TWK KPK Tuai Kritikan, Nilai Pancasila Jadi Taruhan
LPM OPINI – Kontroversi tes wawasan kebangsaan (TWK) yang dijalankan oleh para anggota komisi pemberantasan korupsi (KPK) tengah menjadi hal yang disorot oleh masyarakat dan media Indonesia belakangan ini.
TWK KPK sendiri muncul sebagai akibat dari adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menetapkan KPK sebagai bagian dari Lembaga eksekutif kekuasaan. Sebelum direvisi, KPK merupakan lembaga yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Beralihnya KPK dari Lembaga independen menjadi eksekutif membuat para pegawainya saat ini resmi menyandang status sebagai aparatur sipil negara (ASN), seperti yang tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020.
Sementara itu, untuk meraih status ASN tersebut, para pegawai diwajibkan untuk mengikuti TWK sebagai bentuk uji wawasan dan pengetahuan calon ASN yang meliputi Pancasila, UUD, serta wawasan kebangsaan lainnya. Hal itu dimaksudkan agar pemerintah mengetahui seberapa dalam pengetahuan tentang dasar negara yang dimiliki oleh para calon ASN.
Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam soal TWK rupanya cukup ganjal dan kontroversial. Pasalnya, terdapat banyak pertanyaan yang dinilai tidak masuk akal dan jauh dari perihal kebangsaan sehingga hal tersebut mengundang kontroversi dari masyarakat dan politisi lain.
Adapun pertanyaan dari soal TWK tampak menyinggung perihal keinginan melepas hijab, membahas perihal LGBT, mempertanyakan keinginan menjadi istri kedua, membahas kaum Cina, bahkan mempertanyakan mana yang harus dipilih antara Alquran dan Pancasila.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kini sudah tersebar di media sosial, seperti Instagram dan Twitter. Tak sedikit netizen yang mengutarakan kekecewaannya terhadap lembaga pemerintah yang dinilai tidak beres dalam menguji kualifikasi pegawai KPK bakal calon ASN dengan mengajukan pertanyaan problematik tersebut.
Berdasarkan data KPK, dari 1.351 pegawai yang menjalani TWK, 1.274 pegawai dinyatakan lulus, sementara 75 pegawai sisanya dinyatakan gagal.
Apa yang lebih mencengangkan adalah fakta bahwa kebanyakan dari 75 orang tersebut rupanya merupakan orang-orang yang disegani akan integritasnya dalam menjalani kewajiban mereka sebagai anggota KPK. Nama-nama seperti Novel Baswedan, Harun Al Rasyid, Giri Suprapdiono, dan lainnya yang dianggap memiliki prestasi yang membanggakan selama menuntaskan kasus-kasus besar sangat disayangkan menjadi bagian dari pegawai yang tidak lulus TWK KPK.
Asumsi yang menyatakan bahwa TWK digunakan sebagai ajang untuk menyingkirkan para pegawai yang berintegritas semakin beredar dan kerap dipercaya oleh sejumlah pihak.
Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera, Mohamad Sohibul Iman, turut angkat bicara terkait hal ini. Beliau menganggap bahwa jika integritas bukan bagian dari nasionalisme, lalu nasionalisme apa yang hendak dibangun?
“Yang kita inginkan nasionalisme yang berintegritas dan profesional, kalau seperti ini kita ingin membangun nasionalisme yang koruptif. Tidak apa-apa korupsi yang penting teriak, ‘saya Pancasila’,” jelasnya, dikutip dari CNN Indonesia.
TWK seakan-akan dirancang untuk menjadi tolak ukur kualitas pegawai KPK. Padahal, untuk apa ada jiwa nasionalisme yang tertanam tanpa diimbangi dengan jiwa dedikasi dan tanggung jawab akan kewajiban? Jangan sampai nilai kebangsaan yang tertanam pada Pancasila kian menjadi taruhan yang kelak merusak masa depan bangsa.
Tidak perlu meributkan mengapa TWK harus dijalankan, mengapa pertanyaan yang diajukan tidak berkualitas, atau siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan ini. Alih-alih mempermasalahkannya, marilah kita lebih menyadari bahwa nilai Pancasila bukan semata-mata untuk dijawab dalam selembar kertas, tetapi nilai tersebut haruslah menjadi acuan tetap sebuah moralitas.
Penulis : Almira Khairunnisa
Editor : Fani Adhiti
Redakur Pelaksana : Luthfi Maulana
Pemimpin Redaksi : Langgeng Irma