Seperti yang sedang terjadi sekarang, berbagai penjuru dunia nampaknya sedang mendapatkan musibah berupa pandemi global yang bernama Corona Virus Disease atau Covid-19. Manusia di bumi ini seakan-akan mendapat perintah untuk beristirahat sejenak menghentikan segala rutinitas yang biasa dilakukan. Sekian waktu ketika Cina, negara pertama yang menemukan virus tersebut, tidak lama kemudian negara lain seperti Italia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan negara-negara lainnya mengumumkan telah terdapat kasus Covid-19. Bahkan Italia sempat menggantikan Cina sebagai posisi pertama pasien positif terbanyak di dunia dengan persentase kematian tertinggi dibanding negara lain yang sekarang telah diganti oleh Amerika dengan jumlah kasus. Hal ini tentu ditanggapi serius oleh pemerintah setempat. Berbagai kebijakan dikeluarkan. Cina misalnya, ditetapkannya lockdown setelah 2 (dua) minggu dari kasus diumumkan dan jumlahnya semakin meningkat, memperketat protokol kesehatan, menutup akses internasional baik jalur darat, laut, maupun udara, membangun rumah sakit darurat khusus pasien Covid-19 yang memilik ratusan hingga ribuan kamar hanya dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari, dan lain-lain. Kebijakan lockdown juga dipilih oleh Italia dan lainnya.

Bumi Sempat Membaik

Penjelasan ringkas di atas memberikan kita sedikit gambaran untuk mengingat kembali bagaimana dunia yang dipenuhi dengan manusia telah berubah dalam sekejap waktu karena satu makhluk kecil bernama virus. Namun, siapa sangka jika adanya lockdown atau karantina yang membuat orang-orang berdiam diri ini justru memberi dampak positif bagi bumi kita. Sebelumnya, Lapisan ozon telah menipis sejak tahun 1970-an yang tidak lain penyebabnya ialah pemanasan global akibat aktivitas manusia. Lapisan ozon merupakan perisai pelindung bumi yang berada di stratosfer, fungsinya untuk menyerap radiasi ultraviolet yang dipancarkan dari Matahari.

Hal ini diketahui berdasarkan data dari pengamatan satelit dan simulasi iklim, terkait temperatur atmosfer, cuaca dan tingkat curah hujan. Dalam studinya, peneliti dari Universitas Colorado Boulder, Antara Banerjee, menjelaskan tentang sirkulasi aliran udara (jet stream) yang terjadi pada garis lintang di belahan selatan bumi secara bertahap bergeser ke Kutub Selatan. Hal itu terjadi karena penipisan lapisan ozon secara global. 

Menurut Banerjee, bila hal ini berlangsung secara stabil, ada kemungkinan di masa depan lapisan ozon akan kembali pulih sepenuhnya, seperti pada dekade terakhir abad ke-20. Berita tersebut merupakan kabar baik untuk dijadikan energi positif ditengah meredamnya semangat karena adanya Covid-19. Seakan kembali diingatkan oleh sebuah virus bahwa bumi saat ini sudah tua dan akan semakin memburuk serta tidak layak untuk dijadikan tempat tinggal manusia. Kita tentu perlu mengambil tindakan nyata agar dapat memulihkan kembali bumi untuk keberlangsungan makhluk hidup dan generasi kita mendatang. Karena, seperti yang kita tahu bahwa jika Ozon semakin menipis maka ia tidak dapat melindungi bumi dari sinar Ultraviolet yang menyebabkan kanker kulit, masalah kesehatan mata, dan kerusakan tanaman.

Satwa Merana di Tengah Ancaman Wabah Covid-19

Keberlangsungan hidup satwa-satwa yang berada di kebun binatang cukup memprihatinkan. Pasalnya, mereka tidak menerima kunjungan sejak 23 Maret 2020, sebagaimana aturan untuk berjaga jarak mulai diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Padahal, dana kunjungan seperti tiket masuk pengunjung merupakan pemasukan utama untuk biaya operasional kebun binatang yang ada di Indonesia. 

Berdasarkan survei Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia (PKBSI) terhadap 60 anggotanya, lebih dari 90% kebun binatang di Indonesia tidak mampu bertahan memberi makan satwa lebih dari satu bulan. Sedangkan hanya sekitar 5% yang mampu menyediakan pakan hingga tiga bulan. Sisanya bisa lebih dari itu. Beberapa kebun binatang seperti Medan Zoo yang berlokasi di Kelurahan Simalingkar dan Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoological Garden (Bazoga) bahkan sudah memasuki kondisi yang kritis. 

Kebijakan-kebijakan yang cukup ekstrim seperti mengorbankan hewan herbivora (pemakan tumbuhan) sebagai pakan hewan karnivora (pemakan daging) bahkan akan diberlakukan apabila kondisi seperti ini terus-menerus terjadi. Mereka menekan dana secara besar-besaran agar satwa-satwa yang berada di sana setidaknya dapat bertahan hidup meskipun terancam kelaparan karena harus diet dan/atau puasa serta tidak memperoleh layanan perawatan seperti yang biasa dilakukan. 

