Kampanye PRT di Tujuh Kota: Curahan Hati Para PRT Hingga Menyingkap Alasan Dibalik Mandeknya Pengesahan RUU PPRT

LPM OPINI – Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang masih tak terlihat hilalnya kian menimbulkan keresahan bagi para Pekerja Rumah Tangga (PRT).

Hal ini akhirnya mendorong Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) untuk menyuarakan kegelisahan mereka melalui Kampanye PRT di tujuh kota yang bertajuk “Mendesak Pengesahan RUU PPRT”. 

Berkolaborasi dengan Konde Institute, SPRT Tangerang Selatan menyelenggarakan kampanye secara virtual melalui platform Zoom pada Jumat (12/2). Kampanye ini dimoderatori oleh Esti Utami selaku tim Konde.co dan mengundang sebanyak enam pembicara dari SPRT Tangerang Selatan. Bergabung pula Aida Milasari selaku Koordinator SPRT Tangerang Selatan, Maria Theresia selaku pemberi kerja PRT, dan Ati Nurbaiti selaku pendiri Solidaritas Perempuan sebagai penanggap pada forum tersebut.

Urgensi pengesahan RUU PPRT dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah tercatatnya lebih dari 3.219 kasus pelanggaran yang dialami PRT dalam kurun waktu 2012 hingga 2019 menurut catatan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT). Setiap harinya, mereka menghadapi berbagai kasus yang mengancam kesejahteraan, mulai dari eksploitasi tenaga kerja, kekerasan fisik, psikis, sampai seksual. (Baca Selengkapnya di https://lpmopini.online/tujuh-belas-tahun-berlalu-perjalanan-ruu-pprt-masih-penuh-lika-liku/)

Kerentanan tersebut melahirkan inisiatif berbagai organisasi dengan fokus pada perempuan dan anak untuk memperjuangkan RUU PPRT agar segera disahkan oleh DPR pada tahun 2004 silam. 

Curahan Hati Para Anggota SPRT Tangerang Selatan 

Para anggota SPRT Tangerang Selatan mengungkapkan masing-masing pengalaman tidak mengenakkan mereka selama menjadi PRT. Jam kerja yang terlalu banyak dengan upah yang tidak sepadan hampir dialami oleh semua anggota SPRT. Hal tersebutlah yang membuat kebanyakan dari mereka memutuskan untuk berhenti bekerja.

“Saya bekerja dari jam 7 pagi, lalu bisa sampai jam 10 malam. Itu pun tidak dikasih ongkos pulang. Mau menginap, tetapi rumah majikan tidak ada kamar kosong,” ungkap Titin Sumarni.

Hal serupa juga dialami oleh Dewi Korawati. Pada tahun 2011 lalu, ia mengaku bekerja selama 9 jam lamanya dengan gaji sebesar Rp350.000 per bulan. Merasa tidak sanggup, ia pun memutuskan untuk keluar dan bekerja di tempat lain. Sayangnya, ia tidak menemukan adanya perbedaan dari perlakuan para pemberi kerja.

“Saya bekerja dari jam 8 pagi sampai 5 sore. Semua pekerjaan rumah saya kerjakan termasuk menjaga anak-anak. Melelahkan banget hingga akhirnya saya keluar dan bekerja di tempat lain. Tapi ternyata semuanya sama saja,” keluh Dewi.

Ia menambahkan bahwa pemberi kerja sering kali tidak menghargai PRT.

“Mereka (pemberi kerja) memperlakukan PRT semaunya karena merasa sudah membayar dan menggaji. Jadi, sama sekali tidak menghargai PRT,” lanjutnya.

Tak hanya itu, para pemberi kerja sering kali mengekang para PRT, khususnya untuk para PRT yang bekerja dengan sistem menginap. Hal ini diungkapkan oleh Sumarni. Ia mengaku tak diperbolehkan untuk bersosialisasi dengan teman-teman PRT tetangga. Hal ini disebabkan oleh aturan dari majikan yang tidak memperbolehkannya keluar, bahkan untuk berbelanja. Tak sampai situ, majikannya kerap menguncikan dirinya di rumah sendirian ketika sedang bepergian.

