Uji Publik Calon Kabem-Wakabem: Meninjau Gagasan Paslon Tunggal terhadap Isu-Isu Krusial

Beranjak dari kampanye lisan yang dilaksanakan pada Jumat (29/11), calon Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) melanjutkan langkah kontestasi melalui uji publik yang diadakan pada Senin (02/12) di Auditorium FISIP Undip. Acara yang ditujukan sebagai ruang kritis antara pasangan calon (paslon) dan mahasiswa ini turut dihadiri oleh empat panelis, yakni Wakil Dekan I FISIP Undip, Dosen Administrasi Publik, Ketua BEM FISIP Undip 2024, serta Ketua Senat Mahasiswa FISIP Undip 2024. 

 

Genderang Pembebasan, Kabinet Baru Penggerak Mahasiswa

Selepas pembukaan, kegiatan diawali dengan pemaparan Grand Design Organization (GDO) oleh paslon Ketua BEM (Kabem) dan Wakil Ketua BEM (Wakabem) nomor urut 1, Satria Fawaz-Ahmad Yafi. Melalui GDO tersebut, mereka memperkenalkan Genderang Pembebasan sebagai nama kabinet yang akan dibawakan tahun depan beserta visinya, yakni transformasi BEM FISIP sebagai penggerak mahasiswa untuk menghadapi tantangan di tahun 2025. 

Menanggapi GDO paslon, terdapat sesi tanya jawab terbuka oleh panelis dan audiens yang hendak mengkritisi gagasan paslon. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh salah satu mahasiswa Ilmu Pemerintahan 2022, Ega, yang menanyakan terkait sistem keuangan yang disebut dalam poin A terkait analisis kondisi eksternal BEM FISIP Undip. 

“Soal kondisi eksternal, di bagian ekonomi terutama pasal poin A, menurut kalian berdua apa yang ingin Anda ubah dari sistem ini dan bagaimana caranya? Karena yang Anda mention adalah Peraturan Rektor,” ungkapnya.

Tak hanya berhenti di poin A, ia mengkritisi pula terkait poin E tentang program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) yang dirasa belum memiliki dasar yang jelas. 

“Soal dalam legal, pada poin E, kebijakan setempat serta IISMA. Satu, (tentang permasalahan) program IISMA ini Anda dasarnya dari mana? Apakah ada perbandingan bahwa pelaksanaannya berbeda? Data mana yang Anda pakai?” tanya Ega. 

Menjawab hal ini, Satria-Yafi mengatakan bahwa mengubah sistem keuangan yang sudah ada bukanlah tujuan mereka. Pengotakan arus keuangan setiap program kerja BEM FISIP Undip akan menjadi fokus tujuan mereka, berikut pula permintaan atas alur cash flow yang jelas untuk mahasiswa International Undergraduate Program (IUP) dan IISMA. 

“Kami melihat hal ini dalam sistem keuangan yang kami bawakan, (akan) mengkotakkan tiap program kerja pengeluarannya bagaimana lewat sistematika kas BEM. Tidak sama sekali mengubah sistemnya, tapi diharapkan ada alur cash flow yang jelas terkait IUP-IUP dan juga IISMA,” terangnya. 

 

Mosi Uji Publik: Bawa Isu Kekerasan Seksual, Pembatasan Kegiatan Mahasiswa, Pergerakan Mahasiswa, hingga Iklim Prestatif

Beralih dari pemaparan dan tanya jawab GDO, paslon Kabem-Wakabem diarahkan untuk memberikan tanggapan mengenai empat mosi yang telah disiapkan dengan model diskusi terbuka dengan panelis dan audiens. Mosi pertama diskusi terbuka menyinggung permasalahan kekerasan seksual (KS) berkaitan dengan mekanisme kolaborasi yang akan dilakukan antara BEM dan pihak fakultas dalam menyelesaikan isu KS di kampus.

Mengutip kembali program unggulan mereka, Satria menawarkan Rumah Kita sebagai mekanisme kolaborasi tersebut. 

“Nah, di sini Rumah Kita sebagai wadah pengaduan mahasiswa kepada BEM FISIP sambil menjalin hubungan dengan himpunan (setiap jurusan). (Tugasnya nanti) mewadahi pelaporan dan menjalin alur komunikasi yang baik dengan FISIP Wellness Unit (FWU),” jelasnya. 

