Dokumen Rahasia G30S: Hantu PKI, Pro – Kontra Sejarah, dan Propaganda Orde Baru
Jika kita bisa memilih tiga tatanan huruf yang mampu membuat seantero negara dunia ketiga dengan gagasan pulau paling luas naik pitam, PKI barangkali representasi tiga huruf paling sempurna untuk mewujudkannya. Tragedi ‘65 telah berhasil membunuh PKI dengan keputusan resmi berupa larangan dalam TAP MPR, juga pemberangusan massal bagi manusia-manusia bumi pertiwi yang disinyalir berhubungan dengan partai yang mengutamakan sama rasa-sama rata itu.
Akan tetapi, usut punya usut pada 2017 silam, dokumen-dokumen rahasia mengenai peristiwa berdarah tersebut sah menjadi konsumsi publik. Penulis coba mengemukakan poin-poin penting dalam penjabaran mantan arsip rahasia itu seperti yang dilansir Tempo.co pada 18 Oktober 2017 silam, setidaknya ada 39 dokumen rahasia dan terdiri atas 30.000 halaman yang dibebaskan.
Paman Sam yang Ikut Campur
Sebetulnya dari membaca judul berita yang agak spoiler itu, sudah dapat dipastikan negara yang kini ditunggangi si kontroversial Donald Trump mempunyai andil besar dalam tragedi kelam ini. Bagaimana tidak? Arsip-arsip yang sempat dirahasiakan itu berisi tentang kawat diplomatik Kedubes AS yang bertempat di Jakarta. Adalah Howard Jones dan Marshall Green yang menjadi duta besar kala gonjang-ganjing itu berlangsung.
Diceritakan saat perang dingin terjadi, Amerika Serikat memang berusaha menjaga poros kekuatannya agar tetap teguh – yang terkadang melewati koridor-koridor kewajaran sampai melahirkan tiran-tiran kecil untuk akhirnya dikendalikan. Lantas apa hubungannya dengan PKI? George Washington University, salah satu lembaga yang mengunggah dan mengabsahkan dokumen itu menyebut bahwa berdasar dokumen tadi, terbukti pemerintah Amerika Serikat saat itu mengetahui jelas akan timbulnya kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang yang dituduh antek komunis.
Lebih dari itu, pihak AS juga mengetahui betul akan peran Angkatan Darat Indonesia saat tragedi ’65 berkecamuk. Bahkan dengan munculnya arsip-arsip ini ke muka publik, muncul dugaan-dugaan bahwa pembantaian sadis ’65 disponsori oleh negara Paman Sam– yang dalam arsip tersebut jelas keikutsertaannya. Artinya, pemerintah AS saat ini bisa saja dituntut untuk bertanggung jawab atas kejadian yang hingga kini belum menemui titik terang sejarah, maupun ganti rugi para korban.
Tak hanya sampai di situ, keterlibatan AS juga tercantum dalam kongkalikong dengan Angkatan Darat soal gerakan buruh yang memang dahulu identik dengan PKI. Marshall Green yang merupakan Duta Besar AS membeberkan upaya Angkatan Darat untuk melarang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang juga dituduh terlibat peristiwa G30S. Pernyataan dalam memo tersebut menggibahi dilema Angkatan Darat dan Amerika Serikat mengenai Sutomo yang merupakan Menteri Tenaga Kerja yang enggan diajak kerja sama.
Green berpendapat bahwa SOBSI terlibat dalam G30S adalah hal mustahil, kendati Angkatan Darat menganggap SOBSI sebagai “kekuatan politik independen” yang bisa mengancam rencana konsolidasi kekuasaan Angkatan Darat.
