Tindak Represif Aparat terhadap Nelayan –  Pers Mahasiswa di Makassar: Tanda Amanat Demokrasi yang Masih Setengah Hati

LPM OPINI – Tujuh nelayan yang melakukan penolakan tambang pasir laut dan tiga anggota pers mahasiswa yang meliput ditangkap oleh Direktorat Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) Polda Sulawesi Selatan pada Sabtu (12/9). Selain tujuh nelayan dan tiga anggota pers mahasiswa, ada satu mahasiswa aktivis lingkungan yang turut ditangkap.
Mahasiswa yang ditangkap di antaranya ialah Hendra (UKPM Unhas), Mansyur (UPPM-UMI), Raihan (UPPM-UMI), dan Rahmat (FMN).

Tujuh nelayan beserta mahasiswa yang ditangkap pada Sabtu kemarin akhirnya dibebaskan pada Minggu (13/9) waktu setempat. Kendati demikian, tindakan upaya kriminalisasi oleh aparat kepolisian yang bukan hanya kali ini terjadi, setidaknya menunjukkan bahwa implementasi pelaksanaan amanat demokrasi belum sepenuhnya dijalankan.

Kronologi Penangkapan
Melansir rilis yang disiarkan melalui media sosial AJI Makassar, hal ini bermula dari adanya protes warga Pulau Kodingareng terhadap aktivitas tambang pasir di lokasi tangkap nelayan pada Sabtu (12/9).

Sekitar pukul 07.30 WITA warga Pulau Kodingareng bersiap melakukan aksi penghadangan untuk mengusir kapal PT Royal Boskalis – kapal yang hari itu kembali melakukan aktivitas tambang pasir. Terdapat 45 lepa-lepa (kano tradisional) dan tiga kapal Jolloro (stir/guli) berangkat dari Pulau Kodingareng dan tiba di lokasi tambang pasir pukul 08.33 WITA.

Hingga pukul 8.50 WITA kapal Boskalis meninggalkan lokasi penambangan pasir dan diikuti oleh massa aksi. Namun, tepat pada pukul 09.53 WITA massa aksi yang berada dekat dari pulau tiba-tiba didatangi sekoci Kepolisian Perairan dan Udara (Polairud) yang langsung melakukan penghadangan serta merusak kapal Jolloro milik nelayan.

Di tengah kegaduhan tersebut, salah seorang nelayan yang hendak kembali menjalankan kapal dicegah polisi dengan melepaskan tiga kali tembakan. Polisi kemudian menangkap nelayan, termasuk tiga jurnalis pers mahasiswa yang padahal sudah menunjukan identitas persnya. Total 11 orang ditangkap dan dibawa langsung ke kantor Polairud Makassar.

Mahasiswa dan nelayan mendapatkan kekerasan berupa pukulan di bagian wajah, badan, dan diinjak-injak lehernya. Beberapa warga mengalami luka dan berdarah akibat kekerasan oleh aparat tersebut.

Selepas satu hari ditahan di Kantor Polairud Makassar, mereka yang menjadi korban kriminalisasi akhirnya dibebaskan pada Minggu (13/9) pukul 12.15 WITA, didampingi LBH Makassar – setelah kepolisian urung mendapat bukti kuat terkait pelanggaran hukum yang dilakukan.

Kendati begitu, dalam keterangannya pada pers, Direktur Polair Polda Sulsel, Kombes Hery Wiyanto berdalih bahwa korban ditangkap karena diduga merusak kapal PT Boskalis. Ia bahkan bertutur jika nelayan mendatangi kapal Boskalis di tempat penyedotan dan melakukan serangan berupa pelemparan molotov. Lebih lanjut, ia kemudian menampik informasi bahwa penangkapan yang dilakukan berbau unsur kekerasan atau penembakan. Padahal sebelumnya, pihak mereka Polairud Polda Sulsel-lah juga sempat menghalang-halangi akses bantuan hukum terhadap korban.

Kriminalisasi yang Tuai Kecaman
Insiden tersebut menuai kecaman dari Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan. Edy yang mewakili koalisi tersebut menyayangkan kriminalisasi oleh aparat dan mengharap tindak tegas terhadap penangkapan tersebut.

Lebih luas, diketahui Koalisi Masyarakat Sipil Sulawesi Selatan yang terdiri atas kumpulan organisasi kemanusiaan dan lingkungan di Sulsel mendesak agar:

  1. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk segera membebaskan 11 orang nelayan, aktivis lingkungan dan jurnalis pers mahasiswa yang ditangkap;
  2. Direktur Polairud Polda Sulsel untuk tidak melakukan pemeriksaan terhadap 11 orang ditangkap tanpa pendampingan dari penasehat hukum;
  3. Komnas HAM RI dan Kompolnas RI untuk segera melakukan investigasi terkait dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polairud Polda Sulsel yang bertugas;
  4. Polda Sulsel dan Dit. Polairud Polda Sulsel untuk menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan Kodingareng yang tengah mempertahankan hak atas hidup dan kehidupannya;
  5. Mendesak Gubernur Sulsel untuk menghentikan kapal milik Boskalis dan mencabut izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan;
  6. Hentikan reklamasi Makassar New Port karena telah menghilangkan ruang hidup nelayan pesisir Makassar;
  7. Mendesak Kementerian Kelautan Perikanan RI untuk mencabut Perda Sulsel No. 2 tahun 2019 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
  8. Mendesak Pemerintah Daerah Provinsi Sulsel melindungi hak-hak tradisional nelayan wilayah perairan spermonde sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 2016.

Insiden penangkapan tersebut melanggar setidaknya pasal 28F UUD 1945 yang berkaitan dengan hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan memberikan informasi dengan menggunakan media apa saja yang ada, hak ini juga turut dikuatkan oleh Pasal 14 ayat (2) Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Meskipun tuntutan pada poin satu  telah terkabulkan, tindakan represi tetaplah tak bisa dibiarkan begitu saja. Upaya kesewenang-wenangan aparat – yang bukan hanya kali ini terjadi – seyogianya mendapat perhatian lebih dari pemerintah, baik nasional maupun regional. Akan sangat berbahaya jika pemerintahlah yang ternyata memiliki hubungan ‘asmara’ dengan cukong-cukong pemberangus hak kehidupan masyarakat. Kalau sudah begitu, entah sampai kapan tindakan represif akan terus berlanjut dan entah sampai kapan pula masyarakat terus melawan demokrasi setengah hati – atau bahkan setengah hati saja tidak.

Penulis : Luthfi Maulana

Editor: Annisa Qonita A.

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.