Tak hanya soal mekanisme, cara BEM membangun kepercayaan mahasiswa dalam menangani kasus KS juga menjadi problematika, mengingat kasus KS terdahulu yang pelakunya berasal dari kalangan anggota BEM. Sebagai tambahan, Ketua BEM FISIP Undip 2024, Muhammad Razan Alif Siregar mempertanyakan fungsi nyata BEM dalam memastikan adanya keadilan hukum terhadap korban. 

Terkait dua poin kritik tersebut, Satria berpendapat bahwa proses reshuffle dan rebranding tim pengaduan dapat menjadi salah satu upaya BEM untuk kembali merebut kepercayaan mahasiswa. Ia juga menyampaikan bahwa mengawal kasus tetap menjadi tugas utama BEM dan himpunan setiap jurusan berkenaan dengan isu KS. 

“(Untuk membangun kepercayaan) itu bisa reshuffle, branding ulang. Tugas kita (BEM) mengawal, memfasilitasi, ending-nya aparat yang menyelesaikan. Kolaborasi dengan himpunan juga harus disepakati bersama agar alur koordinasi bisa berjalan dengan baik,” tutur Satria.

Selesai dengan mosi pertama, mosi kedua yang dibacakan oleh Ketua Senat Mahasiswa FISIP Undip, Caren Gilbert Edward Mintalangi berbicara tentang regulasi pembatasan kegiatan mahasiswa. 

“Coba jelaskan terkait peraturan dan regulasi batasan program kerja di luar kampus, apakah sudah efektif dan bagaimana menangani regulasi tersebut yang mungkin banyak kurangnya atau ruginya bagi pihak ormawa (organisasi mahasiswa),” ujarnya. 

Kegiatan mahasiswa yang terkena regulasi pembatasan sendiri ialah kegiatan-kegiatan mahasiswa yang berlokasi di luar kampus, seperti misalnya pelaksanaan program kerja ormawa dan malam keakraban (makrab). Melihat bagaimana pembatasan ini merupakan tindakan preventif kampus terhadap masalah yang mungkin terjadi apabila kegiatan dilakukan tanpa pengawasan internal kampus, Satria-Yafi mengusulkan agar dibentuk tim pengawas. 

“Pembatasan ini hadir sebagai bentuk pencegahan masalah. (Dampaknya), kegiatan mahasiswa yang berfokus terhadap pengembangan mahasiswa dapat berkurang karena ada regulasi ini. Bentuk realisasinya, nanti di tiap program kerja di jam luar yang kami fokuskan adalah ada tim pengawas kegiatan sehingga dapat terjamin amannya dan kegiatan ini dapat diizinkan,” terang Satria. 

Yafi pula menyampaikan tentang pentingnya edukasi kepada tim pengawas berkaitan dengan prosedur dan pengelolaan kegiatan. 

“(Tim) harus teredukasi dan kolaborasinya harus baik. Tentunya kita tidak menjadi berdiri sendirian, butuh kesiapan dari teman-teman dalam upaya memberi edukasi terkait penanganan hal tersebut agar birokrat pada intinya melihat kesiapan dan kesanggupan kita (dalam mengelola kegiatan di luar),” tambah Yafi.

Wakil Dekan I FISIP Undip, Rouli Manalu turut memberikan penjelasan mengenai dasar pemberlakuan Surat Edaran Rektor tentang pembatasan kegiatan mahasiswa. Menurutnya, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana kepercayaan pihak fakultas terhadap mahasiswa dapat dibangun, terutama melalui perwakilan BEM. 

“Sebenarnya semua kegiatan menginap itu butuh mutual trust antara dekanat atau institusi dengan mahasiswa. Kenapa nggak diizinkan? Ada tindakan-tindakan mahasiswa senior yang menghasut maba (mahasiswa baru) ditambah dengan kasus KS. Itu menjadi dasar bagi kita. Tindakan kalian yang memunculkan kebijakan. Jadi, you betray that trust. Selanjutnya, bagaimana kepengurusan baru bisa menunjukkan transparansi, tanggung jawab, dan memunculkan trust (itu)?” urai Rouli.

Mengenai hal ini, Satria menyatakan kerjasama mahasiswa dengan birokrat menjadi kunci, terutama dari mahasiswa agar dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh pihak universitas maupun fakultas. 

“Itu akan mengacu pada apa yang menjadi keterbutuhan mahasiswa, serta apa yang diinginkan dan yang dicita-citakan oleh universitas maupun fakultas. Itu yang kami lakukan ketika menganalisis sisi kebutuhan dan sisi keorganisasian sehingga apa yang diciptakan dapat linier dan selaras,” sebutnya.