Rencana Penggulingan Soekarno dan Pembunuhan Omar Dani
Seperti yang diketahui, nasib proklamator saat Soeharto memulai tonggak 32 tahun Orde Baru benar-benar tidak baik-baik saja. Bukan hanya kehormatan sebagai presiden yang diberangus jenderal cendana, namun pemikiran-pemikiran serta tubuh yang semakin tua juga turut jadi korban. Dugaan bahwa Soeharto bersama kekuatan militernya mempunyai itikad jahat menggulingkan Soekarno saat ’65 meletus, mencuat di kehidupan pascareformasi. Hal ini kemudian semakin diperkuat dengan terbitnya arsip rahasia Amerika Serikat yang disembunyikan kurang lebih setengah abad lamanya.
Green melansir pernyataan Dubes Jerman yang menyatakan bahwa “Militer sedang mempertimbangkan kemungkinan menggulingkan Soekarno. Mereka mendekati beberapa kedutaan asing untuk memberi tahu kemungkinan aksi itu terjadi.” Setelah Soekarno terlihat tidak memedulikan bukti bahwa PKI terlibat dalam peristiwa G30S, barulah perwakilan militer Indonesia mendekati Dubes Jerman tersebut.
Dalam laporan itu, terpampang jelas adanya keinginan militer, dalam hal ini Angkatan Darat, untuk menggulingkan aktor “Ganyang Malaysia” dan barang tentu membuat pemuda-pemuda Sukarnois naik pitam seraya mengutuk rezim Orde Baru beserta isinya.
Namun tak hanya Soekarno sebagai orang penting yang keberadaannya dinista dalam tragedi berdarah ini. Sosok panglima kepercayaan proklamator yang menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam bui dan bahkan dihilangkan dari narasi sejarah, Omar Dani. Seperti diketahui, Omar Dani pernah dijerat hukuman mati atas tuduhan berbuat makar. Ia tertuduh dikarenakan imbas dari pernyataannya menyikapi G30S yang diumumkan RRI. Sejumlah perwira Angkatan Darat besutan Soeharto kemudian menarik kesimpulan Omar Dani sebagai perwira berhaluan kiri.
Catatan arsip rahasia AS tidak lupa membongkar kedok itu, yang kiranya berisi;
Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani, menyampaikan kepada diplomat Amerika soal perlunya mengeksekusi pemimpin PKI. Sutarto mengatakan tentara Angkatan Darat berencana membunuh Omar Dani (saat itu menjabat Panglima Angkatan Udara Indonesia) bila Omar tak kunjung mengundurkan diri. Omar dianggap terlibat dalam peristiwa 30 September.
Kepolosan Kader PKI dan Pembantaiannya Atas Nama Agama
Pembunuhan tujuh jenderal dalam satu malam yang dituding direncanakan secara terstruktur oleh PKI atau dikenal dengan Gestapu/G30S merupakan sebuah awalan dari pemberangusan orang-orang yang dinilai terlibat dalam PKI.
Namun, sebelum melangkah lebih jauh sedikit ke sana, apakah benar hal itu murni strategi besutan Aidit Cs? Dalam dokumen tersebut diberitakan bahwa kader PKI di Yogyakarta tidak tahu sama sekali akan gerakan brutal tersebut. Mereka benar-benar hanya sekumpulan warga polos yang tak mengerti apa-apa tentang gonjang-ganjing Lubang Buaya. Hal ini menjadi pukulan besar mengingat orang-orang tak bersalah di dalam PKI maupun yang hanya sebatas dituduh PKI turut jadi korban di antara jutaan korban lainnya yang tak usai diusut sampai sekarang.
