UU Cipta Kerja, Demi Kepentingan Rakyat?
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law telah nyata menuai kritik dan penolakan dari masyarakat terutama kelompok buruh dan mahasiswa. Selain karena dirasa terlalu terburu-buru, RUU tersebut dianggap memberi peluang mengeksploitasi buruh dengan upah rendah.
Dikutip dari Badan Pusat Statistik, hampir setengah penduduk di Indonesia bekerja sebagai buruh. karyawan, atau pegawai. Dalam surveinya, tercatat jenis pekerjaan tersebut sebesar 39,7% pada 2018. Kemudian meningkat menjadi 40,83% pada tahun 2019. Agaknya lumrah saja rasanya jika banyak dari penduduk Indonesia yang tidak setuju dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja ini.
Penolakan tidak hanya datang dari buruh, keluhan juga disuarakan dari kelompok pedagang. Seperti cerita dari Mar, salah satu pedagang keliling yang ditemui selepas aksi di Tangerang. Ia berpendapat, jika penghasilan buruh berkurang, maka akan berdampak pula pada mereka sebab akan sepi pembeli, atau bahkan buruh yang kekurangan penghasilan akan ikut berjualan dan menambah pesaing. Oleh sebab itu, ada beberapa dari kelompok pedagang yang ikut aksi atau sekadar membantu membagikan konsumsi.
“Kalau buruhnya gak punya duit, kan ngaruh ke kita juga. Terus katanya kalau protes, ya sudah gak usah jadi buruh? Lah, terus suruh jualan semua gitu? Memang semua orang punya modal?” keluh Mar, yang selama pandemi saja pemasukannya sudah berkurang. Ia merasa jika Undang-Undang Cipta Kerja mulai diterapkan, maka pemasukannya akan lebih berkurang lagi. Ia juga menceritakan, setelah RUU Cipta Kerja disahkan, suaminya yang berprofesi sebagai buruh diliburkan oleh pabrik selama tiga hari tanpa mendapat digaji. “Padahal, yang meliburkan pabriknya, bukan keinginan pegawai untuk libur,” tandasnya.
Pengesahan yang dinilai terburu-buru dirasa sangat ganjil, aksi pun dilancarkan di berbagai wilayah untuk menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. Namun pemerintah seakan tutup telinga seperti pada saat demo RUU KPK dan RKUHP. Aparat turun ke jalan untuk membungkam suara bising di jalan raya. Di Tangerang sendiri, aparat memblokade jalan dengan membawa senjata laras panjang untuk mencegah para pendemo melanjutkan aksinya ke Jakarta.
Joko, salah seorang demonstran yang melancarkan aksi di kota Tangerang mengungkapkan ketakutannya untuk melanjutkan aksi hingga ke Jakarta. Ia khawatir jika ia dan kawan-kawannya memaksa untuk menembus barikade polisi, mereka akan terkena tindak represif aparat.
“Ada mobil yang bawa kawat-kawat berduri. Terus, polisi-polisi semua bawa senjata laras panjang yang bikin para pendemo nyalinya ciut buat lanjut ke Jakarta. Selain kita berharap supaya tidak ada kerusuhan, kita diem juga karena takut diapa-apain sama polisi,” ungkap Joko menceritakan demo yang terjadi di lapangan.
Di Semarang sendiri, para polisi melakukan penangkapan terhadap para pendemo yang bergerak di depan Gedung DPRD Jateng. Seperti yang diwartakan oleh Liputan6.com, sekitar 100 orang diamankan dan diperiksa Polrestabes Semarang.
Sedangkan di Kota Bandung, aparat setempat tidak hanya melakukan penangkapan sewenang-wenang, tapi juga tindak kekerasan dan intimidasi, seperti pemukulan, pembubaran paksa, pemeriksaan acak terhadap masyarakat yang mengenakan baju hitam, hingga perampasan barang milik peserta aksi. Menyadur dari Amnesty.id, aparat dari Polrestabes Kota Bandung menangkap massa yang hendak bergabung dalam Aliansi Masyarakat Menggugat (Alarm). Tindakan tersebut terjadi di beberapa titik di Kota Bandung, seperti Taman Cikapayang, Jalan Sulanjana, Depan Hotel Luxtton, dan Halte Baltos.
Bukan hanya membuat aturan ganjil yang memberatkan buruh, kini pemerintah juga telah terang-terangan membungkam suara rakyat yang tidak setuju akan aturan tersebut. Bukankah jika aturan tersebut benar dibuat demi kepentingan rakyat, maka pemerintah juga seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat?
Sedikitnya hal ini juga mencerminkan bahwa kebebasan bersuara dan berpendapat di Indonesia semakin dibatasi. Dilansir dari databoks.katadata, kondisi hak politik dan kebebasan sipil Indonesia memang semakin menurun sejak 2016. Hal ini terlihat dari laporan yang dipublikasikan Freedom House dengan judul Freedom in The World, skor kebebasan Indonesia pada 2019 sebesar 62 dari skala 0-100. Angka tersebut mengalami penurunan dalam tiga tahun secara beruntun. Freedom House menyebutkan, penurunan ini terjadi karena adanya korupsi yang sistemik, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok rentan, ketegangan di Papua, dan penggunaan kewenangan secara politis atas undang-undang pencemaran nama baik.
Menilik penjabaran di atas, sulit rasanya untuk mempercayai ketika ada yang berujar bahwa RUU ini diciptakan demi kepentingan rakyat. Jelas mayoritas rakyat menolak, dan penolakan tersebut dibungkam melalui tindakan represif dan kekerasan fisik.
Jadi, rakyat yang mana yang sebetulnya diwakilkan oleh Bapak dan Ibu di Senayan?
Penulis : Amelia Nuraini Purnomo
Editor: Ikhsanny Novira I.
Redaktur Pelaksana: Annisa Qonita A.