Food Waste: Problematika yang Belum Kunjung Surut
Salah satu permasalahan global yang tak kunjung usai ialah isu kelaparan. Menurut data Global Hunger Index, Indonesia menempati peringkat ke-70 dari 117 negara yang memenuhi kualifikasi. Dengan mengantongi skor 20,1 dapat dikatakan bahwa tingkat kelaparan di Indonesia ada dalam posisi serius.
Jika ditarik garis ke belakang, beberapa penyebab terjadinya kelaparan di antaranya masyarakat yang tidak menghabiskan makanan dan malah memilih membuangnya – karena terlalu banyak porsinya, kurang selera, dan lain sebagainya.
Khawatir akan banyaknya makanan yang terbuang sia-sia, Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FISIP Undip menyelenggarakan webinar mengenai Food Waste Management melalui Microsoft Teams pada Minggu (13/9). Dimoderatori oleh Hanifa Maylasari, seminar berbasis daring ini mengangkat judul ‘Waste Less and Share More’ dengan dua narasumber, yakni Falencia C. Naoenz, pendiri The Hunger Bank serta Muhammad Farras, co-founder aplikasi DamoGO.
“Di Indonesia sendiri terdapat paradoks, yaitu banyak masyarakat Indonesia mengalami malnutrisi di tengah besarnya angka food waste di Indonesia. Melalui acara ini, diharapkan teman-teman lebih sadar akan food waste dan belajar mengenai food waste management,” ujar Albert Jehoshua, Ketua BEM FISIP, saat memberikan sambutan.
Pada sesi pertama, Falencia menjelaskan bahwa jumlah sampah makanan di dunia sebanyak 1,3 miliar ton/tahun dan Indonesia menjadi penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia dengan jumlah 13 juta ton/tahun. Padahal jika tidak terbuang percuma, jumlah tersebut bisa memberi makan gratis untuk 28 juta orang di Indonesia. Dikatakan pula, penyebab permasalahan food waste ini terdapat pada produksi yang tidak efisien, rantai distribusi yang tidak baik, pembuangan karena tidak memenuhi standar, dan pembuangan oleh konsumen.
Selain menggunungnya sampah, dampak mengerikan lainnya ialah terjadinya perubahan iklim yang merusak lapisan ozon, pemborosan ekonomi, pemborosan air, dan masih banyak lainnya. Falencia menjabarkan hierarki pengurangan sampah melalui piramida terbalik food recovery health. Piramida tersebut menggunakan cara terbaik mengurangi sampah mulai dari pengurangan pada sumbernya, memberikan pada yang membutuhkan, menjadikan pakan ternak, untuk keperluan industri, mengolah menjadi pupuk, dan terakhir membuangnya di TPA. “Sayangnya, Indonesia melewati tahapan tersebut dan langsung membuang ke TPA,” tambahnya.
Kemudian Falencia juga menjelaskan tentang The Hunger Bank, suatu organisasi non-pemerintah atau non-governmental organization (NGO) yang bertujuan membantu mengatasi masalah kelaparan di Indonesia. Falencia merasa tergerak ketika mengunjungi tempat pembuangan akhir (TPA) Sarimukti, Jawa Barat. Di sana, ia melihat tumpukan sampah yang menggunung dan lebih dari setengah sampah tersebut adalah sampah makanan. “Dari jarak 5 km dari TPA, baunya saja menyengat banget, sampai-sampai semua jalan di TPA dipenuhi belatung. Hal itu menjadi pengalaman yang eye-opening (membuka mata) saya,” jelas Falencia.
Selain bertujuan membantu masyarakat kelaparan, The Hunger Bank mengangkat isu kelaparan di Indonesia dengan cara menjadi jembatan antara kafe, restoran, dan hotel yang mempunyai makanan berlebih untuk disalurkan ke orang-orang yang membutuhkan. “Itulah alasan kita memakai kata bank, sama seperti di bank ketika orang-orang yang memiliki uang berlebih menabung dan uangnya diputarkan lagi ke orang-orang yang membutuhkan,” jelasnya.
Pada sesi kedua, Farras melanjutkan perbincangan terkait food waste dan menjelaskan aplikasi DamoGO yang dibuatnya. Masalah food waste di Indonesia kian memprihatinkan. Menurut data, satu orang bertanggung jawab pada sampah makanan sebanyak 350 kg, 60% masalah sampah makanan berada di balik dapur, dan sebanyak 54% sampah makanan berasal dari sektor produksi.
Salah satu masalah sampah makanan di sektor produksi adalah imperfect produce, yaitu buah atau sayur yang tidak layak. Tidak layak di sini bisa dari bentuk, warna, atau ukuran yang tidak sesuai standar pasar. “Faktanya, setiap lini produksi agrikultur selalu ada imperfect produce, dan setiap panen selalu ada yang dibuang,” ujar Farras.
Ketika Farras berkuliah di Korea University, ia mendapati teman-temannya yang tidak menghabiskan minum dan makanan pendampingnya. Kemudian Farras bersama teman sekamarnya berinisiasi membagikan sisa makanan tersebut dan mendapat ide untuk menjualnya dengan harga miring.
Dari situ, ia dan kawannya membuat aplikasi DamoGO yang berbasis di Korea Selatan dan sudah merambah ke daerah Yogyakarta dalam tiga bulan. Aplikasi DamoGo menghubungkan restoran, buffets (prasmanan), kafe, toko grosir, toko roti, dan kebun petani untuk menjual dan supply kembali dengan harga ekstra miring, 30-50%.
“DamoGO bergerak pada food cycle produksi dan konsumen. Kita mengambil hasil panen petani dan peternak yang terbuang untuk dijual ke restoran dan kafe. Kita juga mengambil makanan berlebih dari kafe dan restoran untuk dijual ke konsumen,” terangnya.
Penulis: Wahyu Hidayat
Editor: Annisa Qonita A.