Diketahui bahwa pasukan Sarwo Edhi dalam memimpin pemberangusan PKI dibantu oleh ormas-ormas agama dengan dalih jihad dan semacamnya. Mereka diberi dogma pada mimbar-mimbar keagamaan atas kehalalan membunuh PKI serta menganggapnya kafir harbi bagi umat Islam. Sebuah ironi ketika melihat saudara setanah air saling bertikai atas dasar yang tidak sahih. Hal enyuh ini kemudian dijelaskan secara implisit dalam arsip rahasia AS yang dirangkum oleh Tempo.co sebagai berikut;
Sekitar 15 ribu anggota PKI dibunuh di Tulungagung, Jawa Timur. Dalam telegram 26 November 1965 itu, pejabat Konsulat AS Surabaya menyatakan pembantaian itu “diwarnai Perang Suci: membunuh kafir memberi tiket ke surga dan jika darah korban diusap ke wajah, jalan ke sana (surga) lebih terjamin.” Telegram Konsulat AS di Medan 6 Desember 1965 menyatakan ormas Muhammadiyah di Medan memberi instruksi bahwa membunuh PKI adalah kewajiban agama. Ormas Islam NU dikabarkan memiliki pandangan serupa
Soeharto dalam Bayang-Bayang ‘65
Dari penjabaran-penjabaran sebelumnya, sangat memungkinkan adanya keterlibatan Soeharto dalam tragedi berdarah ’65 ini. Terlebih kebijakan-kebijakan ekstremnya membuat nama Soeharto disebut-sebut sebagai dalang peristiwa ’65 setelah saat rezim Orde Baru, dirinya diagungkan sebagai Bapak Pembangunan serta superhero bangsa tatkala menyelamatkan negara dari ancaman PKI. Terlepas dari dugaan-dugaan itu, mengacu pada dokumen rahasia AS ini, Soeharto secara jelas terlibat dalam peristiwa yang sempat membuat gaduh seantero Indonesia.
Dokumen 30 November 1965, Kedubes AS mengungkap bahwa Jendral A.H Nasution berniat melanjutkan tindak represi PKI atas permintaan Soeharto, paling tidak di Jawa Tengah. Kawat Kedubes AS 22 Juni 1966 juga mengungkap apabila pejabat AS menyetujui rekan-rekan Soeharto di AD (militer) meminta perusahaan asing menyetor segelintir dana ke bank yang dikontrol tentara. Alasannya supaya rezim Orde Lama tidak bisa mengakses devisa atau mempercepat kejatuhan Indonesia, sehingga kekuatan militer dapat dilegitimasi.
Pengumuman-pengumuman ini seolah menjadi cambuk bagi masyarakat yang sudah terlanjur percaya atas karangan Orde Baru soal PKI yang membuat warga resah juga semakin memandang picik komunisme.
Propaganda Orde Baru
Dokumen rahasia yang kemudian menjadi milik publik adalah sesuatu yang penting. Dokumen tersebut menyadarkan bahwa sejarah kita tidaklah monolitik dan diperlukan untuk memulai rekonsiliasi nasional.
Propaganda tentang pemberangusan PKI dengan film besutan Arifin C. Noor yang sampai sekarang bahkan masih jadi agenda wajib. Beberapa stasiun televisi terbilang sukses membuat masyarakat percaya bahwa PKI adalah jahat dan musuh negara, hingga kini. Pun dengan lagu genjer-genjer yang diboikot rezim Orba karena dinilai Pro-PKI.
Karenanya kewaspadaan sangat diperlukan. Pun dengan embel-embel dokumen rahasia yang dipublikasikan, bersikap bijak sangat perlu agar tidak menelan informasi tersebut mentah-mentah.
Sampai saat ini pun tidak ada yang tahu pasti siapa yang benar, siapa yang salah. Pro dan kontra terus bergunjing dari kacamata masing-masing. Yang bisa dilakukan hanyalah dengan menguji kemajemukan klaim tersebut dengan verifikasi berganda. Apakah ada nama-nama yang disebut? Benarkah klaim yang ada sesuai data dan dokumen sejarah? Dan lebih dari itu, apa yang kemudian mampu dipelajari dari data yang dihimpun.
Sejarah adalah menyoal sudut pandang, terlepas benar atau salah yang terpenting adalah pelajaran yang dapat diambil, serta hak yang harus diperjuangkan.
Penulis : Luthfi Maulana