Menebak Siasat RKUHP: Dianggap Tidak Transparan, Banyak Catatan, hingga Gejala Rezim Otoritarian

Proses revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan publik menjadi gejolak di dalam masyarakat pada beberapa waktu terakhir ini. 

Tagar #SemuaBisaKena menjadi ramai kembali di jagat maya sebagai bentuk gugatan atas beberapa pasal dalam draft RKUHP yang dianggap ambigu dan membatasi kebebasan berekspresi warga negara. Salah satu akun besar yang menginisiasi tagar #SemuaBisaKena sebagai gugatan terhadap RKUHP ini adalah akun Instagram milik jurnalis sekaligus aktivis media sosial kondang, Najwa Shihab.

Terkait hal ini, Serikat Masyarakat Bergerak Banyumas mengadakan diskusi publik yang bertajuk “Draft RKUHP Mengapa Disembunyikan?” Pada tanggal 2 Juli tahun 2022 kemarin. 

Diskusi ini menghadirkan dua narasumber yaitu Lovina yang merupakan peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Arif Maulana yang merupakan Direktur Lembaga Badan Hukum (LBH) Jakarta. Pada diskusi ini, dijelaskan ada sebelas isu krusial versi pemerintah yang pasal-pasalnya mendapat catatan.

Pasal-pasal Bermasalah dalam Draft RKUHP

Pada diskusi tersebut, Lovina menjelaskan mengenai pasal-pasal terkait isu krusial versi pemerintah tadi yang bermasalah. Salah satunya adalah pasal mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

Sebagaimana bunyi pasal terkait penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden tersebut ada pada pasal 218 RKUHP, yaitu:

“Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”

Lovina menilai jika pengertian penghinaan yang ada pada pasal tersebut tidak jelas, sehingga rentan multitafsir dan dapat menimbulkan ketidakpastian.

“Pengertian penghinaan tidak jelas, bisa multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian. Contohnya jika ada kasus seperti pada masa Presiden SBY, ada yang menulis poster di bundaran HI dan minta mereka untuk turun. Karena itu, dia dituduh menghina presiden dan wakil presiden, padahal mereka hanya mengkritisi dan itu adalah hak kita yang dijamin dalam konstitusi. Makanya pasal ini banyak dikritisi,” jelas Lovina.

Selain itu, Lovina juga menilai jika pasal ini melanggar prinsip persamaan di muka hukum.

“(Pasal ini) argumennya lebih ke masyarakat/rakyat yang memiliki kedudukan hukum yang sama oleh presiden dan wakil presiden. Sedangkan kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Jadi melanggar prinsip itu,” imbuhnya.

Lebih lanjut, pasal lainnya dalam draft RKUHP yang juga menjadi perbincangan di media sosial adalah pasal terkait perzinaan dan kohabitasi. Pasal ini merupakan pasal yang mengatur tentang persetubuhan dengan orang lain selain suami atau istrinya dan yang mengatur tentang pasangan yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. 

Pasal terkait perzinaan dan kohabitasi termaktub dalam pasal 415 Ayat (1), pasal 415 Ayat (2), pasal 416 Ayat (1) dan pasal 416 Ayat (2) draft RKUHP. Pada pasal-pasal ini, disebutkan jika orang yang melakukan perzinaan atau pun kohabitasi dapat dikenai pidana penjara atau pun denda. Akan tetapi, kedua pasal ini bersifat delik aduan.

Terkait pasal ini, Lovina menyebutkan jika sebenarnya ada sisi positif dari kedua pasal ini yaitu sifat pasal yang berupa delik aduan dan aduan tersebut hanya dapat dilakukan oleh orang yang terdampak. Akan tetapi, adanya pembolehan aduan oleh orangtua juga menjadi hal yang cukup mendapat perhatian dan catatan kritis karena berpotensi meningkatkan angka pernikahan anak.

“Tapi catatannya adalah soal orang tua yang ngaduin. Ini bisa meningkatkan dilema soal pernikahan anak karena kekhawatiran orang tua yang berasumsi anaknya melakukan hubungan di luar perkawinan akan langsung dinikahkan. Jadi hal ini bisa meningkatkan angka perkawinan anak,” jelas Lovina.

Pasal lain yang juga tak luput dari catatan Lovina adalah pasal terkait pengguguran kandungan atau aborsi. Pada pasal terkait aborsi ini disebutkan jika perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, tetapi hal ini tidak berlaku untuk perempuan yang merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 (dua belas) minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis.

Lovina menyebut jika pengecualian pada pasal ini perlu ditegaskan lagi, mengingat korban hamil tidak hanya karena korban perkosaan atau memiliki kedaruratan medis, tetapi bisa karena kekerasan seksual lainnya seperti eksploitasi seksual. 

“Perempuan yang hamil itu enggak cuma korban perkosaan dan darurat medis, sehingga korban kekerasan seksual juga seharusnya masuk dalam pengecualian pasal ini”

Selain keempat pasal karet yang mengandung isu krusial di atas, tujuh isu krusial lainnya juga mengandung pasal yang bermasalah, seperti pasal terkait living law atau hukum pidana adat yang rentan digunakan karena tidak konsisten antara living law dengan hukum adat, pasal pidana mati yang dapat menyasar pada kelompok rentan, pasal terkait unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih yang lebih tepat diatur di tingkat daerah, pasal penggelandangan yang bertentangan dengan UUD 1945, pasal terkait menghalangi proses peradilan yang berpotensi mengekang kebebasan pers, pasal tentang penodaan agama yang penerapannya justru dapat menyerang minoritas agama, dan pasal tentang alat pencegah kehamilan yang kontraproduktif dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

RKUHP Gejala Rezim Otoritarian?

Melihat paparan Lovina terkait pasal bermasalah dalam RKUHP, dalam prosesnya, RKUHP juga menyulut gejolak di dalam masyarakat lantaran proses pembahasannya yang dianggap tidak transparan atau nirpartisipasi dari masyarakat. Fenomena ini dinilai Lovina bertentangan dengan nilai demokrasi yang menjunjung tinggi partisipasi masyarakat.

“Kenapa pembentukan undang-undang hari-hari ini jauh dari prinsip dan semangat demokrasi? Karena ini masuk dalam gejala rezim otoritarian. Praktek perundang-undangan hari ini karakternya adalah represif otoriter, sebagaimana yang sempat ditulis oleh Mahfud MD, jadi kalau peraturan perundang-undangan ini nirpartisipasi, represif, ini sebetulnya produk peraturan perundang-undangan yang dihasilkan oleh rezim otoritarian, gejalanya adalah ini yang kemudian muncul” jelas Lovina.

“Ini menjawab apa yang terjadi hari ini, karena bukan kali ini saja draf disembunyikan. Ini ancaman serius demokrasi di Indonesia. Seluruh warga negara harus bersikap. Saya kira kita harus menolak RKUHP yang “ngawur” ini, yang bukan melindungi hak-hak warga negara tapi justru mengancam hak warga negara” tutupnya.

Penulis: Alivia Nuriyani

Editor: Luthfi Maulana

 

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.