabiih.

Diskusi aktif juga dilakukan oleh para aktivis mahasiswa. Mereka menyuarakan isu-isu terkini menjelang Pemilu.

 Kalo untuk berdiskusi di lingkungan FISIP aku cukup aktif karena sebagai Bidang Sospol juga dan isu aku juga berkait dengan ini, salah satunya tentang bansos akhir-akhir ini dan penyelewengan,” tambah Rafi.

Keaktifan mahasiswa dalam berkontribusi semasa Pemilu juga dilakukan oleh salah satu Ketua KPPS di Ungaran, Muhammad Farros Alkautsar, mahasiswa Administrasi Publik angkatan 2023. Baginya, mendaftarkan diri menjadi anggota KPPS adalah peran nyata dalam gerakan politik.

“Sebagai mahasiswa kita masih termasuk golongan yang muda. Nah, apasih peran yang bisa kita ambil di pemilu? kan kebetulan saya tertarik dengan gerakan perpolitikan Indonesia. Jadi, saya mau coba join perpolitikan awalnya at least dengan join KPPS. Alhamdulillah-nya bisa menjadi ketua,” ujar Farros saat ditemui Tim OPINI pada Sabtu (16/3).

Pengalaman baru dia dapatkan selama menjabat menjadi ketua. Meskipun, terdapat beberapa kendala selama pelaksanaannya.

Pengalaman yang seru dan hectic, atau mungkin agak kacau sih waktu hari pemilihan, banyak masalah terjadi. Tapi, itu suatu keseruan tersendiri yang kami rasakan,” tambah Farros.

 

Trigger Dipolitics Menjadi Ruang Publik yang Memiliki Dua Mata Pisau

(Cuitan seputar pemilu pada akun X @undipmenfes)

Menjelang Pemilu, akun @undipmenfess di sosial media X ramai dengan trigger dipolitics. Trigger dalam X adalah semacam pelatuk atau pemicu yang membuat seseorang membahas suatu topik tertentu. Trigger tersebut menuai banyak argumen mulai dari non-partisan hingga mulai menyudutkan salah satu paslon. Hal ini dapat menimbulkan segi baik dalam diskusi politik sekaligus politik tersembunyi oleh para pendukung atau pun calon. Hal tersebut disampaikan oleh Ghulam.

 “Menurut saya justru menjadi catatan ya, apakah ini kemudian betul-betul non-partisan atau kemudian masuk ke dalam wilayah politik praktis dengan terlibat pendukung atau mungkin tidak mendukung tapi menjelek-jelekkan kan sama toh? Menjelek-jelekkan salah satu kandidat itu juga menurut saya bukan hal yang elegan di dalam politik,” jelas Ghulam.

 Rasya pun menyampaikan kekhawatirannya akan campur tangan buzzer atau orang yang dibayar jasanya untuk mempromosikan atau mengkampanyekan sesuatu.

 “Di dipolitics ini apakah mahasiswa nanti tuh bisa bener-bener bisa berdiskusi secara netral dengan nilai dan logika atau mereka udah disusupi juga sama buzzer-buzzer ini,” ujar Rashya.

 Hal serupa disampaikan oleh Nabiih. Baginya, masyarakat harus menyeleksi secara mandiri perihal argumen yang tersedia di aplikasi X.

 Makanya balik lagi masyarakat Universitas Diponegoro raya ini tuh harus bisa men-scan kira-kira mana nih yang emang itu tuh murni untuk memberikan awareness, mana yang digunakan sebagai provokasi,” jelas Nabiih. (Zalfa)

Penulis: Zalfa Ibtisamah Nursidiq

Editor: Cheryl Lizka Yovita

Redaktur Pelaksana: Tarisha Putri Ramadhanti

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.