Melanjutkan jawaban Satria, Yafi menerangkan prosedur standar anggota tim pengawas beserta rencana mitigasi risiko akan disusun demi membangun kembali kepercayaan fakultas terhadap kegiatan mahasiswa. 

“(Untuk tim pengawas) ada standar kompetensi yang harus dimiliki oleh calon anggota sehingga tercipta keselarasan. Ada hal baik untuk fakultas dan mahasiswa mendapatkan apa yang diinginkan. Prosedur akan dibuat dengan SOP dan AD/ART sebagai landasan hukum untuk menangani hal-hal yang mungkin terjadi. Bagaimana penanganan risiko, birokrat bisa ngasih saran. Itu yang akan kami lakukan untuk memunculkan trust,” ucap Yafi. 

Beralih pada mosi ketiga mengenai pergerakan mahasiswa, Razan memberikan pertanyaan mengenai lima isu sosial dan politik di Jawa Tengah yang akan menjadi fokus BEM FISIP Undip untuk satu tahun ke depan. 

Menanggapi pertanyaan ini, Satria menyebutkan, “Pertama, di dalam Rawa Pening ada urgensinya mengenai hak tanah, (dan masalah) lingkungan antara masyarakat dengan pemerintah. Kedua, penembakan Gamma oleh polisi, urgensinya adalah bagaimana aparat menyalahgunakan fasilitas dalam proses penegakan hukum di Semarang. Ketiga, tata kelola perkotaan sentralisasi Tembalang. Keempat, konflik tanah masyarakat Pundenrejo dan PT LPI (Laju Perdana Indah). Dan kelima, banjir.” 

Namun, jawaban ini justru menimbulkan buah pertanyaan baru mengenai strategi penyelesaian isu-isu tersebut. Menurut Razan, paslon belum menjelaskan eskalasi isu secara spesifik yang berkaitan dengan tindakan BEM FISIP Undip nantinya. 

“Yakin nggak kalian bahwasannya lima permasalahan ini bisa terselesaikan? Langkahnya bagaimana? Kalian ngasih banyak isu, tapi ketika kalian berbicara mengenai pengawalan isu, itu goals-nya apa? Sudah berpikir belum strategi apa yang mau dilakukan? Sebagai BEM FISIP Undip bisa apa?” tanya Razan. 

Komentar senada juga dilontarkan oleh Rouli yang menilai pemilihan isu yang disebutkan oleh paslon tidak ‘membumi’ dan cenderung terlalu tinggi untuk dilakukan mahasiswa. 

“Satu, respons kalian itu tidak membumi, mengawang-awang. Kalau kamu mau mengajak mahasiswa untuk mengatasi masalah, cari isu yang scale-nya sesuai, sehingga kalian bisa memberikan dampak. Temukan persoalan yang kalian bisa melakukan sesuatu. Misal Undip Bermanfaat dan Bermartabat ada program pengobatan di Pantura, kalian bisa bergerak di situ, aksinya nyata. Itu tadi yang kalian sebutkan tidak ada (aksi nyatanya).  Kedua, kalian tidak bisa mengenali scale kalian. Lima isu tadi aksi nyata kalian nggak jelas. Mengenali saja gagal, bagaimana mau berstrategi,” ujar Rouli. 

Terakhir, mosi diskusi terbuka dibawakan oleh Rouli yang berfokus pada relevansi kegiatan BEM terhadap mahasiswa. Rouli berpandangan di zaman sekarang, organisasi bukan lagi fokus utama mahasiswa sehingga menyebabkan kurangnya partisipasi dalam lingkup kegiatan organisasi. 

“Persoalannya adalah, bagaimana mengenali culture yang sudah berbeda kemudian menciptakan satu program yang bisa menjawab keresahan setiap generasi. Bagaimana caranya membuat BEM dan ormawa relevan bagi mahasiswa? Bagaimana mereka punya rasa ownership (belonging), sesuatu yang harus saya ikuti dan berkontribusi di dalamnya (BEM)?” tanya Rouli. 

Menjawab pertanyaan Rouli, Satria menekankan relevansi BEM dapat dicapai melalui analisis survei. Analisis survei yang dimaksud berupa kumpulan minat dan kebutuhan mahasiswa sebagai panduan pembentukan program kerja BEM ke depannya.

