Problematika Keabsahan Pernikahan Beda Agama

LPM OPINI – Pada 31 Januari 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Ramos Petege untuk merevisi UU Perkawinan ke MK. Pernikahan beda agama sendiri telah diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 juncto UU No. 16 tahun 2019 tentang perkawinan, dalam Pasal 2 ayat (1), memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah, maka perkawinan tersebut harus dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. 

Meski di Indonesia ada beberapa interpretasi terkait UU Perkawinan, pada umumnya Kantor Catatan Sipil menolak mencatat pernikahan beda agama.

Dr. Yunanto, SH.M.Hum, dosen ahli hukum perdata dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, turut menyampaikan pendapatnya mengenai pernikahan beda agama. Menurutnya, perkawinan dapat dikatakan sah apabila dilaksanakan berdasarkan hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan. 

“Sah atau tidaknya perkawinan itu didasarkan Pasal 2 ayat (1) disitu sudah jelas dikatakan kalau perkawinan bisa dikatakan sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing,” kata Yunanto.

Lebih lanjut Yunanto menjelaskan bahwa berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat atau pun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya. Kaidah pengaturan norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai memilih agama dan kepercayaan. 

Sementara itu, Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa perkawinan dicatat menurut ketentuan perundang undangan yang berlaku. Sehingga setiap warga negara Indonesia harus mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) jika ingin perkawinannya sah secara hukum agama dan hukum negara.

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) merupakan satu kesatuan, yang tidak dapat dipisahkan baik secara agama maupun tercatat saja. Buktinya, di Pasal 10 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa dengan mengingat perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat. 

Menurut Yunanto, hakikat sah perkawinan adalah jika telah dilaksanakan secara hukum agama dan kepercayaan dan dilakukan dihadapan pegawai pencatat. Pelaksanaan perkawinan dapat dilakukan di KUA bagi masyarakat muslim dan di KCS atau gereja bagi masyarakat non muslim.

“Kalau gereja besar biasanya pastor atau pendeta, sekaligus berperan sebagai pembantu pencatat. Baru kemudian akan keluar akta perkawinan sebagai satu-satunya bukti autentik perkawinan,” kata Yunanto kepada LPM Opini, Jumat (10/02).

Namun, selama Pasal 2 ayat (1) belum diubah, Indonesia akan tertutup terhadap praktik perkawinan campuran antar agama. Meski catatan sipil bisa melangsungkan perkawinan antar agama, tetapi hal itu kemudian dikritik dan digugat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

Dari kejadian itu muncul buka tutup pintu kebijakan perkawinan campuran antar agama, sampai akhirnya keluar Surat Edaran Mendagri 17 april 1989 yang menegaskan fungsi catatan sipil hanya mencatat bukan melangsungkan, mencatat perkawinan setelah dilakukan menurut Pasal 2 ayat (1) sejak itu Indonesia menutup praktik perkawinan campuran. 

“Catatan sipil akan mencatat perkawinan selain Islam kalau sudah dilakukan menurut pasal 2 ayat (1) sehingga kalau belum ada perkawinan secara hukum agama ya tidak bisa,” ujar Yunanto

 

Perizinan Pernikahan

Yuananto menyatakan bahwa selama identitas atau KTP pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan menunjukkan adanya perbedaan agama, maka KUA tidak akan mengizinkan perkawinan tersebut. Sehingga menyebabkan kebijakan SE Mendagri menjadi tertutup.

Akibat tertutupnya pintu dari kebijakan tersebut, muncul berbagai fenomena terkait perkawinan campuran ini, seperti pasangan yang kemudian memilih berpisah hingga melakukan perkawinan di luar negeri yang berdampak pada munculnya inkonsistensi.

“Ada yang kemudian pasangannya pisah, ada yang menundukkan diri (kawin secara satu agama tapi setelah kawin kembali ke agama semula), dan melakukan perkawinan di luar negeri. Nah ini yang menyebabkan adanya inkonsistensi,” lanjut Yanto.

Adanya inkonsistensi ini terkait dengan hakikat keabsahan perkawinan yang mana ketika perkawinan di luar negeri dilangsungkan, maka saat kembali ke Indonesia hanya akan dinyatakan sah secara administratif, hal ini bertentangan dengan keabsahan perkawinan. 

“Sempat ramai ada pro kontra terkait dengan kebijakan catatan sipil ini sehingga ada penolakan, waktu itu di Jakarta ada permohonan untuk mencatat perkawinan oleh catatan sipil tapi ditolak, oleh catatan sipil digugat,” kata Yunanto.

Yunanto menjelaskan bahwa secara teori, jika Pasal 2 ayat (1) belum diubah maka tidak bisa melangsungkan perkawinan campuran. Ia juga mengatakan bahwa pasal ini sudah beberapa kali diajukan untuk uji materi dan MK menolak semuanya. 

 

Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan

Menurut Yunanto, akibat dari adanya UU Perkawinan, dari sisi sosial dan HAM tentu saja melanggar HAM karena pernikahan beda agama adalah hak asasi. Maka dari itu, jika nanti ada perubahan UU Perkawinan yang, seharusnya ada ruang untuk pernikahan beda agama yang mengubah pasal 2 ayat (1).  Ia juga menyatakan terkait pernikahan beda agama akan terus mendapatkan pro dan kontra dari masyarakat. 

Kemudian muncul pula tanggapan bahwa pernikahan beda agama dianggap tidak memberikan kebebasan menjalankan agama, Yunanto lantas memberikan pendapatnya bahwa hal tersebut bukanlah hal yang benar karena tidak ada kaitannya. Yang menjadi persoalan bukan tentang menjalankan agama dan keyakinannya melainkan pasangan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan tersebut. 

“Yang menjadi kesulitan itu kan mereka yang mau kawin secara interreligius, jadi bukan melarang menjalankan agamanya, tapi untuk melangsungkan perkawinan interreligius,” terang Yunanto. 

 

Status Perkawinan Beda Agama di Mata Hukum

Pengaturan perkawinan campuran di UU Administrasi Pasal 49 yang menyatakan bahwa catatan sipil akan mencatat perkawinan termasuk apabila ada perkawinan campuran dengan dasar penetapan dari pengadilan negeri.

“Benar kalau pegawai pencatat hanya mencatat saja, tapi kalau sampai mengesahkan berarti perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan pasal 2 ayat 1. Artinya UU Administrasi Kependudukan ini menabrak pasal 2 ayat 1,” jelas Yunanto. 

Yunanto kembali menegaskan bahwa status pernikahan yang sah secara hukum agama dan hukum negara harus memenuhi dan mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2). 

“Sah tidaknya perkawinan itu sudah diatur dalam undang undang perkawinan,” tutup Yunanto. 

 

Sumber:

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18053&menu=2

https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2013/24TAHUN2013UU.HTM

https://amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/cinta-beda-agama-pahlawan-nasional-indonesia-cj4n?

 

Narasumber: Dr. Yunanto, SH.M.Hum

Riset: Irgi Riftian Ghandi

Editor: Dinda Khansa, Luthfi Maulana

Desain: Citra Adi Lusiandani

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.