“Saya enggak nyaman dengan perlakuan majikan saya. Selama bekerja menginap, saya merasa enggak ada privasi dan agak tertekan juga. Saya harap majikan lebih memperhatikan PRT,” ungkap Sumarni.

Masalah kesejahteraan beserta jaminan kesehatan juga ikut menjadi keresahan para PRT. Terlebih, masalah administratif seperti KTP PRT yang masih berdomisili di kampung halaman jadi salah satu kendala dalam mengurus hak jaminan kesehatan.

“Harusnya ada BPJS agar PRT bisa ditangani ketika sakit. Kita ingin membayarkan BPJS, tetapi persoalannya, PRT masih ber-KTP kampung, jadi pengurusan harus dari kampungnya. Itu jadi kendala dalam memberikan jaminan kesehatan,” jelas Aida Milasari selaku Koordinator PRT Tangerang Selatan.

Berbagai masalah yang dialami oleh PRT juga disebabkan karena tidak adanya kontrak kerja secara tertulis. Kontrak kerja yang juga ditentukan sepihak oleh pemberi kerja membuat PRT mau tidak mau harus menerima ketentuan apapun.

“Yang jadi persoalan adalah, kalau kontrak kerja banyak lisan, sering kali yang menentukan isi kontraknya adalah majikan. Jadi PRT mau tidak mau harus terima seperti itu. Apalagi yang tertulis hampir tidak ada. Mereka takut kalau ditanyakan hak-hak yang harus dipenuhi,” jelas Aida.

Dibalik Mandeknya RUU PPRT Selama Hampir 18 Tahun

Ati Nurbaiti selaku salah satu pendiri Solidaritas Perempuan ikut serta dalam memperjuangkan RUU ini agar sampai ke DPR. Ia mengungkapkan bahwa memperjuangkan RUU PPRT adalah hal yang lebih sulit dilakukan ketimbang memperjuangkan hak pekerja migran.

Hal ini disebabkan karena adanya para pemberi kerja yang duduk di bangku DPR dan DPRD sehingga mereka tetap ingin mengambil kebijakan yang menguntungkan mereka.

“Kita sudah merasakan apa hambatannya, terbukti dengan (RUU) yang nyangkut 18 tahun. Sebelum jadi RUU, perjalanannya juga panjang. Tentu sebabnya karena banyak perempuan yang ternyata adalah majikan, duduk di DPRD dan DPR. Jadi, mereka tidak memiliki semangat untuk UU PPRT,” ungkap Ati.

Ia mempertegas argumennya dengan bukti bahwa tujuan dari RUU selalu terhambat. Ati memberi contoh aturan standar upah di Yogyakarta yang hanya terwujud sebentar sebelum akhirnya kembali ditiadakan. 

Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Lita selaku koordinator Jala PRT tentang bagaimana para pengambil keputusan menjadi hambatan dalam pengesahan RUU PPRT ini.

“Sudah 18 tahun kita terus berhadapan dengan para pengambil keputusan peraturan UU, di sisi lain adalah 99 persen majikan dan conflict interest-nya cukup besar. Mereka khawatir akan hadirnya RUU ini yang dapat mengubah status quo kemapanan dan keuntungan yang sudah dinikmati,” jelasnya.

PRT masih akan terus berjuang untuk mengesahkan RUU PPRT agar mereka memiliki payung hukum yang dapat melindungi hak mereka sebagai manusia dan pekerja rentan.

“Mari kita sama-sama berjuang. Para pemberi kerja marilah berjuang untuk memberikan situasi kerja yang layak. Teman-teman PRT juga berusaha bekerja lebih baik sambil menaikkan isu ini. Kita sama-sama berjuang untuk kebaikan banyak orang, terutama untuk teman-teman PRT yang dianggap belum mendapat haknya,” tutup Maria Clara selaku tim Jala PRT.

Penulis: Almira Khairunnisa

Editor: Luthfi Maulana

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.