“Kami melihat bahwa proses pemberian relevansi ini dapat dilakukan lewat program kerja (BEM). Dalam memutuskan program kerja ini kami memiliki sistem, jadi nanti akan disurvei terlebih dahulu apa yang menjadi keluhan, keinginan, maupun harapan dari mahasiswa. Agar nanti program kerja yang ada bisa disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa, agar bisa lebih fun, sehingga mahasiswa menganggapnya relevan,” sebut Satria.

Selanjutnya, topik pembahasaan mengarah kepada iklim prestatif di FISIP. Mengenai hal ini, Razan mengatakan BEM perlu melakukan pemetaan terhadap wadah dan mahasiswa yang berpotensi dalam menghasilkan prestasi. 

“Petakan wadah yang berpotensi membangun iklim prestatif. Prestasi bukan hanya PKM (Program Kreativitas Mahasiswa), kalau komunikasi juga (bisa) menang film, anak bisnis bisa bikin usaha. Bagaimana pemetaannya? (Dengan) database prestasi yang ada di perkuliahan. Orang ini di mana aja berprestasinya, sehingga demikian kita bisa memetakan dengan track record, baru setelah itu kita bisa memfasilitasi dengan hal yang lebih baik,” terangnya.

Sebagai penutup sesi diskusi terbuka, Rouli memberi petuah agar BEM dapat meningkatkan kualitas database prestasi yang ada dengan mempertimbangkan variasi prestasi yang dimiliki mahasiswa FISIP. Dengan demikian, BEM dapat menyediakan sumber daya yang tepat demi terbentuknya lingkungan berprestasi yang baik. 

“Saya sepakat dengan Razan. Kalau kita punya informasi, kalian bisa mendorong mahasiswa. Jangan mahasiswa tau sendiri, serba sendiri, (lantas) BEM ngapain? Kalian harus punya database yang cocok dengan segmentasi-segmentasi mahasiswa tertentu, (misal) melalui Puspresnas (Pusat Prestasi Nasional). Jangan hanya memberi wadah pusat prestasi, tapi sediakan sumber dayanya (juga),” tuturnya. 

Tidak cukup berdebat tentang mosi-mosi pilihan saja, acara dilanjutkan dengan sesi mimbar bebas bagi audiens yang ingin bertanya di luar topik mosi. Salah satu dari pertanyaan yang diajukan bersinggungan dengan topik mengenai fungsi Mas dan Mbak FISIP bagi fakultas dan mahasiswa. 

“Bagaimana arah kalian memahami Mas Mbak FISIP? Apakah Mas Mbak FISIP akan menjadi perwajahan FISIP itu sendiri atau dibatasi oleh pihak lain? Kemudian, ketika Mas Mbak FISIP menjadi brand ambassador, bagaimana FISIP bersudut pandang supaya apa yang menjadi nilai dari FISIP itu bisa ditonjolkan?” tanya Mbak FISIP 2024, Annisa Paramitha. 

Satria-Yafi setuju bahwa nilai khas dari FISIP terbilang masih rancu. Meski begitu, mereka berpendapat bahwa perspektif sosial dan politik yang dimiliki mahasiswa FISIP dapat dijadikan dasar dari kebudayaan FISIP. 

“Berdasarkan analisis kami memang budaya FISIP ini masih menjadi perdebatan. Secara kebudayaan, dari sudut pandang ilmu sosial dan ilmu politik itulah yang menjadi ciri khas budaya yang ada di FISIP. Contoh simple membangun budaya FISIP adalah budaya diskusi yang bisa menjadikan pikiran kita bertumbuh kritis,” 

Terkait pembatasan Mas dan Mbak FISIP sebagai perwajahan fakultas, Satria mengaku memang hal tersebut masih dibatasi oleh divisi Seni, Budaya, dan Olahraga (Soraya) BEM FISIP Undip. Namun, batasan-batasan ini akan segera dibenahi.

“Untuk Mas Mbak FISIP, kita tidak bisa mengerjakan proker-proker yang kiranya berbenturan dengan proker yang sudah ada di BEM itu sendiri. Tentunya nantinya tidak akan ada pembatasan-pembatasan seperti itu. Kita akan melihat bidang-bidang mana yang bisa dikolaborasikan supaya bisa mengembangkan diri bersama,” jelas Satria.

 

Raih Animo Tinggi: Pertanda Suksesnya Uji Publik?

Sempat diundur dari waktu yang ditentukan, Ketua Komisi Penyelenggara Pemilihan Raya (KPPR), Agheea Geelwana Alwala mengatakan hal ini disengaja sebab acara tidak bisa dilaksanakan tanpa memenuhi kuorum. 

