Toleransi adalah Keberagaman, Toleransi itu Kita
Serangan pertama terjadi sekitar pukul 01.40 siang waktu New Zealand (15/03/2019), bersamaan dengan rutinitas umat muslim menjalankan ibadah sholat Jum’at berjama’ah di Masjid Al Noor, Chistchurch. Suara nyaring tembakan beruntun dari teras depan, lalu lebih keras lagi menyisir aula tengah masjid, tempat ibadah dilakukan terdengar. Seketika dalam hitungan detik, darah membanjari ruangan suci tersebut beserta halaman luar masjid. Dilansir dari BBC news, Komisaris Polisi New Zealand, Mike Bush menyatakan bahwa jumlah korban meninggal sebanyak 49 orang di lokasi tersebut (1) .
Serangan kedua di hari yang sama, terjadi di Masjid Linwood, berjarak lima kilometer dari Masjid Al Noor, sebelah timur pusat Kota Christchurch. Dalam insiden ini, terdapat dua orang warga negara Indonesia (WNI) asal Sumatera Barat menjadi korban luka – luka yakni seorang ayah berprofesi sebagai seniman dan anak laki – lakinya berusia dua tahun yang mendapat luka tembak di beberapa bagian anggota tubuh pada punggung dan kaki. Berdasarkan data Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, terdapat 331 WNI di Christchurch, termasuk diantaranya 134 mahasiswa yang sedang menempuh studi program sarjana, master dan doktoral di berbagai universitas New Zealand (2).
Siapapun yang mendengar berita tersebut ditambah dengan dua orang WNI menjadi korban serangan di dalamnya, tentu merasa pilu dan sekaligus bertanya – tanya, apakah insiden nahas ini akan terjadi lagi? Bahkan sekalipun di tempat atau wilayah yang diklaim oleh salah satu lembaga Ekonomi dan Perdamaian, Global Peace Index pada tahun 2018 sebagai negara teraman nomor dua di dunia. Apakah peristiwa tersebut membuktikan rasa toleransi di antara umat berkeyakinan kian sirna? apakah tenggang rasa perlahan terkikis di hati nurani insan ciptaan Tuhan?
Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, Doorn (2012), terdapat prasyarat dan kondisi dimana toleransi dapat eksis/ada. Pertama, harus ada kondisi ketidaksetujuan, ketidaksukaan. Toleransi mensyaratkan adanya oposisi, ketidaksetujuan dan keberatan dari satu pihak ke pihak yang lain. Kedua, toleransi mengacu pada ketidaksetujuan, ketidaksukaan yang sifatnya penting bagi orang (3). Bila seseorang tidak menganggap penting suatu perbedaan, maka mereka tidak peduli dengan perbedaan tersebut. Mendalami level tingkat toleransi individu, menurut Khitruk & Ulianova (2012), tingkat toleransi rendah mengindikasikan individu memiliki trait yang intoleran dan mengekspresikannya terhadap orang lain dan lingkungan sekitar; tidak mampu menerima sudut pandang, opini, dan gagasan yang berbeda serta mengekspresikan pandangan yang hauvinism. Tingkat toleransi sedang mencerminkan kombinasi trait yang toleran dan intoleran dalam diri individu, tergantung pada situasi yang dihadapi (orang dengan toleransi sedang menunjukkan toleran di situasi tertentu, namun tidak toleran di situasi yang lain. Tingkat toleransi tinggi menunjukkan trait toleransi dan tindakan diekspresikan secara jelas, toleran terhadap orang lain yang berbeda dan memilki keyakinan yang berbeda, empati serta
simpati (4). Penambahan aspek budaya di dalam faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi toleransi ini sejalan dengan kutipan Doorn (2012), yang mana bahwa konteks sosial – budaya harus dipertimbangkan dalam mengoperasionalkan konstruk toleransi (5). Secara garis besar, toleransi bukan hanya soal – menyoal ketika mendapati seseorang yang memiliki kepercayaan lain menyilahkan atau memberikan ruang bagi seseorang yang memiliki kepercayaan yang lainnya melakukan kegiatan yang diyakini kegiatan tersebut memberikan kedamaiaan, ketentraman dan ketenangan jiwa. Aspek yang meliputi toleransi dapat dikatakan cukup kompleks. Hal ini bisa dilihat dengan skala yang lebih luas, mulai dari pengalaman pribadi individu, latar belakang pendidikan individu, tingkat kesempurnaan atas sosialisasi lembaga keluarga individu, budaya yang dilestarikan oleh generasi pendahulu individu, masa transisi keadaan lingkungan yang mengepung individu, hingga peraturan – peraturan yang dianggap tumpang tindih terkait dengan keterbatasan akan pengakuan unsur identitas primordial terhadap hak individu untuk bisa berkembang dan beraktualisasi.