Adapun beberapa kebijakan yang dilakukan kebun binatang dalam upaya mempertahankan hidup satwanya, antara lain: memberikan pakan sebanyak 2 hari sekali (sehari puasa, sehari makan), mensubtitusi daging sapi dengan daging alternatif lainnya yang lebih murah seperti daging ayam, mengganti daging impor dengan daging lokal, serta memanfaatkan pohon-pohon sekitar seperti pohon bambu yang ada disekitar wilayah kebun binatang sebagai pakan alternatif hewan herbivora.

Bukan hanya menekan dana untuk biaya pakan dan perawatan, pengelola kebun binatang pun turut mengurangi gaji dan jam kerja karyawan yang nantinya akan dialokasikan untuk pakan koleksi satwa yang ada di sana. Bahkan beberapa karyawan pun ada yang dirumahkan. Namun, hal ini pun belum cukup sebab pakan hewan khususnya untuk hewan karnivora sangat besar jumlahnya yakni bisa mencapai Rp 3.000.000,00/hari. 

Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem KLHK Wiratno mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga konservasi, termasuk kebun binatang, di masa pandemik ini. Bantuan akan diprioritaskan untuk pemenuhan pakan dan obat-obatan, terutama untuk satwa karnivora. Pada tanggal 23 April 2020, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan untuk meminta keringanan bahkan peniadaan pajak bagi lembaga-lembaga konservasi yang secara langsung terkena dampak wabah ini.

Sampah Masih Menjadi Kekhawatiran 

Selama pandemi, segala kegiatan dimaksimalkan untuk beradaptasi menggunakan sistem daring. Pekerjaan kantor, sekolah, kuliah, dan jual beli. Dengan transisi menuju serba daring, jual beli melalui e-commerce mengalami kenaikan permintaan. Beberapa layanan komersial mulai mengembangkan sistem pelayanan daring demi mempertahankan bisnis, sedangkan konsumen menggunakan layanan daring sebagai bentuk tindakan pembatasan sosial. Barang-barang yang dijual melalui e-commerce memiliki lapisan pelindung yang digunakkan untuk menjaga keutuhan barang selama pengiriman menuju alamat penerima. Begitu juga dengan layanan delivery makanan. Salah satu lapisan pelindung yang banyak digunakan berbahan plastik. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kenaikan sampah plastik selama pandemic. Menurut hasil studi oleh Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, terjadi peningkatan belanja online mayoritas warga Jabodetabek, yang sebelumnya sebanyak 1-5 kali belanja online, meningkat menjadi 1-10 kali tiap bulan selama PSBB/WFH. Dengan paket yang dibungkus dengan plastik yang tebal dan ditambah dengan bubble wrap, tidak mengherankan jika selotip, bungkus plastik, dan bubble wrap merupakan pembungkus berbahan plastik yang paling sering ditemukan. Keadaan seperti inilah yang menimbulkan kekhawatiran akan terus melonjaknya polusi sampah plastik beberapa tahun ke depan jika tidak diambil tindakan intensif untuk menekan angka polusi sampah plastik.

Tidak hanya sampah plastik, sampah medis juga menjadi jenis sampah yang mengalami peningkatan jumlah. Situasi pandemi saat ini mengharuskan para tenaga medis untuk menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) selama proses penanganan pasien, dan masker wajah bagi masyarakat yang berkegiatan di luar rumah. Hal ini menyebabkan tingginya penggunaan masker dan APD yang kemudian menaikkan jumlah sampah medis. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan total limbah medis infeksius (limbah B3 dan sampah rumah tangga dari penanganan covid-19) di Indonesia hingga 8 Juni 2020 mencapai lebih dari 1.100 ton. Baru-baru ini, dilansir dari Liputan6.com, Sungai Cisadane, Tangerang dipenuhi dengan sampah medis seperti APD, jarum suntik, dan masker medis. Fenomena tersebut menimbulkan keresahan warga terkait situasi yang menimbulkan risiko bagi kesehatan.

Dampak lingkungan akibat sampah medis juga dirasakan oleh masyarakat global. Ocean Conservancy mencatat, selama pandemi virus corona, sebanyak 129 miliar masker wajah dan 65 miliar sarung tangan telah mengancam lingkungan setiap bulannya. Oleh karena itu saat ini sedang gencar dilaksanakan upaya-upaya untuk mengurangi lonjakan sampah baik sampah medis, maupun sampah plastik dengan cara perbaikan manajemen sampah dan mengubah gaya hidup menjadi ramah lingkungan.

Oleh: Rugayah, Rosella Veltin, Halima Iradati A.

Editor: Dian Rahma Fika A.



Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.