Sebenarnya, rencananya itu mundur sejam, karena pertimbanganku jam 8 itu full kosong. Jadi, karena kita lihat masih ada waktu dan tidak terlalu bertabrakan pula dengan Pemira Ilpem (ilmu pemerintahan), jadi akhirnya kuputuskan untuk (waktunya) mundur saja. Apalagi seluruh rangkaian uji publik itu sangat bergantung pada audiens, karena kan memang hanya satu paslon ya, jadi nanti argumen dia akan dibalas sama audiens yang hadir,” ujarnya. 

Sebelumnya, rangkaian acara uji publik ini dicanangkan untuk berbentuk debat antarpaslon, akan tetapi, melihat kondisi paslon yang hanya satu, format acara diubah menjadi forum diskusi terbuka oleh paslon, panelis, dan audiens yang ada. Agheea pula menilai adanya partisipasi audiens membantu dalam menjaring suara-suara mahasiswa FISIP.

“Fungsinya dengan debat pasti sama ya, yakni mengoreksi satu sama lain dan mengkritisi gagasan even pandangan-pandangan mereka terhadap suatu mosi ataupun permasalahan. Aktor atau pihaknya aja yang beda. Justru menurutku uji publik ini sebenarnya salah satu aktivitas yang cukup bisa menyerap aspirasi-aspirasi mahasiswa FISIP, salah satu contohnya ada dari Mbak FISIP, di mana dia kebingungan kan, sebenarnya posisi Mbak FISIP ini sebagai apa dan lain sebagainya,” jelasnya. 

Kendati tidak menerapkan sistem debat seperti tahun lalu, Agheea mengaku terkejut dengan tingginya antusiasme mahasiswa yang mendatangi uji publik melihat yang berkontestasi hanya satu paslon saja. 

“Jujur, di luar rencana banget ya karena ternyata audiens yang datang itu rame yang di mana perkiraanku paling bangkunya hanya diisi setengah. Hari ini full, tapi emang nggak sampai akhir. Cuman di tengah-tengah tadi sempat full, terus juga ternyata lingkup mengkritisi nyala banget. Walaupun saat mengkritisi GDO belum ada orang, tapi ternyata saat di mosi benar-benar jalan. Jadi, memang lebih banyak lah dari ekspektasiku. Di mana juga tahun lalu yang datang hanya setengah, jadi memang targetku di awal, palingan setengah ada,” paparnya. 

Terkait tiga topik mosi pertama, Agheea menerangkan isu yang dibawa disusun berdasarkan analisis KPPR terkait kinerja BEM FISIP Undip selama satu periode. Hal ini terkecuali untuk mosi terakhir mengenai iklim prestatif yang ditanyakan langsung oleh Wakil Dekan I FISIP Undip. 

“Jadi, dasar dari penyusunan mosi itu sebenarnya merupakan analisis dari KPPR, apa aja yang menjadi masalah di BEM FISIP tahun ini, sebelum disimpulkan menjadi tiga mosi yang barusan diujikan ke paslon tersebut. Namun, untuk Bu Uli sendiri, beliau dengan sendirinya menghubungi aku bahwa dia keberatan kalau dibatasi hanya dengan satu topik saja. Jadi beliau meminta agar dirinya bisa bebas menanyakan apa saja, sesuai dengan kebutuhan akademik, pun kebutuhan mahasiswa,” terangnya. 

Terakhir, Agheea beropini bahwa untuk ke depannya tata tertib uji publik dapat diperbaiki agar lebih kondusif. Khususnya untuk mempersiapkan kemungkinan adanya satu paslon lawan kotak kosong terulang di tahun berikutnya. 

“Jadi apa yang bisa dikembangin untuk tahun depan itu kemungkinan tata tertib kalau memang mengalami situasi yang sama, (yakni) yang maju hanya satu paslon. Karena memang lumayan kencang ya tadi tiupan (kritikannya) satu sama lain, jadi itu membuat agak nggak kondusif untuk sebuah forum uji publik. Karena ya memang ekspektasiku nggak seramai tadi. Jadi, itu bahan evaluasi yang bagus untuk tahun depan,” pungkasnya. 

 

Reporter: Aulia Retno, Dafan Mahendra, Kayla Scientia, Natalia Ginting 

Penulis: Kayla Fauziah 

Editor: Aulia Retno, Natalia Ginting 

Pemimpin Redaksi: Natalia Ginting 

Desain: Aprilia Shintia

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.