Modal utama untuk seseorang bisa diterima di suatu lingkungan adalah dengan mempelajari dan memahami kebiasaan masyarakat sekitar. Hal ini sebagai penilaian sekaligus menjadi masa orientasi bagi individu tersebut ketika tengah memasuki wilayah yang masih relatif asing baginya untuk dapat diterima dengan utuh sebagai makhluk sosial. Terdapat disini setidaknya dua pihak, pihak yang pertama adalah komunikator yang menyampaikan sebuah pesan yang tak lain adalah kebiasaan yang dilakukan di suatu tempat dengan menambahkan aspek – aspek keadaan lingkungan yang mengelilingi keduanya. Sedangkan pihak yang kedua adalah komunikan yang menerima seluruh konteks dari makna pesan yang disampaikan oleh individu yang disebut sebagai pihak pertama atau komunikator. Peristiwa ini bisa terjadi pada keadaan sebaliknya, bukan hanya penetap kepada pendatang saja melainkan juga pendatang kepada penetap. Peran komunikator dan komunikan dapat dengan mudah dipindahperankan kepada siapa saja individu yang sedang berinteraksi. Ketika sosialisasi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan dapat dikategorikan sebagai sosialisasi yang sempurna, artinya makna dari seluruh pesan yang disampaikan telah diserap dengan utuh oleh komunikan, maka secara dengan alamiahnya akan tercipta harmonisasi budaya (kebiasaan) diantara kedua individu tersebut karena tindakan menerima keberadaan atas faktor – faktor yang menjadi penentu perbedaan diantara keduanya telah diakui dan disadari secara terbuka oleh masing – masing individu. Pada peristiwa inilah fondasi toleransi yang sebenarnya sedang dibangun dengan sangat kokoh agar mebuahpikirkan suatu keberdampingan hidup yang selaras di tengah – tengah perbedaan yang memeluk.
Menitikberatkan pada harmonisasi budaya, jika ruang atas unsur – unsur identitas primordial dimanfaatkan di bawah kendali kewajaran norma – norma yang telah dijamin kebebasan haknya dimanapun individu berada sebagaimana mestinya oleh masyarakat sekitar dan pihak – pihak otoritas terkait, diyakini akan memiliki efek eksplorasi yang signifikan bagi individu untuk tetap berkembang. Dengan adanya peristiwa harmonisasi budaya yang masih berlangsung di tengah hiruk-pikuk keberagaman nusantara di Indonesia, toleransi dirasa masih terlihat cukup jelas untuk
diakui eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai kesatuan yang menjejak lekat di tanah Ibu Pertiwi.
(1) BBC News. (2019, Maret). ‘Serangan teror’ di dua masjid Selandia Baru: Seorang WNI meninggal dunia’ diakses 04.50 WIB
(2) BBC News. (2019, Maret). Kronologi dan pemetaan aksi penembakan jemaah dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Diakses 04.52 WIB
(3) Doorn, M.V. (2012). Tolerance. Sociopedia.isa. 1-15. DOI:10.1177/205684601 2121.1.
(4) KhitrukV.V. & Ulianova, O.A. (2012). Inclusive Tolerance As A Basis Of Professional Competence Of Prospective Teachers. Problems Of Psychology In The 21st Century, Vol. 43: 21 – 32.
(5) Doorn, M.V. (2012). Tolerance. Sociopedia.isa. 1-15. DOI:10.1177/20568460 12121.1. (Additional Literature) International Proceeding. Memahami dan Mengukur Toleransi dari Perspektif
Psikologi Sosial. Supriyanto. PSIKOISLAMIKA VOL 15.
(Artikel ini ditulis oleh Erythrina Orie Rahma sebagai pemenang harapan 2 dalam kompetisi Journation 1.0)